Jakarta – Mansion Keluarga ValenteAurora duduk di sofa ruang pribadinya. Tangannya perlahan mengusap perut yang mulai membulat. Kehamilannya baru masuk bulan kelima, tapi setiap gerakan kecil di dalam sana seperti pengingat kalau Damian selalu bersamanya, meski jasadnya ribuan kilometer jauhnya.Ponsel di pangkuannya bergetar. Pesan singkat dari Damian.Aku lagi lari. Tapi setiap langkah, aku bawa kalian di kepalaku.Aurora menahan senyum. Tangannya mengelus perutnya lagi.Kami nunggu kamu pulang. Si kecil gerak tiap kali aku nyebut nama kamu.Damian, di tengah suara dentuman, sempat membaca pesan itu. Sebuah kehangatan aneh menyusup lewat dada, memotong dinginnya logam dan mesiu.Jaga dia baik-baik, sayang. Aku janji pulang buat peluk kalian berdua.Aurora membalas, matanya sedikit berkaca-kaca.Jangan cuma peluk. Si kecil butuh kenal ayahnya. Dan aku… butuh semua yang kamu janjiin di pesan-pesan kita.Damian tersenyum di tengah medan berbahaya itu. Peluru mungkin berdesing di dekat
Damian berjalan mengikuti Kaizen, matanya fokus pada jalur bercahaya di lantai, tapi pikirannya sudah setengah terbang ke Jakarta. Getaran di saku membuatnya melirik sebentar. Pesan baru dari Aurora.Aku membayangkan kamu di sini. Duduk di seberangku. Tatapanmu nggak lepas dari aku.Damian menahan senyum. Di tengah misi berbahaya, Aurora masih bisa membuatnya lupa dunia. Ia membalas cepat.Kalau aku di sana sekarang… aku nggak akan cuma menatap.Aurora membaca pesan itu sambil bersandar di kursi. Tangannya refleks mengusap permukaan meja, seolah membayangkan itu jemari Damian. Ia menjawab.Terus? Apa yang kamu lakuin?Damian melangkah pelan, jemarinya lincah di layar ponsel.Aku akan nyentuh jemarimu. Menarik kursimu biar kamu lebih dekat. Aku pengen rasain hangat napasmu.Aurora menghela napas pendek. Di luar, suara mobil keluarga Valente terdengar samar, tapi baginya dunia sedang menyusut jadi satu layar ponsel.Jangan berhenti di situ, tulisnya lagi.Damian melirik Robert yang berj
Zurich – Bourne Facility Suara langkah Dr. Kaizen menggema di lorong dingin itu. Damian memegang senjatanya erat, tapi tatapannya terkunci pada sosok pria tua itu. “Kau bilang ini warisan ayahku… maksudnya apa?” suara Damian datar tapi tegang. Kaizen berhenti tepat di bawah lampu redup. “Gabriel Blackwood. Dia bukan hanya mata-mata. Dia salah satu subjek awal Project Helix dan bukan yang gagal.” Robert menatap Damian sekilas, lalu kembali siaga. Adrian dan Raka tetap memegang formasi di belakang, siap menembak kapan saja. Damian menggeleng pelan. “Ayahku tidak pernah cerita.” Kaizen berjalan mendekat, sarung tangan mekaniknya mengeluarkan bunyi klik halus. “Helix dirancang untuk menciptakan inang sempurna. Tidak semua cocok. Gabriel… nyaris sempurna. Tapi ada satu kelemahan: stabilitas genetisnya rapuh. Dan itu diwariskan… padamu.” Adrian mengernyit. “Apa hubungannya ini sama Aurora?” Kaizen tersenyum tipis. “Aurora Valente adalah generasi yang lebih stabil. Bukan eksperimen l
Bab 66 – Eksperimen TerakhirBourne Facility, Zurich – SwissUdara dingin Swiss menembus hingga ke tulang, menusuk lewat celah jaket lapis baja yang Damian kenakan. Lorong bawah tanah Bourne Facility kini diterangi hanya oleh cahaya redup dari lampu UV Adrian yang masih menyala. Aroma besi berkarat bercampur sisa bahan kimia lama memenuhi udara.Damian tidak melepaskan pandangannya dari sosok di hadapannya Dr. Kaizen.Pendiri Helix. Legenda yang seharusnya sudah mati.“Kau tidak akan temukan jawaban di rak-rak berdebu itu,” suara Kaizen serak namun stabil, seakan tiap kata mengiris udara. “Karena jawaban yang kau cari… ada di dalam darahmu.”Robert menegakkan senjata. “Kau satu-satunya yang tersisa di sini?”Kaizen menggeleng pelan. “Tempat ini… bukan milik siapa pun lagi. Tapi sistemnya Helixbmasih hidup. Dan sistem itu… memilih pewarisnya.”Damian melangkah maju, menahan jarak. “Kalau ini tentang Aurora, aku sudah tahu sebagian..”“Tidak,” Kaizen memotong, matanya menyipit. “Kau tah
Pagi itu Jakarta masih berkabut, seolah ikut menyimpan rahasia yang mulai mencuat ke permukaan. Di dalam ruang kerja pribadi Damian di mansion keluarga Valente, sekelompok kecil berdiskusi intens.Layar besar menampilkan peta dunia dengan titik-titik merah menyala. Di antara semua lokasi, satu nama berkedip stabil:Bourne Facility – Zurich, Swiss.“Ini bukan sembarang markas,” ucap Damian, menunjuk koordinat tersebut. “Ini tempat ayah gue dulu menyusup. Dan di situlah semua jejak awal Project Helix disimpan.”Aurora duduk di sofa, satu tangan memegang cangkir teh, tangan lainnya menyentuh perutnya yang mulai menonjol.“Kenapa kamu harus ke sana sendiri? Kita bisa kirim tim Blackwood atau hacker buat bobol sistem jarak jauh.”Velia menyela dengan nada tegas. “Tidak semudah itu. Bourne Facility dulu dikepung, tapi gak pernah dihancurkan. Sistem pertahanannya hybrid fisik dan biologis. Yang bisa buka lapisan dalamnya... cuma orang d
Pagi itu Jakarta masih berkabut, seperti enggan bangun dari tidur panjangnya. Tapi di dalam rumah keluarga Valente, satu ruang bawah tanah yang jarang digunakan kini kembali aktif.Peta digital terbuka lebar di dinding. Markas-markas tersembunyi, titik koneksi jaringan Khaos, dan simbol Project Helix berpendar merah menyala.Damian berdiri di tengah ruang, dikelilingi oleh wajah-wajah yang pernah bertempur bersamanya.Robert dengan hoodie abu-abu dan mata panda khasnya menyandar di kursi belakang sambil menyesap kopi.Adrian berdiri bersilang tangan, penuh ragu tapi tetap tegak.Raka duduk santai di sudut, senjata kecil di tangannya seperti biasa, sedang dibersihkan meski suasana serius.Velia duduk di sisi Damian, matanya tajam memantau ekspresi setiap orang. Aurora berdiri tak jauh, satu tangannya refleks menyentuh perut, yang kini menjadi pusat semesta mereka.Damian membuka suara.“Ayah gue hidup. Dan dia kirim pesan... yang cuma satu artinya: kita gak bisa percaya siapa pun, term