Aurora tak pernah membayangkan hidupnya berubah dalam satu malam. Dari putri keluarga terpandang, kini ia menjadi pengantin seorang pria yang namanya membuat dunia gemetar, Damian Blackwood. Pernikahan ini bukan karena cinta. Ini perjanjian berdarah. Damian menginginkan Aurora… dan ia tidak memberi ruang untuk penolakan. Lima tahun lalu, sebuah pengkhianatan menghancurkan segalanya. Damian menunggu, merencanakan, dan kini ia mendapatkan apa yang ia mau: Aurora, di sisinya, dengan caranya. Aurora mencoba melawan, tapi setiap langkahnya terikat oleh kekuasaan Damian. Dan ketika rahasia masa lalu terkuak, Aurora sadar satu hal Menjadi istrinya bukan akhir dari penderitaan, ini baru permulaan. “Kau milikku, Aurora. Dan kali ini… tidak ada yang bisa menyelamatkanmu.”
Lihat lebih banyakAurora menggenggam setir erat-erat, jemarinya memutih. Gedung kaca menjulang di hadapannya, berdiri angkuh seakan menantangnya. Di balik dinding dingin itu, ada pria yang paling ia benci. Pria yang sekaligus menjadi satu-satunya harapan yang tersisa.
Ia sudah bersumpah tidak akan pernah menjejakkan kaki ke dunia Damian Blackwood lagi. Tapi hidup selalu punya cara kejam untuk memaksa. Sekarang, keluarganya berada di ujung kehancuran. Jika ia mundur, mereka semua akan hancur. Aurora menarik napas panjang. Datang ke sini berarti menyerahkan kendali pada pria itu. Pria yang lima tahun lalu merenggut segalanya darinya. Ironis, bukan? Untuk menyelamatkan, ia harus kembali ke neraka yang sama. Tumit sepatunya mengetuk lantai marmer lobi, langkahnya tegak meski dadanya dipenuhi badai. Semua mata memandangnya, menilai, seolah mereka tahu ia sedang berjalan menuju akhir hidupnya. Damian... tunggu saja. Entah aku pulang membawa perjanjian, atau membawa perang. Batinnya. Pintu lift terbuka dengan bunyi lembut. Aurora menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Wajah cantik dengan mata penuh api. Ia mengangkat dagu, menelan rasa muak yang mendesak ke tenggorokan. “Maaf, Nona.” Seorang resepsionis berdiri terburu-buru. “Anda tidak punya janji dengan Tuan Blackwood” Namun Aurora tidak perduli, ia terus berjalan melangkah maju menuju ruang Damian Blackwood CEO kejam menurut Aurora. Aurora menoleh, tatapannya tajam menusuk. Saat pintu ruang CEO itu terbuka, aroma maskulin yang dingin langsung menyergap. Damian duduk di balik meja, jas hitamnya rapi, tatapannya menusuk seperti pedang yang siap menebas. “Aurora.” Suaranya dalam, datar, seakan ia sudah menunggu. Aurora mengeraskan rahang. “Kita perlu bicara.” Sudut bibir Damian terangkat tipis, bukan senyum, tapi ancaman. “Aku tidak pernah menolak permainan, sayang. Tapi ingat, di sini aku yang pegang kendali.” Aurora melangkah masuk. Pintu tertutup di belakangnya. Sejenak ia merasa seperti seekor rusa yang baru masuk ke sarang serigala. Tapi kali ini, ia berjanji tidak akan menjadi mangsa. Tidak lagi. Di san, Damian menyandarkan punggung ke kursi, menautkan jari-jarinya di depan wajah. Tatapannya tak lepas dari Aurora, tajam, penuh penilaian. “Sudah lima tahun.” Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu di balik itu. “Kupikir kamu sudah mati.” Aurora mengangkat dagu. “Maaf mengecewakanmu. Aku masih hidup.” Sudut bibir Damian terangkat lebih tinggi. “Dan kini kamu berdiri di sini, di kantorku. Menarik.” Ia mencondongkan tubuh, menatap Aurora seperti menatap mangsa. “Apa yang kamu inginkan dariku?” Aurora menahan napas, pikirannya berpacu. Ia harus mengendalikan permainan ini. “Aku datang bukan untuk mengenang masa lalu, Damian. Aku butuh bantuanmu.” Damian tertawa pelan, suara itu dalam dan menusuk. “Bantuan? Setelah kamu menghilang tanpa jejak? Setelah semua yang terjadi?” Ia bangkit dari kursi, berjalan perlahan mendekat. Aurora memaku pandangan ke arahnya, meski jantungnya berdentum keras. Damian selalu punya aura berbahaya. Dan jarak di antara mereka kini nyaris hilang. “Aku penasaran, Aurora.” Suaranya merendah, begitu dekat hingga napasnya terasa di kulitnya. “Berapa harga yang akan kamu bayar kali ini?” Aurora mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Aku tidak akan goyah. “Kita akan bicara soal itu nanti. Tapi kamu harus dengarkan tawaranku dulu.” Damian menyeringai, menatapnya seolah menelanjangi jiwanya. “Kamu benar-benar berani datang kemari tanpa persiapan.” Ia melangkah mundur perlahan, lalu menoleh dengan tatapan menusuk. “Kau punya sepuluh menit. Buat aku tertarik, atau keluar dari hidupku untuk selamanya.” Aurora menarik napas dalam. Inilah yang ia takuti, sekaligus ia harapkan. Pertarungan baru saja dimulai. Dan tidak ada jalan untuk mundur. ** Aurora duduk di kursi tamu, menahan tatapan tajam Damian yang tak pernah lepas darinya. Udara di ruangan itu begitu padat, seolah ada listrik yang mengalir di antara mereka. “Katamu ingin bicara soal tawaran.” Damian bersuara pelan, namun setiap katanya seperti cambuk. “Aku mendengarkan. Tapi ingat, tidak ada yang gratis di dunia ini.” Aurora menatapnya dengan sorot mata yang berani. “Aku akan membayar, berapa pun yang kamu minta. Tapi selamatkan keluargaku.” Damian mendekat, kedua tangannya bertumpu di meja. Jarak mereka kini hanya sejengkal. “Berapa pun, hmm?” Ia tersenyum tipis, senyum yang lebih menyeramkan daripada ancaman. “Kamu tahu aku tidak butuh uangmu, Aurora.” Aurora merasakan tenggorokannya mengering. “Lalu... apa yang kamu inginkan?” Damian tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap dalam, begitu dalam seakan menelanjangi seluruh isi hatinya. Napasnya hangat menyentuh kulitnya ketika ia membungkuk sedikit. “Aku akan memikirkannya,” bisiknya, seolah itu rahasia gelap. Lalu ia berbalik, duduk kembali seakan tak terjadi apa-apa. “Datang besok jam yang sama. Aku akan beri jawaban.” Aurora terpaku. Satu hal jelas: Damian sedang merencanakan sesuatu. Dan apapun itu, tidak akan sesederhana yang ia harapkan. Apa yang dia inginkan dariku? Ketika Aurora berdiri untuk pergi, suara Damian kembali terdengar, berat dan dalam, menusuk sampai ke tulang. “Pastikan kau datang, Aurora. Karena sekali kau melangkah ke luar pintu itu dan tak kembali…” Ia berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan tatapan dingin mematikan. “…atau aku yang akan menjadi alasan keluargamu hancur sepenuhnya.” Aurora membeku. Kali ini, ancaman itu bukan sekadar kata. Itu janji. Dan entah kenapa, bagian dari diriku tahu… dia akan menepatinya. ***Langit siang itu kelabu, seolah menandai sesuatu yang akan berubah. Aurora duduk di kursi belakang mobil hitam yang meluncur di jalan sunyi. Jendela gelap memantulkan bayangannya sendiri—mata yang dipenuhi tanya, bibir yang terkatup rapat menahan gelombang resah.Damian duduk di sampingnya, jas hitam rapi membungkus tubuhnya, wajahnya tak tertebak. Jemarinya mengetuk pelan sandaran tangan, irama yang membuat dada Aurora semakin sesak.“Ke mana kau membawaku?” suaranya terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan yang mencekik.Damian tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, menatap Aurora dengan tatapan yang seperti bisa menembus pikirannya. “Tempat di mana semua cerita kita dimulai.”Aurora menelan ludah, rasa dingin merayap di tulang punggungnya. “Cerita… kita?”Senyum tipis melintas di bibir Damian. “Kau masih memandang ini sebagai perang, Aurora. Tapi perang selalu punya alasan. Dan aku akan tunjukkan kenapa.”M
Aurora terbangun oleh cahaya matahari yang menembus tirai tipis. Untuk sesaat, ia lupa di mana berada. Ranjang besar dengan seprai satin, aroma tembakau samar yang masih menggantung di udara… lalu ingatan kembali menghantamnya. Damian. Pernikahan. Neraka yang kini menjadi rumahnya.Ia duduk perlahan, kepala terasa berat oleh kurang tidur. Damian tidak ada di kamar. Keheningan ini justru membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dengan langkah ragu, Aurora turun dari ranjang, berniat mencari kamar mandi.Tangannya menyentuh gagang pintu. Begitu pintu terbuka, tubuhnya langsung membentur sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.Aurora terhuyung ke depan. Sebelum ia sempat jatuh, sepasang lengan kuat menangkapnya, menahan tubuhnya agar tidak menyentuh lantai. Aroma sabun dan cologne maskulin menyeruak, membuat napasnya tercekat.Damian.Pria itu berdiri hanya mengenakan kemeja putih longgar, beberapa kancing terbuka, memp
Aurora menatap ke luar jendela, lampu kota berkelebat seperti kilatan kilat saat mobil Damian melaju melewati jalan yang sepi. Malam itu seharusnya sudah berakhir, tapi rasa mencekam menempel di kulitnya seperti bayangan yang enggan pergi. Kata-kata Damian masih terngiang: Besok, aku akan tunjukkan segalanya.Mobil berhenti di depan bangunan megah yang menjulang dengan pilar marmer putih dan kaca tinggi memantulkan cahaya lampu taman. Kediaman Damian. Bukan sekadar rumah, ini istana yang dibangun dengan kekuasaan.Aurora menelan ludah saat Damian membuka pintu untuknya. “Turun,” ucapnya, suaranya tenang namun membawa bobot perintah.Langkah Aurora terasa berat, setiap ubin yang ia pijak seolah menjerat pergelangan kakinya. Saat melewati pintu besar yang dibuka oleh Adrian, hawa dingin menyergap, bercampur aroma mahal dari kayu berlapis pernis. Adrian hanya menunduk sopan, tapi sorot matanya mengikuti mereka seperti bayangan.Da
Aurora tidak tahu siapa yang pertama kali membuka pintu, tapi udara di ruangan mendadak terasa lebih dingin. Damian menoleh, rahangnya mengeras. Dan di ambang pintu, berdiri sosok yang pernah hanya jadi bisikan di telinganya, Rafael. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Lama tidak bertemu, Damian," ucapnya dengan nada santai yang menusuk seperti belati. "Dan… ini dia pengantin barumu." Aurora membeku. Rafael. Nama itu pernah ia dengar dalam percakapan ayahnya lima tahun lalu. Nama yang membawa malapetaka. Jantungnya berdetak liar. Apa yang dia lakukan di sini? Damian melangkah pelan, berdiri di depan Aurora, tubuhnya seperti benteng. "Kau tidak diundang," katanya dingin, suaranya tajam seperti baja. Rafael tertawa pelan. "Undangan? Kau tahu aku tidak butuh undangan, Blackwood. Aku datang… karena aku tidak tahan mendengar rumor yang beredar. Katanya sang
Cahaya pagi menelusup melalui tirai tebal suite, tapi Aurora sama sekali tidak merasakan hangatnya. Matanya sembab karena tidak tidur semalaman, pikirannya terus memutar kata-kata Damian: Besok, neraka yang sebenarnya dimulai. Damian berdiri di dekat jendela, ponsel di telinganya, berbicara dengan nada rendah dan dingin. Bahasa asing meluncur dari bibirnya, cepat dan tegas, seakan memberi perintah kepada pasukan. Aurora hanya bisa memandang punggungnya yang tegap, sosok yang seperti bayangan hitam dalam hidupnya. Saat Damian menutup panggilan, ia menoleh sekilas, sorot matanya menusuk. “Siap-siap. Kita pergi sore ini.” Aurora merasakan napasnya tercekat. “Ke mana?” Damian tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan menghilang ke ruang ganti, meninggalkan segunung tanya di benak Aurora. Sore tiba, langit memerah, dan Aurora mendapati dirinya duduk di kursi penumpang mobil hitam Damian. Jalanan sepi, udara semakin dingin ketika mereka melaju ke arah yang tidak ia kenali. Auror
Aurora menatap langit-langit suite yang gelap. Jam di nakas menunjukkan pukul tiga dini hari. Damian tertidur di sofa, jasnya terlipat rapi di sandaran, dasi sudah terlepas. Napasnya teratur, tenang—seperti pria yang baru saja memenangkan peperangan. Tapi perang Aurora baru dimulai. Ponselnya bergetar pelan di bawah bantal. Aurora cepat-cepat meraihnya, membuka pesan baru. [Kau benar-benar ingin tahu kebenaran? Cari map hitam di laci meja kerja Damian. Jawabannya ada di sana.] Aurora menelan ludah. Tatapannya beralih ke meja kerja di sudut kamar, berdampingan dengan lemari kaca penuh botol anggur. Damian… bahkan saat tidur, ia tetap memancarkan aura mengancam. Aurora berdiri perlahan, kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin. Setiap langkah seperti menantang maut. Ia menahan napas, mendekati meja itu, lalu menarik laci teratas—kosong. Laci kedua—penuh dokumen. Jantungnya melompat ketika menemukan sebuah map hitam di tumpukan bawah. Tangannya bergetar saat membuka isinya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen