Share

BAB 7. Mimpi yang Terkubur

Tangannya penuh lebam, tubuhnya sudah tidak semulus dulu, dan wajahnya penuh bekas luka. Tubuh dan wajah yang dulu begitu dia kagumi, kini hanya sisa kenangan.  Mimpi yang hampir dia gapai harus terkubur. Entah bisa dia bangkitkan lagi, atau akan berakhir sia-sia.

“Apa mimpi terbesarmu?” tanya Xadira.

Meta berhenti sejenak, memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu begitu sempurna, keinginan kaum hawa. Namun, terkadang Meta merasa ada yang berbeda saat menatap wajahnya sendiri.

Meta menoleh, menatap Xadira yang tengah merapikan seragamnya. Pagi-pagi sekali, Meta meminta gadis itu datang, membantunya bersiap ke sekolah. Xadira terlalu baik dan polos, membuat semua orang meremehkan gadis itu.

“Menjadi seorang model internasional, mungkin,” jawab Meta. Pada akhirnya, dia akan melanjutkan semua yang sudah dia mulai. Xadira tersenyum bangga, membantu Meta mengenakan seragamnya.

“Kamu cantik, memiliki potensi untuk menjadi model terkenal. Aku percaya kamu akan mendapatkannya. Tidak sabar rasanya, melihatmu terpampang nyata di tv dan menjadi idola banyak orang,” tutur Xadira.

“Bagaimana dengan kamu?”

Tangan Xadira terhenti. Dia mengalihkan perhatian dengan memasukkan peralatan tulis Meta ke dalam tas. Meta merampas tas miliknya. Sangat tidak suka diabaikan saat berbicara.

“Katakan, apa mimpimu,” desaknya. Xadira yang memulai. Namun, gadis itu malah diam saat ditanya.

“Apa gadis lemah sepertiku, juga berhak memiliki mimpi?” gumamnya menatap Meta.

Meta berdecak, cukup kesal dengan jawaban Xadira.

“Aku punya seorang saudara. Dia kuat, berbeda denganku yang begitu lemah. Dia pemimpi besar, tetapi sesuatu mengubahnya. Dia sakit, dan aku ingin menyembuhannya,”

“Itu mimpimu?”

Xadira menunduk, tertebak, gadis itu pasti akan menangis sebentar lagi. Meta memutar bola matanya malas. Hal ini yang membuatnya tidak begitu suka berdekatan dengan Xadira. Gadis itu terlalu perasa.

“Psikolog! Aku ingin menjadi penyembuh untuk orang lain,” lirih Xadira, setelah diam cukup lama. Meta menyipitkan matanya, tidak percaya kalau Xadira bermimpi menjadi psikolog. Bagaimana  Xadira bisa menyembuhkan luka orang lain, sementara luka dia sendiri tidak bisa dia sembuhkan.

“Aneh ya?”

Lagi, Xadira mudah menyimpulkan pandangan orang lain. Meta memejamkan mata sejenak, menenangkan diri, menghadapi Xadira memang  butuh kesabaran lebih.

“Iya aneh, mana ada orang sakit yang bisa jadi dokter!” tukas Meta. Bukan kata-kata itu yang muncul dalam pikirannya. Meta sungguh menyesalinya.

“Sama sekali tidak aneh, Dir. Itu mimpi yang luar biasa. Justru orang yang pernah sakit, akan lebih bertekad untuk menjadi penyembuh bagi orang lain,” lirih Meta. Harusnya itu yang dia katakan waktu itu. Namun, egonya terlalu tinggi untuk mengatakannya. Alhasil, dia membuat Xadira kehilangan mimpinya, sama persis dengan yang dia alami saat ini.

“Nona, Tuan Leonardo memanggil anda,” ucap seorang pelayan memberitahu. Meta menoleh sejenak, dan kembali fokus memperhatikan wajahnya. Nasi sudah menjadi bubur, tidak akan bisa kembali menjadi beras. Satu-satnya jalan adalah mengolah ulang berasnya, dan memperbaiki kesalahan yang pernah dia lakukan.

“Kami harus mendandani anda,”

Setelahnya beberapa pelayan masuk, membantu Meta bersiap. Gadis itu hanya diam, membiarkan mereka melakukan tugas tanpa pemberontakan sama sekali. Dia tidak peduli seperti apa penampilannya, dan ke mana mereka akan membawanya. Meta benar-benar seperti mayat hidup sekarang.

“Nona harus tersenyum saat menghadap Tuan, atau kami semua akan terkena imbasnya,” mohon pelayan yang akahirnya  Meta ketahui bernama Ren, kepala pelayan di rumah tersebut. Mereka takut, tetapi masih saja melakukan tugasnya dengan baik.

Meta menghela napas, terpaksa dia mengembangkan senyumnya. Rasanya sakit berpura-pura seperti sekarang.

“Haruskah aku mengulangnya? Aku tidak suka dibuat menunggu!” cecar Edward mendekati Meta. Pria itu memperhatikan penampilan Meta dari atas ke bawah. Dia tersenyum miring. Meta masih diam, bahkan saat Edward menyentuh luka yang mulai mengering.

“Sepertinya lukanya akan meninggalkan bekas. Kasihan sekali,” ejeknya tertawa lebar, Meta menahan napas saat Edward memainkan jemarinya di atas luka tersebut. Pria itu seolah belum puas, mulai menekan luka itu. Ingin sekali Meta menjerit. Namun, yang dia lakukan hanya diam membeku.

“Cantik sekali karyaku,” gumam Edward tersenyum bangga.

Meta menghela napas lega, saat Edward kini tidak lagi berjongkok.

“Mau melakukan sesuatu yang menakjubkan?”

“Apa aku bisa menolak?” tanya Meta, Edward tertawa lagi, seolah jawaban Meta adalah lelucon.

“Aku lupa kalau mulai hari ini kamu adalah babu sekaligus bonekaku,” lontar Edward. Dia menarik Meta yang posisinya mengenakan high hills, untuk mengimbangi langkah lebarnya. Meta tersiksa dengan semua ini. Namun, dia hanya membisu.

Edward mengambilkan sebuah benda tajam, lalu menyerahkannya pada Meta. Gadis itu menggeleng, tidak akan sanggup melakukannya. Meski hanya seekor kelinci, tetap saja dia tidak akan mampu menyakitinya. Dia masih memiliki hati nurani.

“Kamu tidak bisa? Menindas orang lain saja bisa, kok menggunakan benda tajam ini gak bisa?” sindir Edward tajam.

“Kelincinya gak bersalah,” gumam Meta tidak rela kelinci semanis itu, harus berakhir di tangannya.

“Xadira juga tidak bersalah, lalu apa bedanya?”

Edward menyiksanya bukan hanya secara fisik, tetapi batinnya diserang habis-habisan. Edward tahu kalau dengan membuat seseorang tinggal dalam rasa bersalah, akan lebih menyakitkan dibanding luka fisik.

“Lakukan atau aku akan memberimu hukuman,” ancam Edward. Pria itu mundur beberapa langkah, memberi Meta ruang untuk melancarkan aksinya. Meta masih bergeming di tempat.

Hukuman bukan lagi hal baru untuknya, dan inilah keputusan yang dia ambil. Meta masih manusia waras yang memiliki hati nurani. Dia tidak akan menyakiti seekor hewan yang tidak bersalah sama sekali.

“Sial!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fidaria hulu
wow cerita nya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status