Share

BAB 6. Bulying

Meta Marfora Anastasya, si anggun dan sempurna. Kerumunan seketika membelah, memberi jalan bagi model kebanggaan sekolah mereka itu. Tatapan kagum tampak jelas, mulai dari atas sampai ke bawah, penampilan Meta benar-benar tidak mengecewakan. Dia hanya mengenakan seragam seperti mereka, dimodif sedikit, ditambah tubuh Meta yang terbentuk sempurna.

“Meta, punya waktu buat dinner? Aku ada tiket nontong film yang lagi trending,” tanya seorang pria berwajah blasteran. Meta tersenyum manis, melambungkan harapan tinggi akan diterima oleh gadis itu.

“No, aku ada pemotretan dan sangat sibuk, jadi mungkin tak akan memiliki waktu bersama pria yang tidak penting,” sahut Meta tanpa menghilangkan senyumnya. Penolakan lagi. Sudah bukan hal baru Meta yang menolak  pria tampan di sekolah mereka.

“Apa dia tidak suka pria?” celetuk salah satu siswa yang menyaksikan penolakan tersebut. Perkataan itu terdengar ke telinga Meta. Dia melangkah begitu anggun, mendekati siswa yang mengejeknya?

“Apa kamu punya hal melarangku menyukaimu?” tanyanya, membuat siswi tersebut bergidik ngeri. Meta tersenyum, tetapi terasa hampa dan berakhir menjadi senyum yang mengerikan.

“Ta, Dira dibully lagi,” ucap seorang siswa bernama Adila memberitahu. Raut wajah Meta berubah. Dia sudah dibuat kesal dua kali, padahal masih pagi.

Meta melangkah cepat, mengikuti Adila, masih pagi dan Xadira sudah dalam masalah. Gadis berambut sebahu itu tengah dipermainkan oleh para pembuli. Hanya karena Xadira diam, tidak melakukan apa-apa, mereka bebas mempermainkan gadis itu.

Meta menarik tangan Xadira berdiri.

“Sorry, Ta,” lirihnya, Meta menghiraukannya, memaksa gadis itu ikut dengannya.

“Kalian semua juga ikut!”

Meta menyeret Xadira yang berjalan tertatih, hal baru yang membuat semua orang penasaran. Biasanya gadis itu tidak terlalu peduli jika Xadira dibully orang lain.

Tak segan-segan, Meta bahkan mendorong Xadira ke tengah lapangan, memaksa gadis lemah itu untuk tersungkur. Xadira menangis, memohon ampun. Dia salah berpikir jika Meta akan membantunya seperti biasa. Sepertinya Meta sudah lelah terus menerus menolongnya dari para pembuli.

“Dengar baik-baik! Mulai hari ini, di hadapan kalian semua, aku ingin mengumumkan hal penting,” ucap Meta menatap satu per satu para pembuli dan kerumunan siswa yang merasa penasaran.

Meta tersenyum miring, menaikkan sepatunya ke atas lutut  Xadira. Hal yang membuat rok gadis itu kotor.

“Aku gak nyuruh kamu liatin doang, cium!” perintahnya telak. Semua orang terkejut, termasuk Adila. Meta mengulurkan tangannya, menyuruh Adila untuk tidak ikut campur urusannya dengan Xadira, si lemah yang selalu jadi korban.

Meta benci melihat Xadira dibuli, ditindas tanpa ampun, tetapi gadis itu sendiri tidak ingin memberontak. Lalu, untuk apa Meta terus berbaik hati menolongnya. Jika bagi Xadira sendiri, hidupnya tidak penting.

“Ayo lakuin!” bentak Meta. Xadira menurut, mulai mendekatkan wajahnya ke sepatu Meta. Belum juga sampai, Meta menarik kakinya, membuat Xadira mencium tanah.

“Mulai sekarang, Xadira adalah babuku dan bahan bulianku, jadi tidak seorang pun yang bisa menyuruh dia, apalagi menindas dia! Hanya aku yang bisa melakukannya!”

Dari sanalah semua bermula. Saat Meta memutuskan untuk menjadi villain dalam hidup Xadira.

“Hanya aku yang bisa menyuruhnya melakukan semua yang aku mau! Hanya aku yang bisa menyuruhnya mengerjakan tugas-tugasku, dan hanya aku yang boleh melukainya! Begitu ‘kan caramu menyiksa Xadira saat itu?” ulang Edward menirukan cara bicara Meta yang begitu angkuh.

Edward tertawa, terdengar menyeramkan di telinga Meta yang masih membeku di tempat. Dia masih tidak percaya bahwa Edward adalah saudara Xadira, gadis lemah yang dia tindas habis-habisan.

Edward mendekatinya, mencengkram bahunya yaang masih belum sembuh sepenuhnya. Meta menahan air matanya untuk jatuh. Xadira benar, dia akan menjadi mimpi buruk Meta mulai sekarang, dan sekarang Meta mengerti maksud mimpi yang baru-baru ini menghantuinya.

“Xadira di mana?”

“Kamu bertanya dia di mana? Mau menyusulnya?” tanya Edward sarkas.

Xadira adalah alasan Edward menjebaknya, menjadikannya tawanan agar Meta merasakan rasa sakit yang sama seperti yang saudaranya rasakan.

“Meminta maaf pun sudah tidak ada gunanya ‘kan?” lirih Meta. Dia mungkin bisa memberontak, jika Edward tidak menjadikan Xadira alasan untuk menyakitinya.

“Memang ada kata maaf untuk seorang pembuli? Pembuli yang sudah membuat Xadira meninggal, juga harus merasakan neraka!” tukas Edward. Meta terduduk di lantai, tidak mampu menampung semuanya.

Xadira meninggal karena bunuh diri. Edward benar, jika ada orang yang pantas disalahkan atas kematian Xadira, orang itu adalah dirinya. Meta menutup wajahnya dengan tangan, menumpahkan air matanya begitu saja.

“Kamu menangis untuk menarik rasa iba?” tanya Edward mencengkram dagu Meta, memaksanya untuk mendongak. Edward tertawa melihat air mata dari tawanannya.

“Kamu pasti merasa bangga, dan berpikir jika aku menjadikanmu tawanan, karena terpesona padamu ‘kan? Kalau benar, bangunlah! Ini bukan dongeng! Kamu harus merasakan akibat dari perbuatanmu. Luka dibayar luka, jangan harap aku akan membebaskanmu begitu saja,” lontar Edward mendorong Meta hingga gadis itu tersungkur di lantai.

Edward menginjak tangan Meta.

“Bagaimana rasanya saat mimpi besarmu direnggut orang lain?”

Meta menggeleng, tidak mampu bersuara. Tangannya benar-benar terasa sangat sakit.

“Jawab!” bentak Edward semakin menekan tangan Meta.

“Sakit,” lirih Meta. Edward mengangkat kakinya, memperhatikan luka membiru bekas sepatunya di sana. Dia mencium tangan gadis itu, sama sekali tidak jijik meski bekas sepatunya.

“Itu yang Xadira rasakan saat mimpinya dihancurkan olehmu,” tukas Edward.

Di pergi begitu saja, meninggalkan Meta bersama penyesalan yang berujung sia-sia. Meta meringkuk di lantai, meratapi kekacauan dalam hidupnya. Meta benar-benar tidak mengetahui kalau Xadira akan mengakhiri hidupnya saat dia meninggalkan gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status