Share

Part 4

Matahari pagi menerobos masuk melewati cela gorden dan membangunkan Saga. Butuh beberapa detik sebelum kesadaran kembali sepenuhnya. Aroma bunga mawar yang berasal dari pengharum ruangan, suara napas di dada sebelah kiri, dan beban di lengan yang tampak nyaman. Saga merasa ingin berlama-lama menikmati momen tersebut. Ini pagi pertama mereka sebagai pasangan pengantin baru, bukan? Tak ada salahnya bermalas-malasan sedikit lebih lama.

Sesil menggeliat dan mengerjapkan mata dua kali. Menemukan kulit telanjang dengan bulu halus tepat di depan matanya. Di antara kantuk yang masih tersisa, pikirannya dipaksa bekerja. Ia tersentak dan segera menjauh dari dada Saga. Namun, gerakannya tertahan oleh lengan Saga yang melingkari di leher.

“Saga?” Sesil menelan kecanggungannya. Sedikit merasa aman bahwa ia masih mengenakan pakaian di balik selimut meskipun Saga tidak. “Kau sudah bangun?”

Saga hanya tersenyum tipis. Menatap lekat-lekat wajah Sesil yang begitu dekat dengan wajahnya dan seketika gairahnya terlecut. “Apa kau sudah merasa jauh lebih baik?” tanya Saga dengan suara serak dan dalam.

Sesil mengernyit, lalu saat tatapan Saga terarah ke bagian bawah tubuhnya, seketika wajahnya memerah dan mengangguk dengan kaku.

“Kalau begitu, aku menginginkan istriku lagi tentu bukan masalah, bukan? Kali ini aku pastikan rasanya tidak akan sesakit tadi malam.” Jemari Saga membelai lengan Sesil dan naik ke bahu.

Sesil mengerjap, pipinya memanas dan pandangannya teralih ke mana pun asalkan bukan ke wajah Saga. Rasa malu benar-benar memucatkan bibirnya.

Saga memegang dagu Sesil, mendekatkan wajah mereka sehingga mau tak mau tatapan Sesil terkunci dengan tatapan Saga. Hingga kedua bibir mereka saling bersentuhan dan Saga menyingkirkan kaos putih yang menghalangi kulit telanjang mereka untuk saling menempel.

Sesil memejamkan mata. Memasrahkan diri di bawah bimbingan Saga. Setidaknya pria itu menepati janjinya. Saga tidak memberinya rasa sakit seperti tadi malam, dan malah memberinya kenikmatan yang belum pernah ia cecap sebelumnya.

****

“Sepertinya ini bukan pertama kalinya kau meniduri wanita?”

Sendok dalam genggaman Saga yang sudah terisi potongan alpukat berlumur madu melayang di udara dengan pertanyaan Sesil. Turun kembali ke piring dan Saga menatap Sesil dengan perhatian penuh.

“Kau bertanya?” Saga menarik alisnya ke atas dengan suara ditarik-tarik. Tak percaya pertanyaan semacam itu bisa keluar dari bibir Sesil.

Sudah tentu, kelihaian Saga ketika menyentuh dan menggoda saraf dalam tubuhnya. Pria itu tahu seluruh bagian sensitifnya yang menimbulkan gelenyar asing di tubuhnya. Bakat semacam itu pasti ada alasannya, bukan? “Berapa banyak wanita yang kau tiduri sebelum aku?”

“Apa aku memang mendengar nada cemburu dari pertanyaanmu baru saja, Sesil? Ataukah hanya perasaanku saja?”

“Apa aku tidak boleh tahu?”

Saga mengamati raut penasaran Sesil, kecemburuan yang tersamar di sana menggelitik hatinya. “Ya, ada beberapa jika kau bersikeras ingin tahu.”

Sesil merasa kesal dan sangat jengkel karena kekesalan itu sendiri. Menyesal karena tidak mampu menanggulangi rasa penasarannya. “Aku tidak bersikeras.”

“Aku punya masa lalu sebelum bertemu denganmu, Sesil. Bukankah yang paling penting adalah saat ini aku tengah menikmati sarapan pagi yang sangat indah dengan istriku yang cantik.”

“Lalu, apa aku punya kekasih sebelum menjadi tunanganmu?”

Saga mengangguk. “Ya, kau punya seorang kekasih yang kemudian menjadi tunanganmu.”

“Bagaimana kami bisa memilih berpisah?”

“Itu bukan pemilihan topik yang bagus untuk berbincang dengan suami, Sesil. Aku pria yang sensitif jika menyangkut pria lain.”

“Siapa namanya?”

“Habiskan sarapanmu. Aku lebih suka membahas urusan ranjang daripada masa lalu kita. Apakah aku memuaskanmu tadi pagi, Sesil?”

Sesil menunduk dan tersipu menatap piringnya. Memilih menuruti kata-kata Saga untuk segera menandaskan sarapan.

****

“Pesta?” Sesil mengulang jawaban Saga ketika ia menanyakan tentang gaun panjang dengan belahan cukup tinggi yang pasti akan menampakkan sebagian besar paha atasnya yang kini terhampar di ranjang kamar hotel mereka.

“Apa kau keberatan?” tanya Saga dengan sikap tenangnya. Sama sekali tak bersusah payah meskipun hanya untuk melirik Sesil yang berjalan mendekat ke arahnya.

Sesil berdiri di samping sofa, mencoba mendapatkan perhatian lebih Saga atas keluhannya. “Kau tahu kondisiku saat ini sama sekali tak memungkinkan untuk menghadiri sebuah pesta. Bukankah itu tujuanmu membatalkan pesta pernikahan kita?”

Saga berhenti membaca koran yang ada di kedua tangannya. Kembali melipat koran tersebut dan meletakkannya di meja. “Ini pesta teman dekatku.”

Sesil mengangguk mengerti, tapi tak cukup memahami dengan keanehan ini. “Bagaimana teman dekatmu mengadakan pesta sehari setelah hari pernikahan kita. Bukankah pesta yang dibatalkan mendadak itu adalah hari ini juga? Apakah rencana pesta temanmu akan dibatalkan jika pesta kita berjalan sesuai rencana?”

Saga terdiam. Sialan, tak mengira Sesil sejeli itu.

“Kurasa hubungan kalian tak sedekat itu,” tambah Sesil dengan kernyitan di dahi.

“Hmm, sebenarnya hubungan kami memburuk akhir-akhir ini. Tapi aku tak ingin melewatkan apa pun acaranya.”

Kedua mata mereka berpandangan. Sesil dengan tatapan menyelidik, tapi tak menemukan apa pun di balik ketajaman mata Saga. Ia pun memilih mengenyahkan pikiran buruknya yang kembali muncul.

“Apa kau butuh perawatan untuk menyegarkan wajahmu?”

“Aku hanya ingin pulang,” gumam Sesil pelan ketika berbalik. Bahkan pulang pun bukan ke rumahnya, gerutunya dalam hati.

Saga tersenyum tipis, matanya yang bersinar licik menatap punggung Sesil menjauh menuju kamar mandi. “Pesta ini akan sangat menyenangkan, Sesil. Sedikit kejutan sebagai hadiah pernikahan kita untuk mantan tunanganmu.”

Dan Sesil semakin dibuat tak mengerti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status