Matahari pagi menerobos masuk melewati cela gorden dan membangunkan Saga. Butuh beberapa detik sebelum kesadaran kembali sepenuhnya. Aroma bunga mawar yang berasal dari pengharum ruangan, suara napas di dada sebelah kiri, dan beban di lengan yang tampak nyaman. Saga merasa ingin berlama-lama menikmati momen tersebut. Ini pagi pertama mereka sebagai pasangan pengantin baru, bukan? Tak ada salahnya bermalas-malasan sedikit lebih lama.
Sesil menggeliat dan mengerjapkan mata dua kali. Menemukan kulit telanjang dengan bulu halus tepat di depan matanya. Di antara kantuk yang masih tersisa, pikirannya dipaksa bekerja. Ia tersentak dan segera menjauh dari dada Saga. Namun, gerakannya tertahan oleh lengan Saga yang melingkari di leher.
“Saga?” Sesil menelan kecanggungannya. Sedikit merasa aman bahwa ia masih mengenakan pakaian di balik selimut meskipun Saga tidak. “Kau sudah bangun?”
Saga hanya tersenyum tipis. Menatap lekat-lekat wajah Sesil yang begitu dekat dengan wajahnya dan seketika gairahnya terlecut. “Apa kau sudah merasa jauh lebih baik?” tanya Saga dengan suara serak dan dalam.
Sesil mengernyit, lalu saat tatapan Saga terarah ke bagian bawah tubuhnya, seketika wajahnya memerah dan mengangguk dengan kaku.
“Kalau begitu, aku menginginkan istriku lagi tentu bukan masalah, bukan? Kali ini aku pastikan rasanya tidak akan sesakit tadi malam.” Jemari Saga membelai lengan Sesil dan naik ke bahu.
Sesil mengerjap, pipinya memanas dan pandangannya teralih ke mana pun asalkan bukan ke wajah Saga. Rasa malu benar-benar memucatkan bibirnya.
Saga memegang dagu Sesil, mendekatkan wajah mereka sehingga mau tak mau tatapan Sesil terkunci dengan tatapan Saga. Hingga kedua bibir mereka saling bersentuhan dan Saga menyingkirkan kaos putih yang menghalangi kulit telanjang mereka untuk saling menempel.
Sesil memejamkan mata. Memasrahkan diri di bawah bimbingan Saga. Setidaknya pria itu menepati janjinya. Saga tidak memberinya rasa sakit seperti tadi malam, dan malah memberinya kenikmatan yang belum pernah ia cecap sebelumnya.
****
“Sepertinya ini bukan pertama kalinya kau meniduri wanita?”
Sendok dalam genggaman Saga yang sudah terisi potongan alpukat berlumur madu melayang di udara dengan pertanyaan Sesil. Turun kembali ke piring dan Saga menatap Sesil dengan perhatian penuh.
“Kau bertanya?” Saga menarik alisnya ke atas dengan suara ditarik-tarik. Tak percaya pertanyaan semacam itu bisa keluar dari bibir Sesil.
Sudah tentu, kelihaian Saga ketika menyentuh dan menggoda saraf dalam tubuhnya. Pria itu tahu seluruh bagian sensitifnya yang menimbulkan gelenyar asing di tubuhnya. Bakat semacam itu pasti ada alasannya, bukan? “Berapa banyak wanita yang kau tiduri sebelum aku?”
“Apa aku memang mendengar nada cemburu dari pertanyaanmu baru saja, Sesil? Ataukah hanya perasaanku saja?”
“Apa aku tidak boleh tahu?”
Saga mengamati raut penasaran Sesil, kecemburuan yang tersamar di sana menggelitik hatinya. “Ya, ada beberapa jika kau bersikeras ingin tahu.”
Sesil merasa kesal dan sangat jengkel karena kekesalan itu sendiri. Menyesal karena tidak mampu menanggulangi rasa penasarannya. “Aku tidak bersikeras.”
“Aku punya masa lalu sebelum bertemu denganmu, Sesil. Bukankah yang paling penting adalah saat ini aku tengah menikmati sarapan pagi yang sangat indah dengan istriku yang cantik.”
“Lalu, apa aku punya kekasih sebelum menjadi tunanganmu?”
Saga mengangguk. “Ya, kau punya seorang kekasih yang kemudian menjadi tunanganmu.”
“Bagaimana kami bisa memilih berpisah?”
“Itu bukan pemilihan topik yang bagus untuk berbincang dengan suami, Sesil. Aku pria yang sensitif jika menyangkut pria lain.”
“Siapa namanya?”
“Habiskan sarapanmu. Aku lebih suka membahas urusan ranjang daripada masa lalu kita. Apakah aku memuaskanmu tadi pagi, Sesil?”
Sesil menunduk dan tersipu menatap piringnya. Memilih menuruti kata-kata Saga untuk segera menandaskan sarapan.
****
“Pesta?” Sesil mengulang jawaban Saga ketika ia menanyakan tentang gaun panjang dengan belahan cukup tinggi yang pasti akan menampakkan sebagian besar paha atasnya yang kini terhampar di ranjang kamar hotel mereka.
“Apa kau keberatan?” tanya Saga dengan sikap tenangnya. Sama sekali tak bersusah payah meskipun hanya untuk melirik Sesil yang berjalan mendekat ke arahnya.
Sesil berdiri di samping sofa, mencoba mendapatkan perhatian lebih Saga atas keluhannya. “Kau tahu kondisiku saat ini sama sekali tak memungkinkan untuk menghadiri sebuah pesta. Bukankah itu tujuanmu membatalkan pesta pernikahan kita?”
Saga berhenti membaca koran yang ada di kedua tangannya. Kembali melipat koran tersebut dan meletakkannya di meja. “Ini pesta teman dekatku.”
Sesil mengangguk mengerti, tapi tak cukup memahami dengan keanehan ini. “Bagaimana teman dekatmu mengadakan pesta sehari setelah hari pernikahan kita. Bukankah pesta yang dibatalkan mendadak itu adalah hari ini juga? Apakah rencana pesta temanmu akan dibatalkan jika pesta kita berjalan sesuai rencana?”
Saga terdiam. Sialan, tak mengira Sesil sejeli itu.
“Kurasa hubungan kalian tak sedekat itu,” tambah Sesil dengan kernyitan di dahi.
“Hmm, sebenarnya hubungan kami memburuk akhir-akhir ini. Tapi aku tak ingin melewatkan apa pun acaranya.”
Kedua mata mereka berpandangan. Sesil dengan tatapan menyelidik, tapi tak menemukan apa pun di balik ketajaman mata Saga. Ia pun memilih mengenyahkan pikiran buruknya yang kembali muncul.
“Apa kau butuh perawatan untuk menyegarkan wajahmu?”
“Aku hanya ingin pulang,” gumam Sesil pelan ketika berbalik. Bahkan pulang pun bukan ke rumahnya, gerutunya dalam hati.
Saga tersenyum tipis, matanya yang bersinar licik menatap punggung Sesil menjauh menuju kamar mandi. “Pesta ini akan sangat menyenangkan, Sesil. Sedikit kejutan sebagai hadiah pernikahan kita untuk mantan tunanganmu.”
Dan Sesil semakin dibuat tak mengerti.
Saga mendekati kerumunan tiga pria yang terkekeh bersamaan, tapi tawa itu lenyap ketika pria bersetelan abu gelap memberi isyarat pada pria di tengah yang langsung memutar tubuh dan bertatapan langsung dengan Saga.“Aku tak mengira pintu rumah ini masih terbuka untukku,” sapa Saga dengan tatapan dingin si pria melihat kedatangannya.Sesil menoleh ke arah Saga. Terheran. Apakah mereka tamu tak diundang?Max menatap sekilas pada Sesil sebelum kembali pada Saga. Selera Saga terhadap wanita memang tak pernah mengecewakan. “Kau benar-benar tak terduga, Saga. Aku tak mengira kau akan datang.”“Ini acara penting sahabatku, aku tak mungkin melewatkannya.”Max terdiam sesaat. Senyum Saga terlalu lebar, jenis senyuman yang mengundang curiga jika kau mengenal pria itu dengan sangat baik. Sebagai Tuan rumah yang baik, ia memaksakan senyum pada pasangan Saga. Hubungan buruknya dengan Saga, bukan dengan siapa pun yang sedang b
“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.“Pulang.”“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.“Aku sudah menyapa temanku.”“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa takjub meskipun dengan kesinisa
“Siapa pria bernama Saga itu?”Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”“Kami pernah berteman dekat.”“Pernah?”“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”“Sepertinya dia musuhmu?”“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”“Hingga sekarang.”Dirga terdiam. “Jauhi dia!”Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tah
Praanggg ... vas bunga yang semula berada di meja hias pelengkap set sofa kini melayang dan berhamburan di lantai. Salah satu pecahan mengenai kaki Saga yang mengenakan sandal santai dan celana pendek berwarna coklat tua.Saga terkejut, seumur hidupnya yang terbiasa bersikap was was. Ini pertama kalinya ia merasa terancam dengan keberadaan seseorang ketika menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Beruntung si pelempar bukanlah pembunuh bayaran dengan bakat mumpuni yang dibayar sangat mahal atas kepalanya.Darah merembes sepanjang goresan pecahan vas yang merobek kulit kaki kanannya. Dua pengawal yang berjaga di depan pintu sudah bergerak sigap mencekal kedua tangan Sesil. Sambutan selamat datang yang mengejutkan ini tentu ada alasannya, bukan?“Berengsek sialan!” desis Sesil dengan rontaannya yang sia-sia. Bibirnya menipis di antara rahangnya yang mengeras. Mata dan wajahnya merah terbakar amarah yang begitu besar. Sungguh, ia ingin menangis tersedu ol
Sesil masih terisak. Meringkuk di kasur yang berantakan dengan air mata membanjiri bantal serta selimut yang ia gunakan untuk meredam tangisan dan luka hatinya.‘Kekasihmu yang lebih dulu mengusikku. Kau tahu hatiku tak semulia itu, Sesil. Apa yang dilakukan Dirga dan penghinaanmu. Setidaknya aku akan merasa puas dengan bayaran ini.’Masih terngiang kata-kata Saga sebelum pria itu meninggalkanya sendirian dalam kepekatan derita yang ditorehkan ke seluruh tubuhnya.Dirga merusak kartel bisnis Saga hingga pria busuk itu merugi beberapa milliar. Alasan yang baru diketahuinya kenapa Saga tertarik mencari tahu dirinya dan membuat pertengkaran hebat antara dirinya dan Dirga untuk terakhir kalinya. Memang tak seberapa bagi pria dengan kerajaan bisnis gelap yang menguasai pasar negeri ini dan beberapa negara tetangga. Perdagangan senjata, klub-klub malam yang menawarkan kemewahan, bisnis prostisusi, dan entah pekerjaan kriminal apa lagi yang digelut
Ingatan terakhirnya hanyalah mobil yang melaju tak terkendali, bunyi klakson yang memekakakkan telinga, kepalanya yang terdorong ke jendela mobil karena ia tak mengenakan sabuk pengaman, dan mobil yang berguling-guling menuruni jurang. Sungguh keajaiban ia bisa selamat dari kecelakaan menggenaskan itu.Lalu, seakan ingatan di kepalanya direset dan diganti ingatan baru yang dijejalkan Saga di kepalanya. Bukan hanya itu, Saga sengaja membuatnya terombang-ambing dengan kegelisahan akan jati dirinya yang sebenarnya. Ia tidak berselingkuh dengan Dirga, melainkan Sagalah yang membuat Dirga berpikiran bahwa ia berselingkuh dengan Saga.Suara pintu yang diketuk, sesaat menghentikan tangisan Sesil. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan pengurus rumah tangga, karena tak mungkin Saga mengetuk pintu untuk masuk ke kamar pria itu sendiri. Segera Sesil bangkit terduduk, berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut ketika pintu terbuka. Seorang pelayan masuk dengan
“Sial!!!” umpatan Saga sejenak membuyarkan konsentrasi sopir dari jalanan yang lengang. Saga membanting ponselnya ke jok dan memberi perintah, “Kembali ke rumah.”Belum ada sepuluh menit ia meninggalkan rumah, Sesil sudah membuat masalah. Berani-beraninya wanita itu melarikan diri dari rumahnya. Tentu tak akan pernah semudah itu. Wanita itu hanya bisa pergi dari rumahnya dengan ijinnya atau dengan tanpa nyawa. Dan ia benci jika rencananya tak berjalan sesuai dengan keinginannya. Urusannya masih belum selesai dengan Sesil.Sesampai di halaman rumah, ia melihat raut pucat dua penjaga yang berjaga di depan pintu kamar. Jon, pemimpin pengawal-pengawalnya berjalan mendekat ketika ia keluar dari mobil. “Maafkan kami, Tuan.”“Aku tak membutuhkan kata maaf, Jon. Bagaimana dia bisa kabur dengan menuruni balkon setinggi itu?” Saga tak membutuhkan jawaban Jon ketika melihat sprei kasurnya yang berkibar tertiup angin. Lalu ter
Saat matanya bergerak, rasa pusing yang menyerang kepala membuat Sesil mengernyit dalam-dalam dan mengerang pelan. Gorden kamar yang menutupi jendela dan lampu yang menyala terang meyakinkan Sesil bahwa hari sudah gelap. Kemudian, seketika ingatan terakhirnya sebelum ia pingsan kembali menerjang otaknya. Tangisannya kembali pecah menyadari di mana ia tengah berbaring saat ini. Ruangan yang sama tempat Saga membunuh.“Kau sudah sadar?”Sesil tak memedulikan keberadaan Saga, tangisannya tak terhenti.“Aku benci wanita yang cengeng, Sesil. Hentikan tangisanmu!” gertak Saga untuk kedua kalinya. Kali ini pria itu berdiri di pinggir ranjang dan menyentak bahu Sesil hingga wanita itu berbaring telentang dan wajahnya bisa menatap keberadaan dirinya.Sesil menepis tangan Saga. Namun, pria kejam itu memang tak pernah segan-segan bersikap kasar pada wanita. Dan malah menarik tubuh Sesil bangkit terduduk.“Pembunuh!” raung S