Share

Part 3

Seperti dugaan Sesil, gaun –secuil kain- yang ia kenakan terbang tertiup angin dan hampir menelanjanginya. Ia merasa sangat risih sekaligus lega karena pernikahan dilaksanakan secara pribadi. Sehingga tak cukup membuatnya merasa malu harus bertelanjang di depan umum.

Rambutnya yang sengaja diurai dengan mahkota bunga sebagai hiasan di kepala, kaki telanjangnya yang menginjak pasir pantai, dan udara asin yang menerpa wajahnya. Sesil akan mengira ini pernikahan paling indah yang ia inginkan. Santai, tapi tanpa mengurangi kesakralan dan keintiman seperti seharusnya sebuah acara pernikahan terlaksana.

Lalu, semua bayangan keindahan itu lenyap ketika ia melihat wajah Saga. Satu-satunya hal yang tidak Sesil harapkan keberadaanya meskipun dengan ketampanan tingkat tinggi wajah Saga. Entah kenapa, hatinya mengingkari keberadaan pria itu di dekatnya. Dengan aura yang selalu mampu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Tatapan gelap dan dingin meski senyum tertoreh di wajah itu untuknya. Sesil merasakan sesuatu yang lain.

“Bagaimana perasaanmu, istriku?” Saga mendekatkan wajahnya di wajah Sesil dengan kedua tangan bersandar di pinggang wanita itu. Menghentikan lamunan Sesil sejak pendeta berpamit dan membiarkannya menikmati suasana romantis sebagai pasangan suami istri yang sah.

Sesil merasa pertanyaan Saga hanya demi menelusuri pikirannya. Dengan tujuan yang tak bisa ia tebak. “Aku ... masih merasa bingung dengan semua ini,” jujur Sesil.

“Ya, mungkin karena ingatanmu yang belum kembali, sehingga perasaan dan pikiranmu menjadi bingung. Tapi, lihatlah kenyataan yang ada di hadapanmu, Sesil. Itulah yang terjadi. Lupakan yang telah berlalu, karena sekarang aku adalah suamimu. Okey?”

Sesil semakin dibuat tak mengerti dengan kalimat Saga.

“Selamat untuk kalian berdua,” ucapan selamat Alec menyela pikiran Sesil yang masih mengambang penuh tanda tanya. Wanita itu tersenyum tipis dan mengangguk singkat pada pria yang menyambut dan memperkenalkan diri sebagai kaki tangan Saga saat mereka tiba di resort.

“Terima kasih, Alec. Untuk semuanya.”

Alec mengangkat bahu sambil berkata ringan, “Tak masalah.”

Sesil melirik pandangan mata Saga dan Alec yang berbicara lain dari bibir mereka. Lalu membentak dirinya sendiri atas kecurigaan yang selalu menggelayuti hatinya. Semua pemikiran buruk itu hanya membuat kepalanya semakin pusing. Dahinya mengernyit ketika rasa nyeri yang menusuk tiba-tiba muncul dan tangan kirinya naik ke kepala. Berharap dapat meredam kesakitan di sana.

‘Apa yang kaulakukan di sini?’

‘Mengucapkan selamat untuk pertunangan kalian.’

Samar-sama suara itu menggaung di kepala Sesil dan memberinya denyutan yang sangat menusuk

“Sesil, apa kau baik-baik saja?” Saga memegang kedua pundak Sesil yang meringis kesakitan.

Sesil terpaksa bersandar dalam pelukan Saga. “Aku ingin berbaring.”

****

Ketika terbangun, tubuh dan kepala Sesil terasa lebih ringan. Ia menoleh ke jendela kamar yang terbuka. Warna merah dan orange keemasan menunjukkan bahwa hari telah menjelang malam. Sepertinya ia tertidur selama beberapa jam. Atau mungkin karena pengaruh obat yang diberikan Saga sebelum ia terlelap.

Tanpa mengalihkan pandangan dari arah jendela, Sesil terduduk. Terkesima menikmati cahaya matahari yang berhamburan dan begitu indah di ujung langit ketika terbenam. Ia bangun di waktu yang sangat tepat dan tak melewatkan pemandangan itu sedetik pun. Hingga beberapa menit kemudian keindahan itu lenyap bersamaan matahari yang benar-benar terbenam, dan ia baru menyadari keberadaan Saga di set sofa samping jendela. Duduk dengan kedua kaki bersilang, siku bersandar di punggung sofa, dan tatapan tajam mengarah padanya. Sesil terkejut tapi bisa menguasai diri dengan sangat baik. Ia harus berkali-kali mengingatkan diri untuk menyesuaikan keberadaan Saga di dalam ruang pribadinya. Meminum obat tidur ternyata tidak bisa membuatnya melupakan pernikahan mereka siang tadi.

Saga sudah mengganti setelan jas putihnya dengan kaos putih dan celana pendek berwarna abu gelap. Rambutnya yang ikal tampak terurai berantakan yang malah menambah tingkat ketampanan pria itu. Tatapan Saga yang begitu intens membuat Sesil gugup dan bertanya dengan suara serak, “Sejak kapan kau di sana?”

“Sejak kau tertidur.” Saga berdiri, mendekati ranjang dengan langkah perlahan. “Kau sudah bangun?”

Sesil mengangguk kaku meskipun merasa itu tindakan yang bodoh. Pertanyaan dan jawaban itu hanya basa-basi demi melonggarkan suasana canggung di antara mereka.

Jantung Sesil berdegup semakin kencang setiap Saga mengambil satu langkah mendekat. Beruntung tekanan di perut bagian bawahnya membuat Sesil menyingkap selimut dan segera turun dari ranjang sebelum Saga benar-benar sampai di dekatnya.

Saga menangkap pergelangan Sesil saat wanita itu hendak melewati dirinya.

Napas Sesil tertahan tapi jantungnya bertalu tiada henti. Kenapa Saga menahan lengannya? Apa yang akan dilakukan pria itu? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat Sesil tercekik.

“Aku ... ingin ke kamar mandi.” Sesil menarik tangannya dan berlari menuju pintu mana pun yang tertangkap matanya. Secepat mungkin menjauh dari Saga. Bersandar di pintu kamar mandi setelah memastikan kunci terputar dan Saga tak akan bisa menyusulnya ke dalam. Selama beberapa menit ia berdiri, menenangkan degupan di dada. Kemudian perhatiannya teralih pada gaun pengantin yang masih ia kenakan. Sangat lega Saga tidak mengambil kesempatan dan mengganti gaunnya selama ia terlelap. Sedikit memuji kesopanan suaminya.

Sesil mendesah berat dengan kata suami. Menyadari bahwa saat ini ia benar-benar telah menjadi seorang istri Saga Ganuo. Ya, mungkin Saga benar. Ia harus melihat kenyataan yang ada di hadapannya.

Lima menit kemudian, setelah mengelolah kegugupannya sebaik mungkin, Sesil keluar dengan wajah lebih segar. Melihat Saga duduk di balkon kamar dengan hidangan memenuhi meja rotan berbentuk bundar. Dua cangkir yang berada di sisi meja masih mengepulkan asap. Seketika rasa lapar melilit perut Sesil. Sudah tentu, ia melewatkan makan siang, ‘kan.

“Kemarilah.” Saga melambai pada Sesil yang berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi.

Sesil melangkah menghampiri. Duduk di kursi yang ditarik Saga untuknya.

“Makanlah, perutmu pasti sangat lapar.”

Air liur Sesil memenuhi seluruh mulutnya dengan aroma daging dan teh hijau yang menguar. Saga menyodorkan steak yang sudah dipotong kecil ke hadapan Sesil. Secangkir kopi milik Saga sudah berkurang setengah, sedangkan untuknya secangkir teh dengan aroma chamomile. Sesil merasakan kehangatan menjalari tenggorokan dan perutnya ketika satu teguk melewati mulut dan tenggorokannya.

“Itu untuk menenangkan tubuh dan pikiranmu.”

Sesil tak tahu harus menjawab apa sehingga ia hanya mendengarkan dan meneguk tehnya sekali lagi.

Keduanya menandaskan makan malam sepuluh menit kemudian. Saga selesai lebih dulu, mengusap bibirnya dengan tisu dan matanya berpindah mengamati Sesil. Lagi.

Sesil meletakkan sendok kecil dengan canggung setelah melahap suapan terakhir dessert mereka. Wajahnya mematung saat tangan Saga terangkat menyentuh rambut dan menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinganya.

“Aku sudah mengatasi rasa lapar di perut kita, selanjutnya ...” bisik Saga dengan suara berat dan napas tertahan.

Lalu tubuhnya bergidik ketika jemari Saga menelusuri sisi wajahnya dari mata, pipi, dan berhenti di bibir. Menekan sepajang bibir memeriksa kelembutan dan kekenyalan seolah menilai dengan puas. Pandangan mata Sesil tertunduk, tak berani bergerak ke atas. Menatap dengan getir otot-otot perut Saga yang terjiplak sangat jelas oleh kaos tipis pria itu. Wajahnya memanas membayangkan pria itu akan menanggalkan kaos tersebut dan telanjang di hadapannya. Mengingat kegiatan yang terencana begitu jelas di manik Saga.

Tidak ada alasan bagi Sesil untuk menolak apa yang akan dilakukan Saga pada seluruh tubuhnya mengingat statusnya sebagai istri Saga. Lagi pula, bukankah ia dan Saga tinggal bersama selama ini, tentu saja ini bukan pertama kali Saga menyentuhnya, bukan? Tidak seharusnya ia merasa seperti gadis polos yang masih malu-malu dengan sentuhan pria pertamanya. Meskipun semua kenyataan menamparnya bahwa ia adalah wanita murahan sebelum ingatannya menghilang.

Terkadang, ia merasa bersyukur semua ingatan menjijikkan itu lenyap, dan berharap tak akan pernah mengingatnya lagi. Akan tetapi, hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang hilang di dada. Mungkinkah itu tentang alasan kenapa ia begitu mencintai Saga?

“Malam ini, kau tidak berpikir akan menolak sentuhanku hanya karena ingatanmu yang belum kembali, kan?”

Sesil mengerjap. Pertanyaan Saga hanyalah penegasan bahwa pria itu tak akan mendengarkan alasan apa pun darinya. Menggigit bibir bagian dalam demi menahan gemetar di seluruh tubuh ketika Saga meraih dagu dan perhatian Sesil sepenuhnya tertuju pada pria itu.

“Heum?” Saga memaksa jawaban Sesil karena keterdiaman wanita itu. Berdiri dan mengarahkan Sesil mengikuti gerakannya.

Sesil mengangguk dengan kaku. Menekan ketakutan dan berpasrah diri. Toh Saga adalah suaminya. Setidaknya apa yang akan mereka lakukan di atas ranjang bukanlah hal tidak benar. Untuk ke depannya.

Jemari Saga turun dari bibir Sesil, leher, dan ke punggung Sesil. Menarik resleting hingga gaun yang tak sepenuhnya menutup tubuh Sesil kini perlahan menelanjangi wanita itu dan teronggok di lantai.

“Kau tak perlu segugup ini Sesil, ini malam pengantin yang selalu kau tunggu.” Saga menunduk. Menempelkan bibirnya di telinga Sesil ketika berbisik dengan mesra dan panas.

Mata Sesil terpejam. Menarik napas dalam-dalam menanti apa yang akan dilakukan Saga selanjutnya. Seperti boneka, ia hanya mematuhi apa yang diinginkan Saga.

Saga mengangkat kedua tangan Sesil, mengalungkan di lehernya sebelum mengangkat wanita itu hingga tersentak dan membelalak kaget dengan wajah sangat merah menuju ke dalam kamar tidur. Seringai tipis tersamar ketika Saga membaringkan Sesil di tengah ranjang. Menyentuh, membelai, dan gairahnya terpacu saat tak ada sehelai benang pun menutupi tubuh putih dan mulus Sesil dari pandangan mata dan sentuhan kulitnya.

Setiap inci tubuh Sesil mampu membuat seluruh saraf dalam tubuhnya menggila meminta kepuasan yang lebih dan lebih. Hingga kedua tubuh menyatu bersamaan jerit kesakitan Sesil yang tertahan di antara ciuman mereka.

Saga terkejut, dialah pria pertama Sesil. Namun hasrat yang sudah terlanjur naik dan tak bisa ia tahan, menutup keterkejutannya dan masuk semakin dalam. Meminta penuntasan.

***

Begitu selesai, keduanya berbaring di tengah ranjang dengan kain-kain berhamburan di lantai sekitar ranjang. Sesil berbaring miring, dan Saga memeluknya dari belakang. Wajahnya tenggelam di leher Sesil, menikmati aroma keringat keduanya yang bercampur di kulit telanjang istrinya. Kegiatan yang tak pernah ia lakukan ketika bersama dengan wanita lain.

Ia tak pernah berlama-lama menghabiskan waktu sedetik pun dengan teman tidurnya. Apalagi bergelung santai dan saling memeluk di ranjang seperti saat ini.

“Aku ingin ke kamar mandi.” Sesil mengurai pelukan Saga di perut telanjangnya. Meraih kaos Saga di lantai karena hanya itu pilihan yang ia miliki atau harus berjalan ke kamar mandi dengan telanjang.

Saga tertegun menatap punggung Sesil menjauh dengan langkah pelan seolah menahan rasa sakit di pangkal paha. Ya, wanita itu mengerang karena rasa sakit yang tak bisa ditahan ketika ia berusaha mencoba menyatukan tubuh mereka. Jelas ini adalah pertama kalinya Sesil berhubungan intim dengan seorang pria. Tak pernah mengira bahwa Dirga tidak pernah menyentuh wanita itu bahkan setelah satu tahun mereka bertunangan. Apakah pria itu memang sesuci itu? Ataukah tubuh Sesil yang kurang menarik untuk ditiduri? Sepertinya karena Dirga terlalu bodoh sampai melewatkan permata yang jelas-jelas ada di depan mata.

Percintaan mereka baru saja, gelenyar kepuasan yang menjalar ke seluruh tubuhya, semua adalah kepuasan yang belum pernah Saga dapatkan sebelumnya. Mungkin karena Sesil ada perawan pertama yang ia tiduri? Ataukah karena ia meniduri seorang istri jadi rasanya lebih nikmat dan legal?

Sialan! Setidaknya ia melakukan tindakan benar dengan menikahi Sesil sebelum meniduri wanita itu. Saga berusaha membenarkan rasa sesal atas kebrengsekannya dan merusak keperawanan Sesil.

‘Diam kau, Saga! Sejak kapan kau terdengar sentimentil seperti ini!’

Saga mengerjap ketika pintu kamar mandi terbuka. Wajah Sesil basah, tapi rona merah masih menghias di sana. Beberapa bekas gigitannya di leher masih begitu kentara. Juga di dada jika Sesil membuka kaos putihnya yang tampak kebesaran di tubuh mungil Sesil yang terjiplak.

“Apakah ini pertama kalinya kau menyentuhku?” Sesil berhenti ketika berdiri di samping ranjang. Menyilangkan kedua lengan di dada demi menutupi dadanya yang telanjang karena kaos tipis Saga sama sekali tak membantu.

Saga mengangguk singkat, bersikap seolah ini hanyalah percakapan ringan sebagai pasangan. Menarik selimut di sisi ranjang tempat istrinya akan berbaring.

“Kau mengatakannya seolah kita terbiasa melakukan sentuhan atau ciuman itu.”

Saga memaku tatapan Sesil sebelum menjawab, “Ya, kita terbiasa melakukan sentuhan-sentuhan itu, kecupan singkat, dan lumatan di bibir. Kecuali apa yang kita lakukan tadi malam. Kau bersikeras menjaga keperawananmu hingga malam pernikahan kita.”

Wajah Sesil memerah seerti seember air panas diguyurkan di muka dan membakarnya dalam rasa malu. “Kau menipuku?”

“Aku berusaha bersikap baik sebagai seorang kekasih yang menghormati gadisnya. Apakah itu sebuah penipuan?”

“Kau mengatakan kita tinggal bersama dan tidur di kamar yang sama.”

“Ya, memang.”

“Apakah itu mungkin, kau tidak melewati batas selama kita tidur di ranjang yang sama? Ataukah sebegitu buruknya tubuhku hingga kau tidak tertarik?”

“Well, jadi kau ingin aku merusak kehormatanmu dan menjadikanku pria berengsek?”

Bibir Sesil terkatup rapat. Menyumpahi dirinya. Sebenarnya apa yang kauinginkan, Sesil?!

“Seperti itulah cinta yang kita miliki, Sesil. Kita saling berkorban.”

Sekali lagi, pernyataan Saga terdengar begitu meyakinkan. Apakah cinta mereka memang sedalam itu?

Saga mengulurkan tangan pada Sesil.

Sesil meragu, tapi membalas uluran tangan Saga. Membiarkan pria itu membaringkan tubuhnya di ranjang dan memeluknya dari belekang. Tak lupa kecupan singkat di bibir sebagai ucapan selamat malam Saga. Sepertinya ia memang harus terbiasa dengan ciuman singkat Saga sebagai ucapan selamat malam, pagi, siang, atau pun sore. Kemudian Sesil terlelap, oleh rasa lelah di kepala dan seluruh tubuhnya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status