Sesil terbangun dengan ingatan sebersih kanvas kosong. Menemukan dirinya sebagai tunangan mafia paling ditakuti dengan kekejamannya, Saga Ganuo. Hingga kemudian, perlahan Sesil menyadari bahwa memori yang diberikan Saga bukanlah ingatan yang ia miliki. Ada sesuatu yang besar yang ditutup-tutupi oleh Saga. Namun, kebohongan itu terlambat terbongkar. Saat Sesil berhasil mendapatkan ingatan yang sesungguhnya kembali, ternyata ia sudah jatuh terlalu dalam oleh tipu muslihat dan permainan Saga. Ternyata Saga adalah musuh dari tunangannya, Banyu Dirgantara. Yang memanfatkan dirinya sebagai alat untuk balas dendam. Apakah yang harus Sesil lakukan? Bisakah ia melepaskan diri dari genggaman Saga?
View More“Hey … Akhirnya kau membuka matamu.”
Sesil mengerjapkan matanya beberapa kali di antara rasa sakit di kepalanya. Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari ada seseorang yang berdiri di samping ranjang. Tangannya bergerak menyentuh kepala, saat itulah ia menyadari infus yang tertempel di tangan kiri. Dinding serba putih dan aroma antiseptik yang menyergap hidungnya, ia tahu benar sedang berbaring di manakah ini. Hanya saja, denyutan di kepala Sesil semakin menjadi ketika ia berusaha mengingat apa yang membuatnya berada di tempat steril ini.
“Bagaimana perasaanmu?” Pria itu bersuara lagi. Kali ini Sesil memberikan perhatian sepenuhnya. Pria itu berambut ikal menyentuh leher dan berwarna gelap. Rahangnya terukir keras, hidung mancung, alis tebal, dan mata setajam elang. Tak akan berlebihan jika Sesil memuji ketampanan pria itu. Dan tentu saja, pria itu bukan dokter yang bertugas mengingat kemeja hitam dan bentuk tubuh semacam itu.
“Kau … Siapa kau?” Jantung Sesil berdegup kencang. Tubuh Sesil beringsut menjauh ketika lelaki itu mendekat dan tetap mendekat meskipun ia terkesiap ketakutan.
Pria itu duduk di sisi ranjang dan tersenyum lembut. Kesabaran yang menghiasi wajahnya tak sejalan dengan matanya yang dingin dan gelap. “Aku tunanganmu, Sayang. Apa kau juga melupakan hal sekecil itu?”
Sesil menarik tangannya dari genggaman pria itu. Saat itulah ia menyadari benda mungil yang terselip di antara jari manisnya. Cincin dengan hiasan permata mungil berwarna merah. Panggilan Sayang yang diucapkan dengan intim. Apakah benar ia tunangan pria ini? Kenapa ia tidak bisa mengingatnya?
“Kau mengalami kecelakaan, Sesil. Kau mendapatkan cedera di kepala yang cukup serius.”.
Pria itu bahkan mengenali namanya. Mengetahui apa yang telah terjadi padanya. “Aku tidak mengingat apa pun,” gumamnya lirih di antara bibir pucatnya.
“Ya, Dokter sempat menyinggung tentang itu. Dan mengatakan itu hal yang normal. Dokter membiarkanmu tertidur selama beberapa saat untuk menyembuhkan cedera otakmu. Tapi kau tidak apa-apa.”
“Aku … aku bahkan tidak ingat siapa dirimu?”
“Aku tunanganmu. Saga. A-ku akan membantumu mengingat siapa dirimu.” Secercah senyum tipis muncul dibibir Saga. Mata birunya yang gelap dan indah memudarkan kelicikannya yang hakiki.
Sesil nampak meragu. Berpuluh pertanyaan yang aneh muncul di kepala. Tentang siapakah sebenarnya pria ini? Seberapa jauh hubungan mereka? Karena apa yang dikatakan pria itu, bertentangan dengan reaksi hatinya yang meringkuk ketakutan seperti tikus yang terpojok. Seperti ada seseorang yang mengintai dan mengancamnya dari kegelapan. Menunggu waktu yang tepat untuk … membunuhnya, mungkin. Tapi kenapa?
“Apa kau meragukanku?”
Sesil akan mengangguk. Namun, tak sampai hati jika menyinggung perasaan pria itu. Meskipun pria itu sangat asing di ingatannya, Sesil tahu pria itu mengetahui sesuatu tentang dirinya. Tentang siapa dirinya. Kata sayang dan mesra yang diucapkan pria itu, pasti memiliki sebuah alasan.
Saga mengulurkan tangan. Hendak meraih tangan Sesil, tapi sekali lagi wanita itu menjauhkan tangan dari jangkauannya. Seringai tipis tak bisa ia tahan, meskipun ia harus terlihat sangat sabar. “Aku tak akan melukaimu. Aku hanya ingin menunjukkan bukti agar kau memercayai apa yang kukatakan.”
Sesil membiarkan Saga menjangkau tangannya meskipun aura pria itu masih membuat hatinya mengkerut. Melepas cincin di jari manisnya, lalu menunjukkan sesuatu di bagian dalam cincin tersebut.
Saga and Sesil
Mata Sesil menyipit membaca nama mereka yang diukir. Lalu menatap mata Saga dan kembali pada cincin tersebut. Butuh pemastian lebih.
“Ini cincin pertunangan kita.” Saga juga menunjukkan cincin yang terpasang di jari manisnya. Tanpa hiasan apa pun, tapi terlihat berkilau.
Sesil masih tak bersuara. Berusaha mengais ingatan terakhir yang masih ada di kepala. Tentang kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Lalu ia hidup dengan keluarga pamannya di pusat kota dan memutuskan berhenti kuliah. Ia bekerja di supermarket milik teman pamannya. Bertemu dengan … mendadak hati Sesil merasa kehilangan tanpa sebab.
“Apakah kepalamu masih sakit?”
Sesil menyentuh kepalanya yang terluka dan dibebat perban melingkar. Pusat rasa sakitnya bersarang. Pusing, berat, dan menusuk-nusuk.
Saga menekan tombol yang ada di dinding. “Dokter akan datang dan memeriksamu. Pasti ada sesuatu untuk meredakannya.”
***
“Jadi, hari ini kau mempunyai seorang tunangan?”
Saga menoleh, menutup pintu ruang rawat Sesil, dan menemukan tangan kanan sekaligus kepercayaannya itu berdiri bersandar di dinding samping pintu. Dengan kedua tangan bersilang di depan dada dan kaca mata hitam tersampir di kepala. Jaket, kaos, jeans dan sepatu serba hitam, cukup mencolok di dinding rumah sakit yang berwarna putih. “Dan besok aku akan menjadi seorang suami. Tak terduga, tapi cukup menyenangkan, bukan.”
“Dia bahkan sama sekali tidak mendekati kriteria wanita yang akan kau lirik, apalagi untuk ditiduri.”
Saga terkekeh. Sesil memang bukan wanita yang akan menarik perhatiannya dengan penampilan wanita itu yang cenderung tertutup. Apalagi yang akan ia tiduri dalam satu malam. Akan tetapi, merawat Sesil selama tiga hari ini, wanita itu menyembunyikan aset yang sangat mahal di balik kain-kain sialan itu. Wajahnya juga tak bisa dibilang jelek. Sedikit polesan akan mengeluarkan aura kecantikan wanita itu. Wajah tanpa make up yang sering kali merona ketika berdekatan dengannya, tiba-tiba membuat Saga tergugah. Ingin lebih dekat dengan wanita itu. Membuat pipi itu lebih memerah. Oleh sesuatu yang lebih intim. “Kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik, Alec. Cincinnya sangat pas di jarinya.”
“Dalam hati, aku mengingkari keputusanmu, Saga. Tapi aku tak pernah mampu mempertanyakan keputusanmu.”
“Aku tahu.”
“Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dari pria itu. Tidak seharusnya kau melakukan ini pada tunangannya.”
Saga menelengkan kepala menatap Alec, senyumnya semakin tinggi. “Itulah masalahmu, Alec. Kau selalu merasa puas hanya dengan keuntungan yang sedikit. Kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Mata dibayar mata.”
“Kau terang-terangan menginginkan perang.”
“Ah, aku baru menyadarinya, Alec. Dia ternyata sangat cantik saat kau melihatnya lebih dekat. Aku tak akan mendapatkan istri secantik itu dengan reputasi jelekku.”
Alec tertawa mencemooh. “Apa kauingin aku membuat daftar siapa wanita yang berani mempertaruhkan nyawa demi jatuh di ranjangmu? Menjadi istrimu sudah seperti tujuan hidup mereka.”
“Wanita memang sangat membosankan,” gerutu Saga sambil mengibaskan tangan ke samping. “Apalagi yang terlalu memujaku.”
Alec melirik pintu ruang rawat Sesil dengan tatapan sinis.
“Kecuali dia,” tambah Saga. “Jangan biarkan siapa pun masuk,” perintah Saga pada dua pengawal yang datang. Lalu berjalan melintasi lorong diikuti Alec.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan jika ingatannya kembali?”
Seringai jahat Saga melebar keji. “Saat ingatannya kembali, semuanya sudah terlalu terlambat untuk dikembalikan.”
***
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments