Saga mendekati kerumunan tiga pria yang terkekeh bersamaan, tapi tawa itu lenyap ketika pria bersetelan abu gelap memberi isyarat pada pria di tengah yang langsung memutar tubuh dan bertatapan langsung dengan Saga.
“Aku tak mengira pintu rumah ini masih terbuka untukku,” sapa Saga dengan tatapan dingin si pria melihat kedatangannya.
Sesil menoleh ke arah Saga. Terheran. Apakah mereka tamu tak diundang?
Max menatap sekilas pada Sesil sebelum kembali pada Saga. Selera Saga terhadap wanita memang tak pernah mengecewakan. “Kau benar-benar tak terduga, Saga. Aku tak mengira kau akan datang.”
“Ini acara penting sahabatku, aku tak mungkin melewatkannya.”
Max terdiam sesaat. Senyum Saga terlalu lebar, jenis senyuman yang mengundang curiga jika kau mengenal pria itu dengan sangat baik. Sebagai Tuan rumah yang baik, ia memaksakan senyum pada pasangan Saga. Hubungan buruknya dengan Saga, bukan dengan siapa pun yang sedang bernasib sial menjadi pasangan Saga malam ini.
“Hai, ...” Max berhenti karena tak mengetahui nama pasangan yang dibawa Saga malam ini. Terlalu banyak wanita yang digandeng Saga di setiap pesta membuatnya enggan menghapalkan nama wanita itu. Setiap ia berhasil mengingat nama gadis yang dibawa Saga malam ini, keesokan harinya ia terpaksa harus melupakan nama itu karena muncul wanita baru yang digandeng Saga lagi.
“Sesil,” Saga memperkenalkan keduanya. “Dan Sesil, ini Max. Sahabatku.”
Mata Max melebar. Terkejut lalu matanya mengamati Sesil lekat-lekat dan seolah menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan. “Sesil?” Max menatap bergantian Saga dan Sesil dengan ekspresi ketidakpercayaan yang begitu kental.
Saga hanya menjawab dengan senyum tipis.
Sesil tak perlu mengangguk. Reaksi dan ekspresi Max lah yang membuatnya semakin bertanya-tanya. Di balik senyum Max, Sesil tahu tatapan tak bersahabat yang berusaha pria itu sembunyikan. Apakah ia punya masalah dengan pria ini?
“Bagaimana kabarmu?” Max berbasa-basi.
“Baik,” jawab Sesil singkat.
“Kuharap kabar Dirga juga sama baiknya,” gumam Max menatap lekat-lekat Sesil.
Sesil mengernyit. Secara bersamaan, nama itu terdengar begitu asing dan familiar. Dan tatapan Max yang terlalu aneh dan penuh selidik malah membuat Sesil gerah.
“Ya, dia juga baik. Mungkin.” Saga mengambil alih jawaban yang sebenarnya ditujukan pada Sesil.
Sesaat hening, setelah jawaban ringan Saga membuat bibir Max berkedut. Sesil merasa Max ingin mengatakan sesuatu tapi keberadaannya menahan pria itu membuka mulut. Menghindari kecanggungan lebih lama lagi, ia bertanya, “Di mana toilet?”
Max menunjuk dengan tangan kiri ke arah sebelah kiri dan Sesil bergegas meninggalkan mereka.
“Apa yang terjadi, Saga? Dia bahkan tak bereaksi apa pun saat mendengar nama Dirga. Apakah wanita itu benar-benar sudah membuang Dirga demi pria sepertimu?”
“Dia wanita yang cerdas.”
“Mereka berdua saling mencintai.”
“Sepertinya takdir bersikap terlalu keras pada mereka.”
“Atau kau yang sedikit ikut campur pada kisah mereka?”
Saga mengangkat bahu. “Aku hanya menjalani takdir dengan hati terbuka.”
“Aku mendengar desas-desus tentang tunangan Dirga yang menghilang. Meskipun dengan permusuhan kalian yang begitu intens, aku tak pernah memperkirakan bahwa itu adalah perbuatanmu, Saga.”
“Perkiraanmu masih setajam dulu, Max,” puji Saga tulus, “tapi kali ini sedikit meleset.” Saga menempelkan ibu jari dan telunjuknya di wajah Max.
“Maksudmu?” Mata Max menyipit meminta penjelasan.
“Sesuatu terjadi. Kami bertemu dan sepertinya kami cocok menjadi pasangan.”
“Apakah Dirga tahu mengenai ini?”
“Well, dia akan segera tahu.”
“Aku tak tahu rencana apa yang ada di kepalamu, Saga.”
“Maka kau hanya perlu menyaksikannya.”
“Kau merusak pestaku!”
“Bukan pertama kalinya, ‘kan?” Saga melirik ke arah belakang Max. Tampak Alec dengan enggan mengikuti ke mana arah Sesil pergi.
Max mengikuti arah pandangan Saga. Saga dan Alec bukanlah perpaduan yang bagus di sebuah pesta mana pun. Percayalah. “Sialan kau!! Pestaku baru saja dimulai.”
***
“Sesil?”
Sesil menoleh. Melihat pria asing yang berdiri terpaku di ujung lorong. Sesil berhenti, menoleh ke sekeliling dan tak menemukan siapa pun di sepanjang lorong ini. Mungkin ada orang lain di sekitar yang dipanggil si pria asing, yang ... tiba-tiba Sesil merasa dadanya ditohok ketika menatap lekat-lekat wajah yang masih mematung dalam ketidakpercayaan dengan sorot mata haru. Mata pria itu berkedip beberapa kali mengamati tubuhnya dari atas ke bawah seolah ia memiliki dua kepala. Lalu pria itu melangkah lebar-lebar menghampirinya dan langsung menghambur dalam pelukannya. Memeluknya sangat erat hingga ia tak bisa bernapas.
“Aku sangat merindukanmu. Ke mana saja kau? Aku mencarimu seperti orang gila.” Kalimat tergesa itu meluncur dalam sekali tarikan napas. Lalu pria itu terengah, menariknya menjauh, menggenggam wajahnya, dan memeluknya lagi. “Maafkan aku, Sesil. Terakhir kalinya kita bertengkar itu benar-benar perpisahan yang menyiksa. Aku tak bisa hidup tanpamu.”
Sesil tak sempat berucap atau menolak perlakuan pria itu. Kesedihan dan duka yang terpampang jelas di wajah pria itu mengundang rasa iba dan hatinya yang masih berada dalam kebingungan tak mampu mencerna semua rentetan kalimat pria itu.
Dan ia hanya bisa mengambil kesimpulan, mungkinkah ketidaksadaran pengaruh minuman alkohol membuat pria asing itu melihat dirinya mirip seseorang yang lain dengan nama Sesil seperti yang ia miliki. Sepertinya Sesil yang itu adalah orang sangat berarti yang telah pergi dari hidup pria itu. Mendadak rasa kehilangan pria itu menular dan menyelusup ke dadanya. Namun ... tiba-tiba hentakan kuat menarik tubuhnya menjauh dari rengkuhan pria itu. Seketika wajahnya memucat dengan rahang Saga yang mengeras dan matanya yang menajam teruntuk dirinya.
“Sa ... ga?” Sesil tergagap.
“Apa yang kau lakukan di belakangku?!” geram Saga.
Bibir Sesil mengering ketika berniat menjelaskan situasi yang sesungguhnya pada Saga, tapi tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya ketika wajah Saga berubah lebih lunak melihat pria yang berdiri di samping Sesil. “Well, well, well. Siapa ini?”
“Kau?!” Pria itu hendak mendorong dada Saga, tapi Saga menepis dengan sigap. “Ini bukan urusanmu!”
“Kau memeluk wanitaku, maaf jika aku sedikit posesif pada milikku.” Saga menarik pinggang Sesil dan menempelkan pada tubuhnya.
Wajah pria itu seperti terhantam batu es. Memucat untuk kedua kalinya. Seolah napasnya terhenti, matanya menatap nanar pada wajah Sesil dan penuh amarah pada Saga. “Itu tidak mungkin!!!”
“Banyak hal terjadi, Dirga. Salah satunya adalah hubungan kami. Tidakkah kau ingin mengucapkan selamat dan memendam apa pun yang ada di dalam hatimu? Untuk selamanya.”
“Sesil ...”
“Alec!” Saga memanggil sebelum kontak mata di antara Sesil dan Dirga terjadi lebih jauh, dan Alec muncul dari arah belakang Sesil.
“Kau benar-benar brengsek, Saga!” Tubuh Dirga maju hendak meluncurkan tinjunya ke wajah Saga. Namun, kedua tangannya ditahan Alec. “Sesil? Sesil?! Sesilll!!!”
“Kita pergi.”
“Tapi ... Auww ...” Sesil menyentuh kepalanya ketika denyut itu muncul tepat saat Saga membalik badan dan menyeretnya menjauh. Tak memberinya kesempatan untuk menoleh sedikit pun ke belakang. Namun, teriakan penuh derita yang semakin menjauh perlahan menyayat hatinya tanpa sebab.
“Sesiiillll!!!”
****
“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.“Pulang.”“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.“Aku sudah menyapa temanku.”“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa takjub meskipun dengan kesinisa
“Siapa pria bernama Saga itu?”Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”“Kami pernah berteman dekat.”“Pernah?”“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”“Sepertinya dia musuhmu?”“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”“Hingga sekarang.”Dirga terdiam. “Jauhi dia!”Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tah
Praanggg ... vas bunga yang semula berada di meja hias pelengkap set sofa kini melayang dan berhamburan di lantai. Salah satu pecahan mengenai kaki Saga yang mengenakan sandal santai dan celana pendek berwarna coklat tua.Saga terkejut, seumur hidupnya yang terbiasa bersikap was was. Ini pertama kalinya ia merasa terancam dengan keberadaan seseorang ketika menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Beruntung si pelempar bukanlah pembunuh bayaran dengan bakat mumpuni yang dibayar sangat mahal atas kepalanya.Darah merembes sepanjang goresan pecahan vas yang merobek kulit kaki kanannya. Dua pengawal yang berjaga di depan pintu sudah bergerak sigap mencekal kedua tangan Sesil. Sambutan selamat datang yang mengejutkan ini tentu ada alasannya, bukan?“Berengsek sialan!” desis Sesil dengan rontaannya yang sia-sia. Bibirnya menipis di antara rahangnya yang mengeras. Mata dan wajahnya merah terbakar amarah yang begitu besar. Sungguh, ia ingin menangis tersedu ol
Sesil masih terisak. Meringkuk di kasur yang berantakan dengan air mata membanjiri bantal serta selimut yang ia gunakan untuk meredam tangisan dan luka hatinya.‘Kekasihmu yang lebih dulu mengusikku. Kau tahu hatiku tak semulia itu, Sesil. Apa yang dilakukan Dirga dan penghinaanmu. Setidaknya aku akan merasa puas dengan bayaran ini.’Masih terngiang kata-kata Saga sebelum pria itu meninggalkanya sendirian dalam kepekatan derita yang ditorehkan ke seluruh tubuhnya.Dirga merusak kartel bisnis Saga hingga pria busuk itu merugi beberapa milliar. Alasan yang baru diketahuinya kenapa Saga tertarik mencari tahu dirinya dan membuat pertengkaran hebat antara dirinya dan Dirga untuk terakhir kalinya. Memang tak seberapa bagi pria dengan kerajaan bisnis gelap yang menguasai pasar negeri ini dan beberapa negara tetangga. Perdagangan senjata, klub-klub malam yang menawarkan kemewahan, bisnis prostisusi, dan entah pekerjaan kriminal apa lagi yang digelut
Ingatan terakhirnya hanyalah mobil yang melaju tak terkendali, bunyi klakson yang memekakakkan telinga, kepalanya yang terdorong ke jendela mobil karena ia tak mengenakan sabuk pengaman, dan mobil yang berguling-guling menuruni jurang. Sungguh keajaiban ia bisa selamat dari kecelakaan menggenaskan itu.Lalu, seakan ingatan di kepalanya direset dan diganti ingatan baru yang dijejalkan Saga di kepalanya. Bukan hanya itu, Saga sengaja membuatnya terombang-ambing dengan kegelisahan akan jati dirinya yang sebenarnya. Ia tidak berselingkuh dengan Dirga, melainkan Sagalah yang membuat Dirga berpikiran bahwa ia berselingkuh dengan Saga.Suara pintu yang diketuk, sesaat menghentikan tangisan Sesil. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan pengurus rumah tangga, karena tak mungkin Saga mengetuk pintu untuk masuk ke kamar pria itu sendiri. Segera Sesil bangkit terduduk, berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut ketika pintu terbuka. Seorang pelayan masuk dengan
“Sial!!!” umpatan Saga sejenak membuyarkan konsentrasi sopir dari jalanan yang lengang. Saga membanting ponselnya ke jok dan memberi perintah, “Kembali ke rumah.”Belum ada sepuluh menit ia meninggalkan rumah, Sesil sudah membuat masalah. Berani-beraninya wanita itu melarikan diri dari rumahnya. Tentu tak akan pernah semudah itu. Wanita itu hanya bisa pergi dari rumahnya dengan ijinnya atau dengan tanpa nyawa. Dan ia benci jika rencananya tak berjalan sesuai dengan keinginannya. Urusannya masih belum selesai dengan Sesil.Sesampai di halaman rumah, ia melihat raut pucat dua penjaga yang berjaga di depan pintu kamar. Jon, pemimpin pengawal-pengawalnya berjalan mendekat ketika ia keluar dari mobil. “Maafkan kami, Tuan.”“Aku tak membutuhkan kata maaf, Jon. Bagaimana dia bisa kabur dengan menuruni balkon setinggi itu?” Saga tak membutuhkan jawaban Jon ketika melihat sprei kasurnya yang berkibar tertiup angin. Lalu ter
Saat matanya bergerak, rasa pusing yang menyerang kepala membuat Sesil mengernyit dalam-dalam dan mengerang pelan. Gorden kamar yang menutupi jendela dan lampu yang menyala terang meyakinkan Sesil bahwa hari sudah gelap. Kemudian, seketika ingatan terakhirnya sebelum ia pingsan kembali menerjang otaknya. Tangisannya kembali pecah menyadari di mana ia tengah berbaring saat ini. Ruangan yang sama tempat Saga membunuh.“Kau sudah sadar?”Sesil tak memedulikan keberadaan Saga, tangisannya tak terhenti.“Aku benci wanita yang cengeng, Sesil. Hentikan tangisanmu!” gertak Saga untuk kedua kalinya. Kali ini pria itu berdiri di pinggir ranjang dan menyentak bahu Sesil hingga wanita itu berbaring telentang dan wajahnya bisa menatap keberadaan dirinya.Sesil menepis tangan Saga. Namun, pria kejam itu memang tak pernah segan-segan bersikap kasar pada wanita. Dan malah menarik tubuh Sesil bangkit terduduk.“Pembunuh!” raung S
Jeritan nyaring memecah keheningan malam yang dingin.Saga tersentak. Matanya terbuka sempurna dan menerobos keremangan kamar. Menemukan Sesil berdiri di tengah ruangan dengan tubuh bergetar. “Ada apa?”“Aa ... aaku... aku melihat mayat.” Satu tangan Sesil menunjuk lantai di samping sofa dan satu tangannya menutup matanya yang terpejam.Saga mengikuti arah yang ditunjuk Sesil. “Tidak ada apa pun di sana, Sesil,” ketus Saga kesal.“Aku melihat mayat!” Sesil hampir berteriak pada Saga.“Apa kau masih bermimpi?”Sesil membuka mata dengan perlahan. Menatap Saga lalu menoleh ke tempat yang ia tunjuk. Tidak ada apa pun di sana. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan indera penglihatannya. Sungguh, ia melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai dengan kepala penuh darah dan mata melotot menatapnya. Pria yang tadi dibunuh oleh Saga.“Apa kau berjalan sambil tidur?”