"Mau ke mana?"
Bella menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan tatapan datar. Bella yakin orang ini adalah salah satu dari mereka. Atau mungkin pemimpin mereka?
"Dimana Bos mu?" tanya pria itu.
"Dia ada di atas," ucap Bella sembari melirik lantai kedua dari bar ini.
Tidak ada waktu lagi untuk Bella. Dia harus segera membawa Sean ke rumah sakit. Tapi, pria yang berdiri di depannya seperti sedang menghalanginya, tidak ingin Bella keluar.
"Permisi, Tuan." Bella berusaha sopan pada pria yang menurutnya tampan itu. Tidak. Dia memang tampan, sangat.
Pria itu menyeringai, menatap penampilan Bella khas bartender di bar ini.
"Tidak," jawab pria itu.
Sontak, Bella melebarkan matanya kala pria tampan yang tak ia ketahui namanya itu semakin mendekat padanya.
"Antarkan aku kepada Bos mu," pinta pria itu.
"Kau tidak lihat aku sangat terburu-buru sekarang?" bentak Bella pada pria itu. Masa bodoh jika pria itu akan tersinggung atau tidak. Prioritas utamanya saat ini adalah menyelamatkan Sean.
Pria itu tidak menjawab. Namun, masih saja menghalangi Bella untuk melangkah keluar.
"Kau bisa meminta yang lain untuk mengantarmu, Tuan."
Pria tampan itu menipiskan bibir.
"Tapi yang kuinginkan adalah kau, bukan yang lain," tunjuknya pada Bella.
Dengan tidak sopan pria itu memegang dagu Bella dan mendekatkan wajahnya. Membuat Bella cepat-cepat memundurkan kepala untuk menghindari hal yang tidak dia inginkan.
"Apa-apaan kau!" bentak Bella pada pria yang kini sedang menyeringai itu.
Suara jentikan jari yang dihasilkan pria berkemeja putih itu membuat beberapa orang berbaju hitam di belakangnya maju.
"Ya, Tuan?" ucap mereka.
"Bawa orang itu ke rumah sakit," ucapnya penuh dengan nada perintah yang tidak dapat dibantah.
Mereka membungkukkan badan sebentar, sebelum mengambil alih Sean dari Bella yang kini heran dengan sikap pria itu.
"Tidak ada lagi alasan untukmu menolak permintaanku."
Bella memandang pria aneh itu sebentar. Sebelum menghembuskan napas lega kala Sean telah mendapat pertolongan dari anak buahnya. Sudah Bella duga, dia adalah atasan dari kumpulan pria berbaju hitam itu.
"Silakan ikuti saya, Tuan."
Bella berbalik, meminta pria itu untuk mengikutinya dari belakang.
. . . "Jadi begini caramu menyambut tamu? Hanya diam membisu?"Kalimat sarkas yang pria mengerikan itu ucapkan membuat Austin, bos dari bar ini cepat-cepat mendongak. Menatap pria itu dengan itu dengan tatapan memelas.
"Tolong beri saya waktu satu minggu lagi, Tuan," ucap Austin dengan nada memohon.
Bella tidak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba bosnya memohon penuh harap pada orang itu dengan tatapan takut. Sementara yang Bella lakukan hanyalah berdiri di samping pintu, menunggu mereka berdua selesai bicara. Tidak bermaksud untuk menguping tentu saja. Namun, dia hanyalah menjalankan perintah pria arogan yang duduk di depan bosnya kini.
"Satu minggu lagi. Itu yang kau ucapkan padaku satu minggu yang lalu," desis pria itu. Tidak mempedulikan wajah Austin yang semakin memucat.
"Aku akan hancurkan bar ini."
Sontak saja, ucapan dari pria itu membuat Bella dan Austin melebarkan mata.
Yang benar saja?!
"Ja ... jangan, Tuan. Aku mohon jangan, bar ini satu-satunya bar terbaik yang ada di Los Angeles," mohon Austin. Dia bahkan rela bersimpuh di hadapan pria itu dan masih dengan ucapan penuh permohonannya.
"Bos!" teriak Bella. Dia tidak sanggup melihat bosnya itu bersikap demikian.
Bella segera menghampiri Austin, memohon pada bosnya itu untuk kembali duduk.
"Apa yang bos kami perbuat hingga kau seperti itu?!"
Pria tampan itu menipiskan bibir. Memandang Bella dengan tatapan menilai.
"Bella ..." ucap Austin. Memperingati gadis itu agar menjaga sikap.
Desahan rendah terdengar dari mulut tipis pria itu.
"Jadi namanya ... Bella?" Pria itu menyeringai kejam.
"I ... iya, Tuan," balas Austin. Dia dapat merasakan hal buruk yang akan terjadi pada Bella setelah pria mengerikan itu mengetahui namanya.
"Bella, turunlah ke bawah," usir Austin pada satu-satunya gadis di dalam ruangan itu. Bukan tanpa alasan Austin menyuruh bela untuk keluar. Dia hanya tidak ingin gadis muda itu mendapat hal yang tidak dia inginkan.
Bella seperi ingin menolak. Namun, tatapan penuh arti yang diberikan bosnya membuat Bella tidak jadi mengeluarkan suara.
Austin mendesah lega melihat itu.
Tangan Bella hampir saja menyentuh gagang pintu. Sebelum suara baritone yang dihasilkan dari pria di depan Austin membuat Austin dan Bella membeku.
"Siapa yang memberimu izin untuk keluar?"
Bella mematung di tempat, sedangkan Austin yang mengeluarkan keringat dingin dari dahinya.
"Kau tidak ingin tahu apa yang akan terjadi pada bos mu? Bagaimana kalau dia mati detik ini?"
Bella membalikkan badannya cepat. Menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya.
"Kau tidak akan berani," ucap Bella pelan, yang dibalas oleh seringai kejam dari pria itu.
"Oh? Sebutkan alasan untukku tidak berani membunuh Austin sekarang."
Bella melebarkan matanya saat melihat pria gila itu mengeluarkan pistol. Itu jelas bukan pistol mainan! Itu benar-benar senjata api. Kenapa pria itu memilikinya?
Alasannya hanya satu, pria itu bukan orang biasa.
"Terdapat tiga peluru di dalam pistol ini. Kurasa itu cukup untuk menembakkannya kepada masing-masing kepala kalian." Pria itu berucap sadis. Tentu saja dengan senyum maut yang terukir di bibirnya.
"Jangan, Tuan. Biarkan Bella pergi." Austin mencoba mengalihkan fokus pria itu dari Bella.
"Diam. Aku tidak berbicara padamu."
Pria itu berdiri dan berjalan mendekat pada Bella yang kini ketakutan setengah mati. Kemudian mengangkat tangan dan menyentuh pipi halus Bella dengan perlahan, menghantarkan getaran aneh pada diri Bella saat itu.
"Tuan ..."
Pria itu tidak menjawab. Melainkan menurunkan sapuan tangannya pada dagu bela, kemudian memajukannya tepat pada bibir tipis pria itu.
Dan memberinya kecupan singkat yang bahkan tak membiarkan Bella untuk menolak.
"Aku akan membawa Bella ikut bersamaku."
Bella dengan cepat menjauhkan dirinya dari Stev. Wanita itu memandang pria itu dengan waspada. Kalau-kalau pria ini berani berbuat macam-macam padanya. "Apa-apaan kau," ucap Bella dengan sebal. Wanita itu mengambil gelas yang tadi di hidangkan oleh salah satu pelayan di sini."Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Stev. Membuat Bella yang sedang minum itu menatap Stev dengan tatapan bertanya. "Apa?" tanya wanita itu. Dan Stev hanya mendesah pelan. Ia terlalu malas untuk mengulang perkataannya. Namun kali ini sepertinya ia harus kembali mengatakannya pada Bella. Pikiran wanita itu berjalan seperti siput, lambat sekali. "Kau tidak ingin bertanya mengapa aku membawamu kemari?" tanya Stev. Dan Bella yang menyadari jika Stev tadi juga berkata seperti itu hanya mendesah pelan. "Apakah aku harus bertanya seperti itu?" Wanita itu tidak membalas ucapan Stev dan malah balik bertanya.Stev tidak percaya jika Bella akan berkata seperti itu. Padahal wanita itu selalu ingin ikut campur urusan
..."Wow! Ini menakjubkan, kurasa mansion ini lebih indah dari yang saat ini kau tinggali Stev," ucap Bella. Wanita itu menatap bangunan besar yang ada di hadapannya. Di setiap sisi mansion itu terlihat beberapa pohon besar tumbuh dengan taman di depan mansion tersebut, terlihat rindang dan menyejukkan mata.Tampak lebih hidup daripada mansion yang juga digunakan sebagai tempat tinggalnya. "Kau suka?" tanya pria itu masih dengan wajah datarnya yang membuat Bella mendengus pelan. "Tentu saja aku suka. Siapa yang tidak akan suka tinggal di tempat cantik seperti ini? Ini seperti sebuah cerita dalam novel. Hanya saja ini nyata dan bukan fiksi," balas Bella. "Kalau begitu ayo masuk," ucap Stev sembari berjalan. Membiarkan Bella mengikutinya dari belakang. "Apa di sini ada orang?" tanya Bella pada pria yang berjalan di sebelahnya itu. Akhirnya Bella berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Stev. "Ada." Pria itu membalas singkat. "Apa mereka keluargamu?" tanya Bella lagi. Dan pria it
Stev mendesah pelan saat pria itu melihat Bella masih terbaring di atas ranjang dengan nyamannya. Tanpa tahu jika dirinya sudah memandang penuh ke arah wanita itu lebih dari sepuluh menit. Ia melihat jam yang ada pada pergelangan tangan besarnya. Padahal waktu yang tertera masih setengah lima pagi, dan Stev sudah siap dengan pakaiannya yang rapi. Ia melesak masuk ke dalam kamar Bella tanpa permisi, dan dengan gerakan cepat tangannya menyingkap selimut yang Bella kenakan hingga membuat gadis itu menggigil kedinginan. "Bangun," ucap Stev pada wanita itu. Dan bukannya bangun, Bella malah berbalik memunggungi Stev dengan tangan yang terus menggapai-gapai di mana selimutnya berada. "Bangun atau aku akan memakanmu saat ini juga," ucap Stev sekali lagi. Dan anehnya, Bella langsung membuka kedua matanya. Gadis itu seperti mendengar suara Stev di kamarnya. Bella berpikir jika itu pasti mimpi. Dia tidak mempedulikan hal ini dan kembali menutup mata, tubuhnya begitu lelah karena ia tidur te
"Lucy akan kembali besok. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali. Menggunakan helikopter," balas Stev. Membiarkan Bella membulatkan bibirnya tak percaya. "Apa? Jangan bilang kau belum pernah naik helikopter," ucap Stev yang ternyata tepat. Gadis itu memang belum pernah menaiki helikopter, namun ia pernah melihat benda terbang itu. "Aku memang belum pernah," ucap Bella sembari terkekeh pelan. Dan Stev hanya mendecih mendengar perkataan wanita itu. "Dasar miskin.""Ck! Kau tidak boleh bicara seperti itu meski pun kau orang kaya, Stev! Akan ada saatnya kau di bawah nanti. Lihat saja," balas Bella."Kau sedang mengancamku atau mendoakan aku?" "Terserah kau mau menganggapnya apa," balas Bella. Wanita itu kini lebih memfokuskan diri untuk memasak daripada berbicara dengan Stev yang tidak terlalu penting itu. "Kau membuat apa?" tanya Stev. Pria itu berdiri tepat di belakang Bella, membuat wanita itu menghela napas pelan. "Jauhkan wajahmu dari sana, sebelum aku menyiram wajahmu denga air
Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas saat ia melihat Bella menghentikan langkahnya. Wanita itu seperti ragu untuk untuk melangkah masuk ke kamar Ellen. Jadi, yang dilakukannya saat ini hanyalah diam di tempat berdirinya. "Kau tidak mau masuk?" tanya Stev. Pria itu mendekat ke arah Bella dengan langkah kakinya yang lebar-lebar."Apakah dia akan memperbolehkan masuk ke sana?" tanya Bella. Ia tidak yakin jika Ellen akan baik-baik saja dan menerima dirinya. Wanita itu pasti akan langsung mengusir Bella saat Bella hanya baru satu kali melangkah ke dalam kamar wanita itu. Sementara Stev hanya mengendikkan bahunya acuh. "Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Bukankah kau sendiri yang bilang jika ingin ke kamarnya?" tanya Stev. Dan tidak ada yang Bella lakukan selain hanya menghela napas pelan sembari mengangguk."Baiklah," balas wanita itu dengan yakin. Ya, setidaknya ia harus mencoba terlebih dahulu. Dan jika Ellen mengusirnya Bella hanya bisa menuruti permintaan wanita itu.
Bella mengerutkan dahi saat dirinya hanya mendapati Lucy yang sendirian."Di mana dua sahabatmu itu?" tanya Bella sembari berjalan masuk ke dalam. Sementara Lucy hanya mendengus pelan mendengar pertanyaan Bella. "Yang kau maksud itu mereka berdua atau hanya Stev saja?" tanya Lucy. Pria itu sedikit tidak yakin jika Bella benar-benar bertanya di mana Ellen berada. Dan Bella hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. "Aku tidak peduli dengan pria arogan itu," balas Bella. Tampaknya wanita itu langsung berubah mood menjadi buruk saat mendengar nama Stev yang Lucy ucapkan."Siapa yang kau sebut pria arogan?" ucap suara baritone di belakang Bella. Membuat Bella melotot seketika. Ia menoleh ke belakang, dan menemukan Stev sedang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Pria itu menaikkan sedikit dagunya dengan angkuh. Membuat Bella yang melihat itu mendengus. "Kau tidak perlu tahu siapa pria itu," balas Bella dengan nada suara yang sedikit ketus. Memb