Bella melebarkan mata saat pria itu menempelkan bibirnya dengan tiba-tiba. Menciumnya cepat sebelum melirik pada Austin yang juga kaget melihat kejadian di depan matanya.
Oh, tidak!
Bella akan mendapat masalah yang besar jika masih berada di sini.
Ketika sadar dengan apa yang baru saja terjadi, Bella mendorong pria itu sekuat tenaga. Namun, pria itu hanya mendecih saat merasakan dorongan Bella yang tidak jauh dari seekor kucing. Lemah.
'Astaga, ciuman pertamaku direbut paksa oleh pria gila ini,' ucap Bella dalam hati.
"Aku akan membawa dia ikut bersamaku."
Manik hitamnya menatap Austin yang bergetar di tempat duduknya.
"Ja ... jangan, Tuan."
Austin tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi itu pasti bukan hal yang baik.
Sedangkan Bella masih berdiri. Tangannya digenggam erat oleh lelaki yang seenaknya mencuri ciuman pertamanya tadi.
"Lepaskan aku!" teriak Bella, dan pria itu hanya menyeringai menatap Bella yang berusaha melepaskan tangan dari genggamannya. Itu tidak mudah karena perbedaan tenaga mereka yang begitu jauh.
Mata pria itu kembali mengedar, menatap Austin setajam elang dengan aura hitam yang menguar.
"Kau tidak setuju jika aku membawa gadis kecil ini? Hanya. Gadis. Ini. Dan. Hutangmu. Padaku. Lunas." Pria itu menekan setiap kata-katanya.
Gadis? Tentu saja pria itu tahu jika Bella masih gadis dan masih perawan. Dilihat dari gerak-gerik gadis itu, sepertinya Bella belum pernah mendapatkan sentuhan menggairahkan.
Dan ini sangat menyenangkan baginya ketika mengetahui masih ada gadis perawan di tengah kerasnya Los Angeles yang terkenal dengan slogan terbarunya. Kota penuh hiburan. Bahkan, orang-orang dari luar kota saja rela meluangkan waktu demi singgah di kota ini.
"Apa yang kau maksud dengan hutang?"
Pria itu menatap Bella dalam.
"Kau tidak tahu? Bar ini berdiri karena siapa?" tanya pria itu. Tatapannya menusuk hingga ke ulu hati Bella.
Bella tercenung, "Bos ku, bukan?
Dan lelaki itu tersenyum tipis mendengar jawaban polos Bella, "Naif sekali."
Pria itu kembali mendekatkan wajahnya kepada Bella. "Gadis kecil, biar ku beritahu satu hal. Bar ini berdiri karena aku, dengan uangku."
Perkataan pria itu membuat Bella terkesiap. Netranya berganti memandang Austin dengan tatapan bertanya.
"Bos, jangan bilang—"
"Benar Bella, bar tempat kau bekerja ini milik dia, Tuan Stevano," ucap Austin. Dia mendesah pelan sebelum melanjutkan perkataannya.
"Tuan, jangan bawa Bella. Dia sudah seperti anak sendiri untukku. Dan dia adalah bartender terbaik yang kami miliki. Pemasukan terbesar di bar ini karena Bella, tanpa dia bar ini tidak dapat berjalan."
Austin mencoba memohon pada pria itu. Dan Bella tidak bisa untuk tidak menutup mulut tak percaya saat mendengar pernyataan Austin.
Namun, Bella bersyukur, Austin berusaha untuk melindunginya dari pria mengerikan ini.
Sementara pria yang dipanggil Stevano itu menatap Austin datar, tanpa ekspresi.
"Kau sedang membantahku?" Suara Stevano terdengar berat.
Austin lantas melebarkan mata kala melihat Stevano yang kini mengangkat senjata api menghadap dirinya.
"Jangan!"
Bella menghalangi Austin dari kekejaman pria yang kini sedang menodongkan senjata api itu.
Dan Stevano tidak bisa untuk tidak menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyum simpul.
"Kau melindunginya?"
"Ya! Dan kau pria kejam yang hanya berani mengancam orang lain dengan senjata api," tukas Bella cepat.
Stevano terkekeh pelan, "Oh, kau tidak ingin aku mengenakan senjata? Tapi, itu akan lebih menyakitkan jika seseorang menerima pukulan ku secara langsung. Kau mau merasakannya?"
Bella diam. Tidak berniat untuk menjawab pertanyaan tidak masuk akal dari pria itu.
"Ikut denganku, maka aku akan membiarkan Austin hidup dan Eflic tetap berdiri."
"Jika aku tidak mau?" tantang Bella. Dia sengaja mengeraskan suaranya agar pria di depannya itu tidak berani berbuat macam-macam.
"Kau tidak mau? Kalau begitu sesuai keinginanku. Bar ini akan hancur dan Austin akan mati, saat ini juga. Ah, bukan hanya Austin yang akan mati. Tapi semua yang ada di Eflic ini akan ikut mati. Semua. Tanpa terkecuali."
Suara Stevano terdengar mengerikan. Pria itu sepertinya tidak sedang main-main.
Bella menarik napas, sebelum membuangnya dalam hembusan panjang.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu."
"Bella!"
Bella menengok ke belakang. Melihat Austin yang sudah seperti ayah sendiri itu menatapnya dengan sedih.
"Aku tidak bisa membiarkan bar ini hancur, Bos," ucap Bella lirih.
"Kau benar-benar yakin? Kenapa kau rela mengorbankan dirimu?" tanya Austin dengan suara yang terdengar parau.
Bella tersenyum pada Austin. Mengatakan jika semua akan baik-baik saja.
"Bar ini sudah menjadi rumah sendiri bagiku. Aku tidak akan membiarkan kenangan yang telah ada di sini hilang begitu saja."
Austin diam. Dia tidak tahu harus berkata apa pada Bella yang rela ikut bersama Stevano untuk membiarkan bar ini tetap berdiri.
"Tapi Bela-"
"Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir."
Tatapan Austin terlihat sendu. Ia berusaha untuk menahan air matanya keluar.
"Terima kasih, Bella. Terima kasih," ucap Austin. Meski dia tidak begitu rela jika gadis itu pergi.
Austin hanya bisa berdoa dalam hati. Sebelum mengajukan sebuah permintaan pada Stevano yang kini berdiri menatap mereka berdua dalam diam.
"Tuan ... bolehkah aku meminta satu hal padamu?"
"Katakan," ucap Stevano singkat. Wajahnya masih saja datar seperti tembok.
"Jangan menyakiti Bella. Meskipun dia terlihat kuat, sebenarnya Bella hanyalah seorang gadis kecil yang lemah."
Bella mengerutkan dahi mendengar perkataan Austin.
Apa yang baru saja bosnya itu bicarakan?
Berbeda dengan Stevano. Dia kemudian tersenyum tipis mendengar permohonan Austin.
"Kau memerintahku?" Pria itu mengangkat dagunya angkuh.
"Ti ... tidak, Tuan."
"Jangan banyak berharap. Kau tidak dalam kapasitas bisa memberikan perintah untukku," ucap pria kejam itu.
Austin menunduk. Tidak berani menatap mata hitam yang terpancar dengan aura mematikan di hadapannya.
"Sesuai janjiku, hutangmu lunas dan bar ini tetap akan berdiri."
Dan dalam hitungan detik, pria itu menarik Bella keluar. Menariknya dengan paksa hingga Bella merasakan pergelangan tangannya memerah dan sakit.
. . .Para karyawan yang sedang membersihkan kekacauan ini mengalihkan kesibukannya pada Bella yang sedang ditarik oleh pemimpin orang-orang tadi. Beberapa pasang mata menatap tidak percaya pada Bella yang hanya pasrah dibawa entah ke mana.
Tidak ada pilihan bagi Bella untuk lari. Gadis itu benar-benar telah menyerahkan diri masuk ke kandang singa.
"Bella!"
Bella menoleh, menemukan Kylie yang menatapnya dengan sedih.
"Kau mau pergi kemana?"
Bella tidak langsung menjawab, gadis itu tersenyum pada sahabatnya. Ini demi masa depan bar tempat mereka mencari uang, dia harus rela pergi bersama dengan Stevano.
"Jaga dirimu baik-baik."
Itu adalah ucapan terakhir Bella. Dia tidak mengatakan selamat tinggal pada siapapun di sana. Karena Bella yakin, dia masih dapat bertemu dengan mereka semua. Meski ia tak tahu itu kapan.
Dan Bella tidak dapat menolak saat Stevano memasukkannya ke dalam mobil pria itu dengan cepat. Terkesan memaksa hingga Bella mengaduh karena terbentur.
"Ah ..."
Stevano tidak mempedulikan hal itu. Karena yang dia lakukan selanjutnya adalah duduk pada kursi kemudi, dan melajukan mobil yang ditumpanginya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Yang membuat Bella memegang dadanya saat dirasa berdetak semakin cepat. Dan berpikir akan mati sebentar lagi bersama pria ini.
'Ya, Tuhan.'
"Apa dia berpikir hidupnya begitu damai?" gumam Stev pelan sembari mendudukkan diri di samping wanita yang kini sedang tertidur pulas itu. Pakaian Bella sudah diganti dengan piyama berwarna biru tua. Dan Stev tidak lagi mencium bau alkohol yang menguar dari tubuh wanita tersebut. "Tidak ... Tidak."Pria tampan yang ada di dalam kamar tersebut mengernyitkan dahinya kala telinganya mendengar suara Bella yang bergumam lirih. Ia pikir wanita itu sudah membuka matanya. Namun ternyata tidak, Bella masih saja tertidur di atas ranjang besar miliknya. Dan Stev langsung bisa menebak jika wanita itu mungkin sedang bermimpi buruk."Ada apa dengannya?" Ia dapat melihat jika dahi wanita itu banyak mengeluarkan keringat. Seperti baru saja mengikuti lomba lari. Keringat Bella semakin lama semakin deras dengan mulut yang terus mengeluarkan gumaman yang tidak Stev mengerti. Tidak begitu jelas terdengar sehingga Stev hanya bisa menaikkan salah satu alisnya ke atas. "Bella."Stev memanggil nama wan
"Jangan berikan," ucap Stev dengan tajam. Dan bartender itu mengangguk sembari meletakkan botol yang sebelumnya ingin ia tuangkan pada gelas Bella. "Hey! Kenapa kau tidak memberiku minum?!" Bella sedikit meninggikan nada suaranya. "Minuman kami telah habis, Nona." Bella mendecih pelan mendengar perkataan bartender itu."Bohong! Lantas botol yang berjejer-jejer itu apa?!"Stev memutar kedua bola matanya dengan bosan saat melihat kesadaran Bella sudah berada di ambang batas."Kita pulang," ucap Stev. Pria itu segera berdiri dari tempat duduknya setelah membayar semua total minuman.Pria itu lantas mendekat pada Bella dan berniat untuk membawa wanita itu pulang. Namun tangannya yang terulur seketika ditepis dengan kasar oleh tangan Bella yang mungil. Sontak saja penolakan yang wanita itu berikan membuat Stev mendengus sebal. "Aku tidak ingin pulang! Kau pulang saja sana sendiri!" ucap Bella setengah berteriak. Membuat beberapa orang yang ada di sana menoleh pada mereka berdua. "Ck
Stev terdiam beberapa saat setelah Bella berucap. Perkataan wanita itu tepat sekali menusuk dalam hati pria itu. "Apa kau bilang? Kecewa?" ulang Stev sekali lagi. Dan Bella hanya bisa mengangguk sebagai balasan. Wanita itu terus menatap wajah Stev yang berada di dekatnya. "Aku tidak tahu. Tapi, bukankah hal itu bisa saja terjadi?" tanya Bella. Wanita itu terus mengeluarkan perkataan yang membuat Stev tidak dapat berkata apa-apa. Meski Stev adalah orang yang dingin dan terkesan cuek dengan keadaan sekitar. Namun pria itu tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang baru saja Bella katakan. Ucapan wanita itu ada benarnya juga. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya jika suatu hari nanti ia bertemu dengan Liana dan dia tahu jika dirinya adalah seorang mafia. Apakah wanita itu tetap masih mau untuk menerimanya? Stev tidak dapat membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Ia tidak akan pernah bisa jika wanita yang sudah sekian lama ia nanti-nantikan pada akhirnya akan pergi meni
"Aku pernah memiliki seorang teman di sana juga. Seorang kekasih masa kecil lebih tepatnya," ucap Stev. Mata pria itu masih saja fokus menatap jalanan yang ada di depannya. Namun tatapannya terlihat kosong. "Benarkah? Siapa namanya?" tanya Bella. Wanita itu mematikan ponsel yang ada di tangannya dan mengarahkan pandangannya hanya pada Stev."Liana," balas Stev dengan singkat. "Liana?" ulang Bella sekali lagi. Dan Stev hanya mengangguk pelan sebagai bentuk jawaban."Ya. Kau mengenalnya?" tanya Stev. Pria itu terdengar seperti sangat berharap saat ia bertanya pada Bella. Namun yang dikatakan wanita di sebelahnya itu seketika memupus harapan besar Stev. "Tidak. Aku tidak mengenal nama itu," balas Bella. Wanita itu kembali mengarahkan pandangannya pada jalanan yang dilalui mobil Stev."Sudah kuduga kau tidak akan tahu siapa dia," ucap Stev sembari mendengus pelan. "Apa dia begitu penting bagimu?" tanya Bella, dan Stev mendecih pelan setelahnya. "Dia begitu penting bagiku. Aku sang
"Kau bisa menggunakan pedang?" "Tidak," balas Bella dengan senyum lebarnya. Membuat Stev yang melihat wanita itu hanya mendengus pelan. "Kupikir kau bisa menggunakannya," ucap Stev lagi. Pria itu kembali memasukkan semua pistolnya pada loker dan mengunci tempat tersebut. Bella terkekeh pelan. "Aku suka sekali saat melihat film yang orang-orangnya menggunakan pedang. Jadi, kupikir aku akan terlihat keren jika bisa menggunakan pedang," balas Bella sembari membayangkan dirinya dapat melayangkan pedang pada orang-orang jahat yang mengganggunya seperti film-film yang bertemakan kerjaan. Sementara Stev hanya mendecih pelan saat mendengarnya."Simpan kata kerenmu itu. Kau tidak begitu cocok menggunakan pedang. Mengangkat pedang saja entah kuat entah tidak." Bella memutar kedua bola matanya bosan saat ia mendengar ucapan bernada ejekan dari Stev. Pria itu suka sekali meremehkannya. "Jangan mengejekku!" balas Bella dengan sebal. Wanita itu membuang mukanya dari Stev dan berjalan keluar
Pekerjaannya saat itu hanyalah seorang pelukis jalanan. Dia tidak kaya, dan Jack mengakuinya. Dirinya hidup dengan mengandalkan uang dari hasil menjadi pelukis jalanan dan kerja sampingan di sebuah toko kecil. Jennie tidak merasa risih dengan keadaannya. Wanita itu malah mengajak dirinya untuk mengobrol dan mengajukan diri untuk di lukis oleh dirinya. Sepanjang waktu wanita itu habiskan untuk terus berbicara dengan Jack. Dan tidak ada yang bisa Jack lakukan saat itu selain hanya tertawa sembari membalas ucapan Jennie dengan kalimat seadanya.Setelah Jack selesai melukis wanita itu. Jennie benar-benar kagum dengan hasil yang dibuat pria itu. Satu kata dari Jennie untuk hasil lukisan Jack.Mengagumkan. Wanita itu benar-benar kagum dengan lukisan Jack. Ia pun mengusulkan Jack agar pria itu membangun sebuah galeri untuk menampung semua hasil lukisannya. Namun yang dilakukan Jack saat itu hanyalah menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. Ia tidak akan bisa membangun galeri seperti