Pov Seno
Dewi melengos begitu saja, meninggalkan aku yang masih tidak percaya dengan yang ia lakukan barusan. Aku menghempaskan bokong ku di atas sofa. Aku benar-benar tidak menyangka, jika Dewi bisa semarah ini. Entah setan apa yang merasuki Dewi. Sampai-sampai dia berani menamparku. Sudah 10 tahun kami menikah, dan baru kali ini dia menampar dan mengancamku.
Dia memang begitu sensitif jika menyangkut orang tuanya. Tapi, apa aku salah jika mengingatkan dia dengan statusnya yang hanya anak seorang pemulung? Harus nya dia sadar diri dengan latar belakang keluarganya. Agar dia tidak sombong dan semena-mena di rumah ini. Sebagai seorang istri, seharusnya dia tunduk dan taat pada suami. Bukan malah ngelawan dan membangkang, argh!! Dasar wanita kampung, bisanya cuma bikin kesal saja.
Ditengah perasaan ku yang masih kesal pada Dewi, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Ibu. Dengan cepat tanganku menggeser tombol hijau di layar.
"Hallo, ada apa, Bu?" tanyaku mengawali percakapan.
"Hallo, Sen. Kamu uda di rumah?"
"Iya, Bu! Seno uda di rumah! Kenapa?"
"Begini Sen, Ibu butuh uang 1 juta untuk bayar arisan besok. Dari tadi Ibu mau bilang sama kamu, tapi malu karena ada Tantemu disini, Ibu takut di ejek sama dia gara-gara minta uang untuk bayar arisan ke kamu. Soalnya besok arisan nya di rumah dia. Kamu bisa kan, kirim uang 1 juta sekarang ke rekening Ibu?" Aku menelan saliva ku dalam-dalam mendengar permintaan Ibu. Pasalnya, tadi saja aku sudah menghabiskan 3 juta untuk biaya berenang dan makan-makan di restoran berbintang. Dan kini, Ibu memintaku untuk mentransfer uang padanya.
"Hallo, Sen! Ko diem saja sih? Kamu dengar Ibu ngomong kan?" suara Ibu membangunkan lamunanku.
"I-iya, Bu! Seno denger ko!"
"Jadi gimana? Bisakan kamu transfer Ibu sekarang?" tanya Ibu memastikan.
"Jangan sekarang ya, Bu! Seno masih capek! Nanti agak sorean aja Seno transfernya. ATM Seno tidak ada isinya, tadi sudah ditarik semua, jadi tidak bisa transfer lewat m-banking." Jelasku pada Ibu.
"Ya sudah kalau begitu, tapi jangan sampai lupa! 1 juta! Awas jangan kurang!" jawab Ibu mengingatkan. Ia pun mematikan panggilannya.
***
Aku segera masuk ke kamar, membaringkan tubuhku di atas kasur. Rasanya lelah sekali, setelah seharian menemani keluarga liburan.
Ku ambil ponsel yang tergeletak di sampingku. Dan mulai berselancar ke dunia maya. Saat membuka aplikasi biru milikku, wajah cantik Bella langsung menghiasi isi berandaku.
Wajahnya begitu cantik dan terawat, begitu sejuk dipandang mata. Berbeda jauh dengan Dewi yang kusam dan tidak bisa merawat diri. Tak salah jika Bella jadi artis Ibu Kota. Walaupun baru sebagai pemeran figuran, tapi dia sudah membuat keluarga bangga. Seandainya dia bukan sepupuku, sudah lama aku nikahi dia, dan aku jadikan dia istri kedua.
Aku mulai mengecek profilnya. Rupanya dia sedang online, tak lama kemudian ia pun kembali mengunggah sebuah foto dengan penampilan yang begitu menggoda dan menantang. Membuat jiwa ke laki-lakian ku meronta-ronta. Tak butuh waktu lama, hanya hitungan detik saja postingannya sudah di banjiri like dan komentar dari para penggemarnya yang rata-rata adalah lelaki.
Entah kenapa tangan ini rasanya tak tahan untuk langsung menuliskan sesuatu di kolom komentarnya.
[Gila… sexy banget sepupuku yang satu ini, boleh lah kapan-kapan dinner bareng] tulis ku dengan emot hati berjajar di akhir kalimat.
Tak lama kemudian dia pun membalasnya.
[Cuma ngajak dinner doang nih?? Gak sekalian ngajak shoping?] balasnya dengan emot kiss berderet tiga.
[Kalau mau shoping ada syaratnya!] balas ku dengan hati berdebar-debar. Aku terus menanti jawabnya, tapi tak kunjung muncul di kolom komentar.
Tak lama kemudian dia mengirim sebuah privat pesan padaku.
[Apa syaratnya, Mas? Jangan berat-berat yah!]
[Kamu yakin, mau tau syaratnya?]
[Iya, Mas! Cepetan apa syaratnya?]
[Nikah sama aku aja, ntar aku belanjain tiap hari. Hahahaha… . ] balas ku dengan emot ketawa berderet-deret. Aku penasaran, kira-kira balasan apa yang akan Bella tulis.
[Ih… Mas Seno ngaco deh! Kita kan sepupuan. Lagian, Mas Seno kan uda punya anak dan istri! Aku gak mau ah, ntar dikira pelakor lagi]
Di tengah asik berbalas pesan dengan Bella tiba-tiba Dewi masuk ke kamar dan duduk tepat di sampingku. Membuatku terkejut dan langsung mematikan ponselku. Aku takut jika sampai Dewi tau aku menggoda Bella.
***
Pov Dewi
"Kamu kenapa sih, Mas? Aku datang ko panik begitu? Kamu nyembunyiin sesuatu?" tanyaku heran. Aku paham betul dengan gelagatnya Mas Seno. Dia pasti sedang merahasiakan sesuatu dariku.
"E-enggak, Ko! Siapa juga yang panik, kamu ini aneh-aneh aja!" elaknya padaku.
"Oh iya, Mas! SPP nya Nahla sudah tiga bulan belum di bayar! Wali kelasnya sudah mengirimkan surat pemberitahuan untuk segera membayarnya," ucapku pada Mas Seno. Sebenarnya walupun tanpa meminta padanya aku bisa melunasi semua tunggakan SPP Nahla. Tapi, aku hanya ingin tau apakah Mas Seno akan memberiku uang atau tidak.
"Aku tidak ada uang, Dewi! Kamu ini, duit, duit dan duit saja! Apa tidak ada kata lain yang bisa keluar dari mulutmu selain meminta uang, hah! Kamu pikir cari uang tuh gampang? Aku bekerja banting tulang dari pagi sampai sore, kamu enak-enakan tinggal minta! Kamu pikir, aku ini bank? Tadi pagi sudah aku kasih 20 ribu, sekarang kamu minta uang lagi! Boros banget kamu jadi istri" Celoteh nya kesal.
"Ya Allah, Mas! Aku minta uang hanya untuk biaya sekolahnya Nahla! Bukan untuk aku foya-foya. Kamu untuk anak sendiri saja perhitungan, tapi untuk keluargamu kamu bisa ngasih sesuka hati. Kamu pergi jalan-jalan dan mentraktir keluargamu di restoran berbintang aja bisa, tapi kenapa untuk bayar SPP anakmu saja kamu tidak bisa, Mas! Padahal hanya 300 ribu, sedangkan kamu mentraktir keluargamu bisa lebih dari 300 ribu!"
"Jangan lancang kamu Dewi! Beraninya kamu bawa-bawa keluargaku!"
"Aku tidak lancang, Mas! Aku hanya berkata yang sesungguhnya! Sebelum kita menikah, saat kamu masih menjadi sales, aku begitu bangga padamu, Mas! Kamu begitu bertanggung jawab pada keluarga mu, kamu sangat sayang pada Ibu dan adik-adikmu! Dan aku pikir, setelah kita menikah, kamu akan memperlakukan istri dan anak-anak mu sama seperti kamu memperlakukan Ibu dan adik-adikmu. Tapi ternyata tidak Mas! Kamu tetap lebih memprioritaskan keluargamu, rasa sayang dan tanggung jawabmu tetap kau berikan kepada keluargamu. Sedangkan istri dan anak-anakmu kau telantarkan begitu saja!" jelasku panjang lebar, mengeluarkan unek-unek yang bersarang sejak lama.
"Jangan pernah kau samakan dirimu dengan Ibuku! Apa kau lupa Dewi, aku adalah anak pertama! Aku yang harus bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluargaku! Ibu adalah orang yang melahirkan dan membesarkanku, sedangkan kamu! Kamu hanyalah istri yang baru 10 tahun menemaniku! Jadi, jangan pernah kau iri pada Ibu dan adik-adikku! Karena itu percuma! Lebih baik, sekarang kau ngaca! Sudah benar belum kau menjadi seorang istri? Sudah layak apa belum kau meminta uang padaku?"
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m
Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan
Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P
Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos