Tetap jaga kesehatan, patuhi prokes dan selalu jaga jarak. Covid itu menyakitkan😭 Stay safe stay healthy 💗
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe
Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru
Tekanan batin seorang istriPart 1"Sudah cukup, Dewi! Kau itu, terus saja membuatku muak! Apa tidak bisa, sehari saja tidak mengajakku ribut!" ucap Mas Senopati padaku. Lagi-lagi ia marah, saat aku bertanya tentang bukti transferan uang yang dia kirim untuk Vivian. Adik perempuannya yang dua bulan lalu baru melahirkan."Aku hanya bertanya, Mas! Apa salah seorang istri bertanya pada suaminya? Terlebih, sudah dua bulan kamu tidak memberikan nafkah untukku dan kedua anak-anak kita!" jawabku sambil menyeka air mata yang terus mengalir tanpa bisa kutahan."Kan sudah kubilang, uang gaji ku di pakai untuk biaya persalinan Vivian! Belum lagi biaya cicilan mobil! Kamu kayak gak pernah melahirkan saja! Kamu tau k
Tak henti-hentinya aku bersyukur, mendapat rezeki sebanyak ini. Aku segera melakukan pembayaran untuk pengobatan Nahla melalui mesin EDC yang tersedia."Sudah lunas ya, Bu! Ini kwitansi pembayarannya! untuk resep obatnya, Ibu bisa tebus di apotik, ya!" ucap petugas administrasi padaku.Aku segera kembali menuju ruang tempat Nahla diperiksa. Disana perawat sudah menunggu ku di depan pintu."Bagaimana, Ibu? Sudah selesai administrasinya?" tanya perawat itu padaku."Sudah, Sus!" jawabku sambil menyodorkan bukti kwitansi yang ku bawa.Tak lama kemudian, Dokter Tiara keluar menghampiri ku.
Pov SenoDewi melengos begitu saja, meninggalkan aku yang masih tidak percaya dengan yang ia lakukan barusan. Aku menghempaskan bokong ku di atas sofa. Aku benar-benar tidak menyangka, jika Dewi bisa semarah ini. Entah setan apa yang merasuki Dewi. Sampai-sampai dia berani menamparku. Sudah 10 tahun kami menikah, dan baru kali ini dia menampar dan mengancamku.Dia memang begitu sensitif jika menyangkut orang tuanya. Tapi, apa aku salah jika mengingatkan dia dengan statusnya yang hanya anak seorang pemulung? Harus nya dia sadar diri dengan latar belakang keluarganya. Agar dia tidak sombong dan semena-mena di rumah ini. Sebagai seorang istri, seharusnya dia tunduk dan taat pada suami. Bukan malah ngelawan dan membangkang, argh!! Dasar wanita kampung, bisanya cuma bikin kesal saja.Ditengah perasaan ku yang masih kesal pada Dewi, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk da
"Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan Ibuku! Asal kau tau Dewi, dari dulu Ibu banting tulang untuk merawat dan membesarkan ku. Dia rela kerja siang dan malam agar aku bisa sekolah. Sedangkan kau Dewi? Apa yang telah kau lakukan untukku? Kau hanya seorang istri yang bisanya hanya minta uang! Apapun yang Ibu minta, pasti akan aku berikan! Berapapun uang yang aku beri padanya, tidak akan bisa membalas budi ku sebagai seorang anak! Jadi, jangan pernah sekalipun kau membanding-bandingkan perlakuanku padamu dan Ibu!" ucapnya menggebu-gebu. Matanya nyalang menatapku penuh kekesalan.Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Entah setan apa yang bersemayam di dalam dirinya."Aku tidak pernah melarangmu untuk menghormati dan menafkahi Ibumu, Mas! Aku hanya meminta agar kamu bersikap adil. Kamu harus ingat, statusmu bukan cuma seorang anak. M
Aku masih tidak percaya, melihat jumlah honor sebanyak ini. Saat ini, aku memang sedang membutuhkan banyak uang untuk bisa hidup mandiri tanpa bantuan Mas Seno. Dengan uang ini aku bisa memulai semuanya dari awal. Aku bisa memenuhi kebutuhan ku dan anak-anak.Tapi, apa bisa aku berakting? Aku sama sekali tidak pernah mengenal dunia hiburan, apa lagi berakting di depan kamera. Untuk sekedar foto selfie saja aku tidak pernah."Bu! Bagaimana? Apa Ibu mau menerima tawaran saya?" suara Pak Anwar membangunkan lamunanku."Sa-saya… mau pikir-pikir dulu, Pak! Saya takut tidak mampu, dan nantinya malah akan mengecewakan Bapak!" ucapku terbata, aku belum bisa memberi keputusan."Ya sudah kalau begitu, jika Bu Dewi masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tawaran saya. Saya paham ko Bu, dunia seni peran memang hal baru untuk B
Pov Seno Dari tadi entah sudah berapa kali aku menguap sambil menatap layar laptop di depanku. Aku benar-benar ngantuk, tadi malam saat tidur di rumah Ibu, berulang kali aku terbangun untuk menggendong Marsel yang menangis berkali-kali. Padahal biasanya aku selalu tidur nyenyak di rumah. Disaat aku hampir tertidur di atas meja, tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Pak Bimo, atasan ku. Aku terperanjat dan langsung mengusap tombol di layar. "Ha-halo, Pak!" ucapku terbata. "Halo Seno! Bagaimana laporan untuk bulan ini? Sudah selesai? Kamu sudah telat dua hari dari tanggal yang ditentukan!" "Ma-maaf, Pak! Sa-saya belum selesai menyusun laporannya. Tapi saya pastikan besok pagi laporannya saya kirimkan ke email Bapak," ucapku berusaha meyakinkan atasan ku ini. Sudah dua hari ini aku belum juga mengirimkan laporan bulanan yang seharusnya sudah selesai