Share

Mataku membulat tak percaya!

"Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan Ibuku! Asal kau tau Dewi, dari dulu Ibu banting tulang untuk merawat dan membesarkan ku. Dia rela kerja siang dan malam agar aku bisa sekolah. Sedangkan kau Dewi? Apa yang telah kau lakukan untukku? Kau hanya seorang istri yang bisanya hanya minta uang! Apapun yang Ibu minta, pasti akan aku berikan! Berapapun uang yang aku beri padanya, tidak akan bisa membalas budi ku sebagai seorang anak! Jadi, jangan pernah sekalipun kau membanding-bandingkan perlakuanku padamu dan Ibu!" ucapnya menggebu-gebu. Matanya nyalang menatapku penuh kekesalan. 

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Entah setan apa yang bersemayam di dalam dirinya. 

"Aku tidak pernah melarangmu untuk menghormati dan menafkahi Ibumu, Mas! Aku hanya meminta agar kamu bersikap adil. Kamu harus ingat, statusmu bukan cuma seorang anak. Melainkan seorang suami dan Ayah!" ucapku menahan sakit di relung hati terdalam. 

Butiran bening mulai menumpuk di pelupuk mata, hingga akhirnya jatuh membasahi pipiku. Berulang kali aku mengucap istighfar dalam hati, aku harus kuat. Aku tidak boleh menangisi laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti Mas Seno. Aku tidak boleh lemah. 

"Sudahlah, aku capek bertengkar denganmu! Pulang ke rumah niatnya mau istirahat, malah di ajak ribut! Lebih baik aku nginep di rumah Ibu. Daripada tidur dirumah yang sudah seperti neraka ini!" ucapnya lalu pergi membanting pintu dengan keras. Membuat Nayla terbangun karena terkejut. 

"Ibu! Barusan bunyi apa?" suara Nayla berlari menghampiriku yang masih berderai air mata. Dengan cepat tanganku mengusap pipi yang masih basah. 

"Loh, Ibu kenapa menangis?" 

"Nay, ko uda bangun?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. 

"Ibu kenapa nangis? Ada yang jahatin Ibu yah?" tanya Nayla semakin penasaran. 

"Siapa yang nangis? Ibu nggak nangis kok! Tadi Ibu habis ngiris bawang. Nay pasti masih ngantuk, tidur lagi yuk! Ibu antar ke kamar," ajakku pada Nayla. Seketika ia menggelengkan kepala menolaknya. 

"Nggak! Nay udah nggak ngantuk! Nay mau nonton TV aja!" ucapnya berlari ke ruang tengah, tangan kecilnya langsung mengambil remot TV yang tergeletak di atas sofa. 

***

Sore berganti malam, sepertinya Mas Seno memang tidak akan pulang ke rumah malam ini. Biar saja lah, mungkin itu lebih baik. Aku jadi bisa leluasa memesan makan malam untuk anak-anak melalui ojek online. 

Dengan cepat aku pun memesan tiga bungkus nasi goreng seafood, beserta roti bakar untuk camilan anak-anak. 

Setelah pesanan datang, kami bertiga makan dengan lahap. Menikmati malam tanpa suara teriakan dari Mas Seno yang selalu menggema di rumah ini. Aku begitu bahagia melihat anak-anak bisa tertawa riang tanpa ada yang marah karena terganggu dengan suara mereka saat bermain. 

**

Malam semakin larut, Nahla dan Nayla tertidur di atas sofa. Aku mulai mengangkat mereka satu per satu dan memindahkannya ke dalam kamar. 

Aku pun harus segera tidur, karena besok pagi aku harus bertemu dengan Pak Anwar untuk tanda tangani kontrak. 

**

Adzan subuh berkumandang, membangunkanku dari tidur. Selepas sholat subuh, aku segera membuat sarapan untuk anak-anak. Hari ini aku akan menitipkan anak-anak di rumah Bi Narsih, adik kandung almarhum Emak. Aku tidak mungkin membawa mereka berdua ke kantor Pak Anwar. 

"Kakak sama Nay uda bangun? Ayo mandi dulu! Ibu udah bikinin air hangat untuk kalian mandi! Nanti setelah mandi kita sarapan," ajak ku pada mereka berdua. 

Selesai mandi dan ganti baju, kami pun bergegas untuk sarapan. 

"Bu! Hari ini kita mau kemana?" tanya Nahla penasaran.

"Kita mau ke rumah Nenek Narsih! Nahla masih ingat kan? Dulu kan waktu Nahla kelas satu, Nahla sering main kesana!" 

"Ingat dong, Bu! Nenek Narsih kan Neneknya Nahla yang palingggg baik!" ucapnya tersenyum senang. 

Mereka nampak begitu antusias. Kulihat jam di dinding sudah pukul tujuh lewat lima belas menit. Kami bertiga segera keluar dari rumah, menghampiri taxi online yang sudah parkir di halaman rumah. 

"Hore kita naik mobil lagi!" teriak Nayla kegirangan. Iya, walaupun Ayahnya memiliki mobil, tapi Nayla dan Nahla sangat jarang menaikinya. Mas Seno tidak pernah mengajak anak-anaknya untuk naik mobil bersama. Seingatku dari awal mobil itu datang ke rumah ini, baru dua kali anak-anak menaiki mobil Ayahnya. Itu pun tujuannya ke rumah sakit, saat Nahla anfal. 

Satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami pun sampai di rumah Bi Narsih. Rumah bilik yang terlihat begitu hangat dan nyaman. 

Setelah turun dari mobil, anak-anak berhamburan menuju kolam ikan yang terletak di sebelah rumah Bi Narsih.

"Assalamu'alaikum," ucapku mengucap salam. 

"Waalaikumsalam," jawab Bi Narsih membuka pintu. 

"Dewi! Sama siapa kamu kesini, Nak? Gimana kabar kamu? Bibi kangen banget sama kamu, Wi!" teriak Bi Narsih, tangannya memeluk erat tubuhku. 

"Dewi juga kangen, Bi! Maaf Dewi jarang main kesini! Dewi kesini sama anak-anak, Bi! Mereka berdua sedang melihat ikan di kolam!" ucapku sambil menunjuk ke arah Nahla dan Nayla yang tengah asik melihat ikan. 

Aku memanggil mereka berdua untuk bersalaman pada Neneknya. Mereka pun berlari menghampiriku. 

"Kakak sama Nay, apa kabar?" tanya Bi Narsih pada kedua anakku. 

"Kabar Nay baik, Nek! Kalau Kakak masih sakit! Kemarin baru pulang dari rumah sakit!" sahut Nayla. Ia begitu fasih menjawab pertanyaan Bi Narsih. 

"Oh, Kakak masih sakit yah! Ya sudah, ayo masuk dulu! Nanti Nenek buatin teh manis di dalam! Nenek juga punya singkong rebus yang masih anget! Nahla sama Nay suka kan sama singkong rebus?" 

"Suka, Nek! Suka!" jawab mereka bersamaan. 

***

"Wi, bagaimana kabar suamimu?" tanya Bi Narsih mengawali percakapan. 

"Alhamdulillah baik, Bi! Oh iya, Mang Yayan sama Tisna kemana Bi?" 

"Mereka berdua ke kebun, Wi! Lagi panen singkong!" jawab Bi Narsih. 

Bi Narsih tinggal bersama suami dan Anaknya yang bernama Tisna. Sama seperti Almarhum Ibu, Bi Narsih juga hanya memiliki satu orang anak, usia anaknya lebih muda dua tahun dariku. 

"Bi, Dewi mau nitip anak-anak sebentar! Dewi ada urusan, bisa kan Bi?" ucapku mengutarakan tujuan utama ku. 

"Bisa dong, Wi! Bibi seneng malah, kalau ada anak-anak disini! Rumah ini jadi gak sepi, kalau kamu mau pergi, pergi aja. Gak usah khawatir dengan anak-anak! Bibi akan menjaga mereka," jawab Bi Narsih membuatku lega. 

"Terimakasih banyak ya, Bi! Kalau begitu Dewi berangkat dulu!" ucapku pada Bi Narsih. 

Aku pun segera berangkat setelah berpamitan pada kedua anakku. Tak lupa aku titipkan uang untuk jajan Nayla dan dan Nahla pada Bi Narsih. 

***

Hampir dua jam perjalanan dari rumah Bi Narsih ke kantor Pak Anwar. Bersyukur jalanan Ibu kota tidak sepadat  biasanya. Aku pun bisa sampai tepat waktu. 

"Silahkan masuk, Bu Dewi!" ucap sekertaris Pak Anwar, tangannya membukakan pintu untukku. 

Di dalam ruangan, duduk seorang laki-laki paruh baya, dengan penampilan yang sederhana namun berkelas. 

"Bu Dewi, kenalkan saya Anwar! silahkan duduk, Bu!" ucapnya mempersilahkan ku untuk duduk. 

Pak Anwar adalah seorang produser ternama di kota ini. Dia juga pemilik salah satu agensi artis yang terkenal. Sudah banyak artis-artis baru yang ia orbitkan dan menjadi arti besar. 

Kami mengobrol cukup lama. Nampaknya Pak Anwar sangat tertarik dan begitu menyukai novel yang kubuat. Berulang kali ia memuji novel ku, bahkan ia ingin sekali bekerja sama denganku untuk menggarap film ini. 

"Bagaimana Bu Dewi? Apakah Ibu mau menerima tawaran saya? Saya sangat berharap anda mau bekerja sama untuk pembuatan film ini. Saya yakin, selain jago menulis, anda juga pasti jago dalam beradu peran," ucapnya terus membujukku agar mau menjadi peran utama dalam film ini. 

"Tapi, Pak! Saya sama sekali tidak berbakat untuk berakting di depan kamera. Lebih baik saya bantu di balik layar saja, Pak! Saya ini orang kampung Pak, mana bisa berakting seperti artis pada umumnya! Lebih baik Bapak cari artis yang profesional saja," 

"Tapi, keyakinan saya begitu kuat, Bu! Sudah lama saya berkecimpung di dunia seni peran dan teater, dan entah kenapa setelah saya membaca novel yang Ibu buat, saya sangat yakin jika sang penulis bisa menjadi peran utama dalam film ini. Terlebih setelah saya bertemu langsung dengan Ibu. Keyakinan saya semakin bertambah!" 

"Tapi Pak, saya… ." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Pak Anwar sudah memotongnya. 

"Saya mohon tolong dipikirkan terlebih dahulu tawaran saya! Untuk honornya ibu tidak usah khawatir! Sebagai rasa terimakasih saya pada Ibu, saya akan membayar Ibu sama seperti artis-artis yang sudah terkenal! Bagaimana Bu Dewi? Ibu bersedia kan?" 

Aku terdiam, bingung harus bagaimana lagi aku menolaknya. Pak Anwar berjalan mendekati sebuah rak. Dia mengambil sebuah map berwarna hijau, kemudian menunjukan sebuah kertas perjanjian kerjasama seorang artis ternama di kota ini. 

"Jika Ibu bersedia, honor Ibu akan saya samakan dengan artis ini!" ucapnya sambil menyodorkan sebuah kontrak kerja yang ditandatangani artis film yang sedang naik daun itu. Disana tertulis jelas berapa honor yang ia terima untuk berperang dalam sebuah film yang sedang ia bintangi saat ini. 

Mataku terbelalak tak percaya, melihat jumlah angka yang tertulis. Li-lima ratus juta!

bersambung... 

sambil nunggu update bab baru, yuk baca cerbung Ottor yang udah tamat. Judulnya 'Vonis mandul ditengah kehamilan istriku' warning!! ada adegan dewasa 🤭🤭 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Era Tm71
Cerita nya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status