Home / Urban / Tekanan batin seorang istri / Mataku membulat tak percaya!

Share

Mataku membulat tak percaya!

Author: Rhienz
last update Last Updated: 2021-09-15 07:17:17

"Sampai kapanpun juga, aku tidak akan pernah memperlakukanmu sama seperti aku memperlakukan Ibuku! Asal kau tau Dewi, dari dulu Ibu banting tulang untuk merawat dan membesarkan ku. Dia rela kerja siang dan malam agar aku bisa sekolah. Sedangkan kau Dewi? Apa yang telah kau lakukan untukku? Kau hanya seorang istri yang bisanya hanya minta uang! Apapun yang Ibu minta, pasti akan aku berikan! Berapapun uang yang aku beri padanya, tidak akan bisa membalas budi ku sebagai seorang anak! Jadi, jangan pernah sekalipun kau membanding-bandingkan perlakuanku padamu dan Ibu!" ucapnya menggebu-gebu. Matanya nyalang menatapku penuh kekesalan. 

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. Entah setan apa yang bersemayam di dalam dirinya. 

"Aku tidak pernah melarangmu untuk menghormati dan menafkahi Ibumu, Mas! Aku hanya meminta agar kamu bersikap adil. Kamu harus ingat, statusmu bukan cuma seorang anak. Melainkan seorang suami dan Ayah!" ucapku menahan sakit di relung hati terdalam. 

Butiran bening mulai menumpuk di pelupuk mata, hingga akhirnya jatuh membasahi pipiku. Berulang kali aku mengucap istighfar dalam hati, aku harus kuat. Aku tidak boleh menangisi laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti Mas Seno. Aku tidak boleh lemah. 

"Sudahlah, aku capek bertengkar denganmu! Pulang ke rumah niatnya mau istirahat, malah di ajak ribut! Lebih baik aku nginep di rumah Ibu. Daripada tidur dirumah yang sudah seperti neraka ini!" ucapnya lalu pergi membanting pintu dengan keras. Membuat Nayla terbangun karena terkejut. 

"Ibu! Barusan bunyi apa?" suara Nayla berlari menghampiriku yang masih berderai air mata. Dengan cepat tanganku mengusap pipi yang masih basah. 

"Loh, Ibu kenapa menangis?" 

"Nay, ko uda bangun?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. 

"Ibu kenapa nangis? Ada yang jahatin Ibu yah?" tanya Nayla semakin penasaran. 

"Siapa yang nangis? Ibu nggak nangis kok! Tadi Ibu habis ngiris bawang. Nay pasti masih ngantuk, tidur lagi yuk! Ibu antar ke kamar," ajakku pada Nayla. Seketika ia menggelengkan kepala menolaknya. 

"Nggak! Nay udah nggak ngantuk! Nay mau nonton TV aja!" ucapnya berlari ke ruang tengah, tangan kecilnya langsung mengambil remot TV yang tergeletak di atas sofa. 

***

Sore berganti malam, sepertinya Mas Seno memang tidak akan pulang ke rumah malam ini. Biar saja lah, mungkin itu lebih baik. Aku jadi bisa leluasa memesan makan malam untuk anak-anak melalui ojek online. 

Dengan cepat aku pun memesan tiga bungkus nasi goreng seafood, beserta roti bakar untuk camilan anak-anak. 

Setelah pesanan datang, kami bertiga makan dengan lahap. Menikmati malam tanpa suara teriakan dari Mas Seno yang selalu menggema di rumah ini. Aku begitu bahagia melihat anak-anak bisa tertawa riang tanpa ada yang marah karena terganggu dengan suara mereka saat bermain. 

**

Malam semakin larut, Nahla dan Nayla tertidur di atas sofa. Aku mulai mengangkat mereka satu per satu dan memindahkannya ke dalam kamar. 

Aku pun harus segera tidur, karena besok pagi aku harus bertemu dengan Pak Anwar untuk tanda tangani kontrak. 

**

Adzan subuh berkumandang, membangunkanku dari tidur. Selepas sholat subuh, aku segera membuat sarapan untuk anak-anak. Hari ini aku akan menitipkan anak-anak di rumah Bi Narsih, adik kandung almarhum Emak. Aku tidak mungkin membawa mereka berdua ke kantor Pak Anwar. 

"Kakak sama Nay uda bangun? Ayo mandi dulu! Ibu udah bikinin air hangat untuk kalian mandi! Nanti setelah mandi kita sarapan," ajak ku pada mereka berdua. 

Selesai mandi dan ganti baju, kami pun bergegas untuk sarapan. 

"Bu! Hari ini kita mau kemana?" tanya Nahla penasaran.

"Kita mau ke rumah Nenek Narsih! Nahla masih ingat kan? Dulu kan waktu Nahla kelas satu, Nahla sering main kesana!" 

"Ingat dong, Bu! Nenek Narsih kan Neneknya Nahla yang palingggg baik!" ucapnya tersenyum senang. 

Mereka nampak begitu antusias. Kulihat jam di dinding sudah pukul tujuh lewat lima belas menit. Kami bertiga segera keluar dari rumah, menghampiri taxi online yang sudah parkir di halaman rumah. 

"Hore kita naik mobil lagi!" teriak Nayla kegirangan. Iya, walaupun Ayahnya memiliki mobil, tapi Nayla dan Nahla sangat jarang menaikinya. Mas Seno tidak pernah mengajak anak-anaknya untuk naik mobil bersama. Seingatku dari awal mobil itu datang ke rumah ini, baru dua kali anak-anak menaiki mobil Ayahnya. Itu pun tujuannya ke rumah sakit, saat Nahla anfal. 

Satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami pun sampai di rumah Bi Narsih. Rumah bilik yang terlihat begitu hangat dan nyaman. 

Setelah turun dari mobil, anak-anak berhamburan menuju kolam ikan yang terletak di sebelah rumah Bi Narsih.

"Assalamu'alaikum," ucapku mengucap salam. 

"Waalaikumsalam," jawab Bi Narsih membuka pintu. 

"Dewi! Sama siapa kamu kesini, Nak? Gimana kabar kamu? Bibi kangen banget sama kamu, Wi!" teriak Bi Narsih, tangannya memeluk erat tubuhku. 

"Dewi juga kangen, Bi! Maaf Dewi jarang main kesini! Dewi kesini sama anak-anak, Bi! Mereka berdua sedang melihat ikan di kolam!" ucapku sambil menunjuk ke arah Nahla dan Nayla yang tengah asik melihat ikan. 

Aku memanggil mereka berdua untuk bersalaman pada Neneknya. Mereka pun berlari menghampiriku. 

"Kakak sama Nay, apa kabar?" tanya Bi Narsih pada kedua anakku. 

"Kabar Nay baik, Nek! Kalau Kakak masih sakit! Kemarin baru pulang dari rumah sakit!" sahut Nayla. Ia begitu fasih menjawab pertanyaan Bi Narsih. 

"Oh, Kakak masih sakit yah! Ya sudah, ayo masuk dulu! Nanti Nenek buatin teh manis di dalam! Nenek juga punya singkong rebus yang masih anget! Nahla sama Nay suka kan sama singkong rebus?" 

"Suka, Nek! Suka!" jawab mereka bersamaan. 

***

"Wi, bagaimana kabar suamimu?" tanya Bi Narsih mengawali percakapan. 

"Alhamdulillah baik, Bi! Oh iya, Mang Yayan sama Tisna kemana Bi?" 

"Mereka berdua ke kebun, Wi! Lagi panen singkong!" jawab Bi Narsih. 

Bi Narsih tinggal bersama suami dan Anaknya yang bernama Tisna. Sama seperti Almarhum Ibu, Bi Narsih juga hanya memiliki satu orang anak, usia anaknya lebih muda dua tahun dariku. 

"Bi, Dewi mau nitip anak-anak sebentar! Dewi ada urusan, bisa kan Bi?" ucapku mengutarakan tujuan utama ku. 

"Bisa dong, Wi! Bibi seneng malah, kalau ada anak-anak disini! Rumah ini jadi gak sepi, kalau kamu mau pergi, pergi aja. Gak usah khawatir dengan anak-anak! Bibi akan menjaga mereka," jawab Bi Narsih membuatku lega. 

"Terimakasih banyak ya, Bi! Kalau begitu Dewi berangkat dulu!" ucapku pada Bi Narsih. 

Aku pun segera berangkat setelah berpamitan pada kedua anakku. Tak lupa aku titipkan uang untuk jajan Nayla dan dan Nahla pada Bi Narsih. 

***

Hampir dua jam perjalanan dari rumah Bi Narsih ke kantor Pak Anwar. Bersyukur jalanan Ibu kota tidak sepadat  biasanya. Aku pun bisa sampai tepat waktu. 

"Silahkan masuk, Bu Dewi!" ucap sekertaris Pak Anwar, tangannya membukakan pintu untukku. 

Di dalam ruangan, duduk seorang laki-laki paruh baya, dengan penampilan yang sederhana namun berkelas. 

"Bu Dewi, kenalkan saya Anwar! silahkan duduk, Bu!" ucapnya mempersilahkan ku untuk duduk. 

Pak Anwar adalah seorang produser ternama di kota ini. Dia juga pemilik salah satu agensi artis yang terkenal. Sudah banyak artis-artis baru yang ia orbitkan dan menjadi arti besar. 

Kami mengobrol cukup lama. Nampaknya Pak Anwar sangat tertarik dan begitu menyukai novel yang kubuat. Berulang kali ia memuji novel ku, bahkan ia ingin sekali bekerja sama denganku untuk menggarap film ini. 

"Bagaimana Bu Dewi? Apakah Ibu mau menerima tawaran saya? Saya sangat berharap anda mau bekerja sama untuk pembuatan film ini. Saya yakin, selain jago menulis, anda juga pasti jago dalam beradu peran," ucapnya terus membujukku agar mau menjadi peran utama dalam film ini. 

"Tapi, Pak! Saya sama sekali tidak berbakat untuk berakting di depan kamera. Lebih baik saya bantu di balik layar saja, Pak! Saya ini orang kampung Pak, mana bisa berakting seperti artis pada umumnya! Lebih baik Bapak cari artis yang profesional saja," 

"Tapi, keyakinan saya begitu kuat, Bu! Sudah lama saya berkecimpung di dunia seni peran dan teater, dan entah kenapa setelah saya membaca novel yang Ibu buat, saya sangat yakin jika sang penulis bisa menjadi peran utama dalam film ini. Terlebih setelah saya bertemu langsung dengan Ibu. Keyakinan saya semakin bertambah!" 

"Tapi Pak, saya… ." Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Pak Anwar sudah memotongnya. 

"Saya mohon tolong dipikirkan terlebih dahulu tawaran saya! Untuk honornya ibu tidak usah khawatir! Sebagai rasa terimakasih saya pada Ibu, saya akan membayar Ibu sama seperti artis-artis yang sudah terkenal! Bagaimana Bu Dewi? Ibu bersedia kan?" 

Aku terdiam, bingung harus bagaimana lagi aku menolaknya. Pak Anwar berjalan mendekati sebuah rak. Dia mengambil sebuah map berwarna hijau, kemudian menunjukan sebuah kertas perjanjian kerjasama seorang artis ternama di kota ini. 

"Jika Ibu bersedia, honor Ibu akan saya samakan dengan artis ini!" ucapnya sambil menyodorkan sebuah kontrak kerja yang ditandatangani artis film yang sedang naik daun itu. Disana tertulis jelas berapa honor yang ia terima untuk berperang dalam sebuah film yang sedang ia bintangi saat ini. 

Mataku terbelalak tak percaya, melihat jumlah angka yang tertulis. Li-lima ratus juta!

bersambung... 

sambil nunggu update bab baru, yuk baca cerbung Ottor yang udah tamat. Judulnya 'Vonis mandul ditengah kehamilan istriku' warning!! ada adegan dewasa 🤭🤭 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Era Tm71
Cerita nya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tekanan batin seorang istri   TAMAT

    Tiga hari sudah aku mempertimbangkan permintaan terakhir Bu Hanum sebelum meninggal. Hingga akhirnya, aku sampai di acara yang sakral ini. Sebuah pernikahan yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Bahkan, untuk membayangkannya saja aku tak pernah. "Dewi! Kamu cantik banget! Sumpah, ini pangling banget, Wi!" ucap Renata menghampiri ku di ruang make-up. Renata adalah orang yang terus mendukungku untuk menikah dengan Dion. Ia bilang, cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Sama seperti yang dialaminya dulu saat terpaksa harus menikah dengan Mas Fabian karena dijodohkan kedua orang tua mereka. "Aku gugup, Ren!" ucapku pada Renata. Renata tersenyum dan berkata. "Itu hal biasa, Wi! Namanya juga mau memulai hidup baru! Kamu santai aja! Berdoa dalam hati biar nggak gugup. Sebentar lagi, hidupmu akan berubah jadi Nyonya Dion! Sang pewaris tunggal seluruh perusahaan Dimitra group!" "Ibu Aulia! Mari ikut saya ke depan! Acaranya sudah mau dimulai!" ucap salah satu kru

  • Tekanan batin seorang istri   Karma Seno

    "Tinggalkan rumah ini sekarang juga! Rumah ini kami sita! Kalau tidak, kalian akan menyesal" ucap salah satu preman itu dengan nada mengancam. Ibu menatap mereka dengan tatapan heran. "Kalian siapa? Jangan ngomong sembarangan, ya! Ini rumah saya! Enak aja kalian usir kami dari rumah ini!" sahut Ibu tak kalah sewot. "Jangan banyak omong! Cepet kemasi barang-barang kalian! Lalu pergi dari rumah ini!" ucap preman berambut gondrong itu mendorong tubuh Ibu. "Saya mohon, tolong jangan usir kami dari sini! Kami mau tinggal dimana jika diusir dari sini! Saya janji, semua hutang akan saya bayar beserta bunganya," ucapku bersimpuh di kaki mereka. "Maksud kamu apa, Seno? Hutang? Hutang apa?" tanya Ibu semakin bingung. "Maafkan Seno, Bu! Seno terpaksa meminjam uang pada rentenir dengan jaminan sertifikat rumah ini!" jelasku membuat Ibu terkejut seketika. "Apa? Ka-kamu pinjam uang pakai jaminan sertifikat rumah?" ucap Ibu tak percaya. "Iya, Bu! Seno terpaksa. Saat itu aku benar-benar kepepe

  • Tekanan batin seorang istri   Sepertinya kematian kini ada di hadapanku!

    'Menikah dengan Dion?' yang benar saja! Mana mungkin aku menikah dengannya. Kenal saja belum genap dua bulan. Mana mungkin aku bisa memenuhi permintaan Bu Hanum untuk menikah dengan anaknya yang kaku itu. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kulihat wajah Bu Hanum seperti menaruh harapan yang besar padaku. Tapi, ini terlalu cepat. Aku baru saja bercerai dengan Mas Seno. Rasa trauma menjalin biduk rumah tangga masih kurasakan sampai saat ini. Monitor terus berbunyi, mereka tampak begitu panik. Dion berlari mencari dokter. Sedangkan Pak Anwar, dia terus berdoa di samping istrinya. "Yang kuat, Mah! Papah yakin Mama bisa melewati semua ini! Kita bisa kumpul lagi dirumah, papah mohon bertahanlah! Bukannya mama ingin menimang cucu dari Dion? Ayo Mah berjuang!" ucap Pak Anwar tidak bisa menyembunyikan kesedihan nya. Ia menangis tergugu di samping Bu Hanum yang semakin melemah. "Bu! Ibu yang kuat, ya! Dion lagi panggil dokter! Sebentar lagi pasti datang, Ibu bertahan!" ucapku. Bu Hanum m

  • Tekanan batin seorang istri   Ya Tuhan , mana mungkin aku melakukan ini?

    Mataku terus menatap layar ponsel, aku masih tidak percaya melihat pesan beruntun dari mereka. Yang benar saja, bukannya kemarin Bella baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba ada kabar duka yang mengatakan Bella telah berpulang. 'Innalillahi wainnalillahi rojiun! Ya Allah, benarkah Bella meninggal?' rasanya tidak dapat dipercaya, Bella orang yang sangat aktif dan enerjik, dia nampak sehat dan baik-baik saja. Tapi, kenapa ia tiba-tiba meninggal?Beribu pertanyaan terus bersarang di benakku. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kubuka aplikasi F******k milikku, melihat profil akun Bella. Benar saja, banyak teman-temannya yang mengucapkan turut berdukacita. Terlebih, status dan foto yang di posting oleh Tante Lili beberapa jam lalu semakin meyakinkan dan membenarkan jika Bella telah tiada. Sebuah foto Bella yang tampak pucat, terbaring diatas kasur dengan caption "selamat jalan Bella sayang! Mama akan selalu merindukan mu!" Foto itu dibanjiri komentar dari saudara maupun teman-teman Bella dan

  • Tekanan batin seorang istri   Mataku terbelalak melihat isi percakapan mereka

    Sesampainya di rumah mewah milik keluarga Dion, kami langsung turun dari mobil. Anak-anak nampak takjub melihat rumah bak istana yang megah ini."Bu! Rumahnya besar banget! Kayak di film-film yang pernah aku lihat," ucap Nahla padaku. "Ayo masuk!" ajak Dion. Ia menuntun kedua anakku. "Akhirnya kalian datang juga! Ayo sini Aulia!" ucap Bu Hanum menyambut kedatangan kami. "Wah cantik-cantik sekali anakmu Aulia! Sini sayang, duduk di dekat Omah!" seru Bu Hanum pada Nahla dan Nayla. "Yang ini namanya siapa?" tanya Bu Hanum pada Nahla. "Saya Nahla, Omah! Dan ini Nayla, adik saya!" jawab Nahla tersenyum ramah. Mereka terlihat sangat akrab. Bu Hanum dan Pak Anwar begitu antusias melihat kedatangan kedua anakku. Perlakuannya begitu hangat. Kulihat Nayla dan Nahla begitu nyaman berada di samping keluarga ini. Pemandangan seperti ini yang dari dulu tidak pernah aku dapatkan dari keluarga Mas Seno. "Tuan, Nyonya! Makanannya sudah siap!" ucap salah satu pelayan di rumah ini. Bu Hanum dan P

  • Tekanan batin seorang istri   Beruang kutub berubah menjadi seekor panda

    Pov Seno Dengan langkah pasti aku memasuki pekarangan rumah mewah itu setelah memarkirkan mobilku di depan pos penjaga. Tak lupa aku membawa sertifikat berharga ini. "Sudah buat janji dengan bos besar?" tanya preman bertato elang ini padaku. Aku pun mengangguk dengan yakin. Preman itu segera membukakan pintu dan menyuruhku untuk masuk. "Duduklah! Sebentar lagi bos besar akan turun!" ucapnya lagi menyuruhku untuk duduk. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki menuruni anak tangga. Seorang pria paruh baya dengan cerutu di tangan dan topi koboi berwarna hitam yang menutupi wajahnya datang menghampiriku. Pria yang masih ku ingat jelas wajahnya itu, kini duduk di hadapanku. "Berikan sertifikat itu pada anak buahku!" titahnya padaku. Aku pun segera menyerahkan sertifikat rumah ini pada preman yang berdiri disampingku. Preman berwajah sangar itu mengecek isi sertifikat yang kuberikan dengan teliti. Setelah selesai mengeceknya ia pun mengangguk seolah memberikan isyarat kepada bos

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status