Share

13. Ujian

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Aku tersedu di pundak Zayn. Lutut ini terasa lemas. Badan pun seperti tidak bertenaga sama sekali. Aku butuh bersandar dan Zayn menawarkan.

Pemuda itu menyambut hangat. Bahkan tangannya terusap lembut di rambut. Kekalutan, kegundahan, hingga ketakutanku bermuara pada satu titik. Kutumpahkan segala rasa itu pada pundak Zayn.

"Tenanglah! Ada aku di sini." Zayn memberi kekuatan.

EHEM-EHEM

Terdengar gumaman keras. Spontan kutarik kepala ini pada bahu Zayn. Kami berdua menoleh ke belakang. Ada Elma masih dengan mata dan hidung yang merah menatap kami datar.

"Zayn, tolong kamu antar mama pulang. Dia teramat lemah. Aku takut mama jatuh pingsan di jalan tanpa ada yang menolong kalau pulang sendiri," pinta Elma panjang.

"Baik," sahut Zayn sigap. "Kamu sendiri tidak ikut pulang?" Zayn menunjukkan kepeduliannya.

"Aku akan jaga Bang Tama." Suara Elma masih terdengar lemah.

"Oke. Jaga diri kalian baik-baik."

Zayn berlalu usai berucap demikian. Kini tinggal aku dan Elma yang masih terpekur menatap kebungkaman Kak Sabiru.

"Aku takut, Elma." Kembali rasa itu menyergap dada.

"Bersabarlah! Aku yakin Biru pasti bertahan." Elma memberi keyakinan.

Kami berdua lantas merapatkan badan untuk saling menguatkan.

***

Sudah tiga hari Kak Sabiru, Kiara, dan Dokter Tama terkapar tidak berdaya di brankar mereka. Belum ada yang siuman atau setidaknya menunjukkan perkembangan. Kondisi mereka masih statis saja. Kami semua diliputi kesedihan dan kegelisahan karena itu.

Tante Santi sepanjang hari mengomel, bersedih, dan akan meratap setiap kali menilik keadaan sang putri. Menurutku, dia sangat tidak beradab. Di tengah kedukaan ini, mulutnya terus saja menyalahkan Kak Sabiru.

Tentu saja aku berang mendengarnya. Andai suasana sudah kondusif, mungkin sudah kubalas omongan nylekit dia. Sayang kondisi sedang tidak memungkinkan untuk saling berdebat. Sehingga mau tidak mau aku hanya bisa membisu saat Tante Santi menyalahkan Kak Sabiru.

Berbeda dengan keluarga Tama. Tante Mirna beserta sang suami terlihat begitu tabah. Padahal menurut dokter yang menangani, kondisi kakak Elma itu jauh lebih kritis dibanding yang lain.

Kemurahan hati Om Johan dan Tante Mirna kian jelas terlihat, saat mereka menerima kedatangan supir truk bersama istrinya. Keduanya begitu baik menyambut orang yang telah membuat anaknya celaka. Tidak ada raut kemarahan pada wajah Om Johan dan Tante Mirna ketika berbincang dengan supir truk. Bahkan suami istri itu berlapang dada memaafkan supir truk tersebut.

Berbanding terbalik dengan Tante Santi. Ibu empat orang anak itu langsung mencak-mencak murka begitu supir kurus tersebut bersama sang istri meminta maaf padanya. Suaranya terdengar begitu menggelegar saat mencaci pria berkulit cokelat gelap itu. Tante Santi seolah tengah mempermalukan pasangan suami istri itu.

"Ibu Santi, tolong kendalikan amarah! Ingat ini di rumah sakit. Ada banyak pasien yang membutuhkan ketenangan di sini," tegur Om Johan terdengar bijak.

"Pokoknya orang ini harus dihukum setimpal karena telah membuat anak saya celaka!" sergah Tante Santi menunjuk pria yang menunduk takut di hadapannya itu. "Saya tidak rela jika kelalaiannya dibiarkan begitu saja," tandas Tante Santi berlalu pergi.

Aku, Om Johan, Tante Mirna, beserta sang supir dan istrinya hanya bisa gusar melihat kepergian Tante Santi. Kami semua kembali terpekur diam di ruang tunggu ini. Lalu ketika pasangan suami istri itu mendekat untuk meminta maaf, aku hanya bisa mengangguk memaafkan.

Aku dan Om Johan telah sepakat tidak menuntut supir tersebut. Hanya saja proses hukum yang sedang berjalan tetap berlanjut. Bagaimana pun juga supir truk tersebut telah lalai dalam berkendara sehingga membuat orang lain celaka.

***

Malam ini malam keempat Kak Sabiru dirawat di rumah sakit. Aku tidak menungguinya seorang diri. Ada Paman Hasan yang turut menemani. Tadinya pria itu menyuruhku untuk pulang saja. Kasihan Keanu katanya. Namun, aku menolak usul itu.

Walau badan sangat penat seharian duduk menjaga Kak Sabiru, tetapi aku bersikeras menjaganya. Aku ingin saat  membuka mata, orang yang pertama kali terlihat di matanya adalah wajahku.

Sepertinya Tuhan mendengar doaku selama berhari-hari ini. Tepat pukul sembilan malam ketika kantuk mulai menyerang, tiba-tiba terdengar rintihan dari bibir Kak Sabiru. Aku dan Paman saling berpandangan saat melihat pria itu mulai membuka matanya perlahan.

Kak Sabiru mulai sadar. Perlahan rintihannya berubah menjadi erangan kecil. Sepertinya dia tengah merasakan sakit.

"Kak Sabir ...." Aku langsung mendekat dan meraih jemarinya untuk digenggam. "Apa? Apanya yang sakit, Kak?" tanyaku serius.

Kak Sabiru masih saja mendesis tanpa mau menjawab pertanyaan dariku. Pria itu memegangi kepalanya dengan mata terpejam. 

"Katakan apanya yang sakit, biar aku panggilkan dokter segera," kataku lagi.

"Bila ... kamu kah itu?" Suara Kak Sabiru terdengar lemah. Matanya memincing. Lalu ia edarkan pandangan. "Kenapa kamu tidak menyalakan lampu, La?" tanya pria itu dengan mata yang tidak fokus.

Mata Kak Sabiru nanar memandang objek lain. Entah apa yang tengah ia lihat. Namun, pandangan matanya seolah tidak tertuju padaku yang berdiri tepat di hadapannya.

"Kak Sabir ...."

Aku mendekatkan wajah. Kini Kak Sabiru menoleh. Namun, maniknya tetap tidak fokus menatapku.

"Kenapa semuanya gelap, La? To-tolong nyalakan lampu! Kakak tidak bisa melihat wajahmu," pintanya nyalang. Seolah ia tengah menajamkan penglihatan.

Melihat itu sontak aku dan Paman saling berpandangan. Seketika otakku dihantui pikiran buruk. Wajah Paman pun sama terherannya mendengar pernyataan Kak Sabiru.

"Paman akan panggilkan dokter!"

Paman Hasan lekas memencet tombol Nurse Call yang menempel di dinding putih ini. Tidak menunggu lama korden pun tersingkap. Datang seorang perawat dengan tergopoh-gopoh. Pasalnya Paman menekan kenop emergency.

"Sus, tolong periksa suami saya! Dia sudah sadar, tapi ada yang aneh dengan penglihatannya," laporku segera.

Perawat berkisar awal tiga puluhan itu mendekati Kak Sabiru. Dia mengeluarkan senter kecil dari kantung seragam putihnya. Lalu mulai mengarahkan senter yang sudah menyala itu pada manik hitam Kak Sabiru.

Sang perawat menarik kelopak bawah manik Kak Sabiru lewat telunjuknya. Sementara pria itu tengadah dan melebarkan mata. Suster terus mengamati.

"Bapak Biru bisa melihat tangan saya?" tanya suster seraya menggerakkan jemarinya tepat di hadapan wajah Kak Sabiru.

"Ge-lap, Sus. Saya ... saya tidak bisa melihat apapun," jawab Kak Sabiru tergetar.

Mendengar itu kembali aku dan Paman saling berpandangan. Muka pias Paman menunjukkan rasa takut. Seperti halnya rasa yang tengah kualami.

"Sus ... ada apa dengan mata saya? Kenapa ... kenapa saya tidak bisa melihat kalian?" tanya Kak Sabiru panik.

"Saya panggilkan dokter saja. Biar dicek lebih dalam lagi. Permisi." Usai mengangguk sopan, wanita itu pun berlalu.

"Bila ... di mana kamu? Kenapa aku tidak bisa melihatmu?" Kak Sabiru meraba-aba udara. Dirinya bermaksud mencari keberadaanku.

"Aku di sini," bisikku meraih jemari itu untuk digenggam erat.

"Bila ... aku takut kalo-"

"Sttt!" Kutempelkan telunjuk di bibirnya. "Ada dokter, ada obat, dan rumah sakit ini canggih. Kakak pasti sembuh," ucapku menenangkan. Walau hati kecil sendiri menjerit takut.

Tidak berapa lama dokter pun datang. Pria berjas putih itu langsung memeriksa mata Kak Sabiru. Ada raut kesedihan pada wajah dokter berambut tipis itu.

"Apa yang terjadi dengan suami saya, Dok?" tanyaku begitu orang itu selesai memeriksa.

"Saya belum bisa menyimpulkan. Untuk lebih jelasnya Bapak Biru sebaiknya melakukan CT scan."

Usai memberikan penjelasan singkat, dokter pun melangkah pergi.

*

Esok harinya usai berpuasa selama beberapa jam, Kak Sabiru pun menjalani CT scan. Karena tidak hanya kepala yang diperiksa, tetapi juga seluruh badan maka Kak Sabiru diwajibkan melepaskan baju.

Pria itu kini memakai gaun khusus sesuai prosedur. Tubuhnya terbaring di meja kecil dan siap masuk lorong berbentuk donat. Scanner pintar itu hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk memindai. Hasil dari CT scan itu bisa kuketahui esok harinya.

Begitu hasinya ke luar, dokter yang menangi Kak Sabiru menjelaskan kalo suamiku itu mengalami cedera yang cukup serius. Dan itu berpengaruh pada penglihatannya. Dokter itu menyuruhku untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis mata. Sebagai orang yang tidak paham masalah kedokteran dan hanya ingin cepat menginginkan kesembuhan, aku pun menurut patuh.

Dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran, aku menjumpai dokter yang telah ditunjuk. Dokter spesialis mata yang akan menangani Kak Sabiru. Sebelum masuk ke ruang kerja itu, aku terlebih dulu tengadah memanjatkan doa. Berharap tidak ada hal buruk yang menimpa Kak Sabiru.

Sayangnya jawaban dokter spesialis mata sama persis dengan pernyataan dokter yang satunya tempo hari.

"Bapak Sabiru mengalami cedera yang cukup serius pada syaraf matanya. Dan itu mengakibatkan kebutaan pada matanya," terang dokter ber-name tag Arman itu hati-hati.

Walau sudah menduga akan kemungkinan tersebut, tetapi hatiku tetap saja diserang rasa kaget. "Apakah ... apakah bisa disembuhkan, Dok?" tanyaku tergetar. Sarat pengharapan.

Dokter Arman menggeleng lemah. "Sangat kecil. Bahkan bisa menuju kebutaan permanen," jelasnya iba.

Ada yang teremas kuat di dalam sana.  Saking terlalu kuatnya sehingga aku hanya bisa menganga lebar tanpa bersuara. Air mata yang sedari tadi mengenang, akhirnya banjir juga.

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status