Share

12. Musibah

🌸🌸🌸

Napasku tercekat. Seperti ada dua tangan yang menyekik leher. Tak kuhiraukan ponsel yang jatuh dari genggaman. Sambil memejam aku mengigit bibir bawah ini dengan kuat. Berharap apa yang baru saja kudengar adalah halusinasi. Rasa asin akibat setetes darah yang ikut masuk ke mulut menjadi pertanda, bahwa semuanya adalah nyata.

 

"Kak Sabir." 

 

Lirih aku menyebut nama itu. Lutut ini terasa lemas sehingga tidak mampu menopang badan. Tanpa sadar tubuhku luruh ke lantai.

 

"Kami bahkan belum saling memaafkan," sesalku nelangsa. Bibir ini mencebik. Tanpa bisa dicegah air mata pun mulai mengalir.

 

Samar-samar terdengar suara keributan dari luar. Bahkan sebuah lengkingan suara yang kuyakini milik Tante Santi terdengar amat jelas. Apa yang terjadi? Kak Sabiru pergi bermain futsal bersama Kara dan Dokter Tama. 

 

Aku harus kuat. Lekas pipi yang basah ini kuseka cepat dengan punggung tangan. Tangan ini menapak tembok. Aku berdiri untuk kemudian berjalan gontai ke luar kembali.

 

"Ada ... ada apa?" tanyaku parau. Mataku menatap nanar saat tiba di teras mendapati Tante Santi tengah terisak-isak di pundak Tara. Kedua putrinya Kinara dan Amara pun  sama tersedunya.

 

"Emmm ... apa Kak Bila belum tahu? Kalo mobil yang dikendarai oleh Bang Biru, Mbak Kiara dan Dokter Tama kecelakaan." Nasya bertanya juga menjawab pertanyaannya sendiri. 

 

Wajah gadis itu sendu saat menanyakan hal itu padaku. Tubuhnya terus saja bergerak karena Keanu tengah rewel. Bayi itu kini  mengapai-gapai wajahku. Keanu ingin digendong oleh ibunya.

 

"Kenapa taksinya belum datang-datang juga, Taraaa?" Terdengar Tante Santi berseru kesal. Wanita yang masih memakai daster santai itu tampak begitu kacau. Rambut berminyaknya ia cepol asal-asalan. Wajahnya sangat basah karena berlinang air mata. "Mama ingin lekas melihat keadaan Mbak kamu," ujar Tante Santi terlihat tidak sabaran.

 

"Sabar, Ma!" Tara menenangkan sang ibu dengan lembut. "Ini Tara udah telepon lagi kok supirnya."

 

"Andai Biru tidak ngajak Tama main futsal, mungkin Kiara dan calonnya masih baik-baik saja di rumah!" Tante Santi menggerutu kesal.

 

Wanita itu membecek-becek bajunya dengan gemas. Kecemasan yang teramat terlihat jelas pada raut ibu beranak empat itu. Aku hanya bisa membisu mendengar nada penyalahan yang ditunjukkan oleh Tante Santi untuk Kak Sabiru.

 

"Itu mobilnya datang!" Amara putri bungsu Tante Santi berseru.

 

Sebuah mobil jenis MPV berwarna hitam mendekat. Keluarga Tante Santi tanpa aba-aba langsung menghampiri tanpa memedulikan aku dan Nasya lagi. Semua berebut ingin masuk semua.

 

"Mbak Bila tidak ikut?" Tara yang hendak membuka pintu depan mobil bermerek Avanza itu menatapku. 

 

"Aku ikut," sahutku berseru cepat.

 

"Aku gimana dong?" dengkus Nasya memanyunkan bibir. Gadis itu tampak kesusahan mendiamkan tangisan Keanu.

 

"Tolong jaga rumah sebentar, Sya!" Kutatap mata gadis itu dengan penuh pengharapan. "Kita dilarang membawa bayi ke rumah sakit. Jadi tolong jaga Keanu sebentar, ya."

 

Mungkin karena mendengar sedikit penekanan dari suaraku, Nasya akhirnya mau mengiyakan. Walau mulutnya masih saja maju.

 

"Nabila cepaaat! Jadi ikut tidaaakk?!" Tante Santi berteriak tidak sabar.

 

"Iya, tungguuu!"

 

Usai menyahut teriakan Tante Santi terburu aku berlari masuk kamar. Rambut kusut yang tergulung jepitan plastik aku gerai. Kemudian merapikannya sekilas dengan sisir agar terlihat tidak berantakan. Sebuah blazer cokelat muda yang tergantung dalam lemari lekas aku sambar. Tidak lupa juga langsung meraih tas selempang yang terletak di nakas. Sembari melangkah cepat aku memakai blazer ini guna menutupi baju tidur yang masih melekat di badan ini.

 

"Titip Keanu ya, Sya! ASI ada di freezer."

 

Usai berpesan seperti itu aku mencium sekilas ubun-ubun Keanu yang terus saja meronta dalam gendongan Nasya. Kaki ini cepat kuderap menuju mobil. Seluruh keluarga Tante Santi sudah siap menunggu. Aku bahkan terpaksa duduk di jok belakang karena semua jok sudah dipenuhi oleh anak-anak wanita itu.

 

Di dalam mobil mulut Tante Santi terus saja bercerocos. Bibirnya tidak henti-henti menyalahkan Kak Sabiru atas insiden ini. Padahal kami belum tahu kronologi kejadian yang sebenarnya.

 

Supir taksi online ini menghentikan kendaraannya di depan pintu lobi rumah sakit Puri Indah. Gegas kami berlima turun dari mobil. Langkah kami tergesa menuju bagian informasi. Tara dengan tenang menanyakan tentang keberadaan kamar pasien. Petugas wanita dengan ramah memberitahu bahwa ketiga pasien masih berada di ruang ICU.

 

Kami semua lantas menuju lantai dua tempat ruang ICU berada. Berebut kami masuk lift. Berdesakan dengan para pengunjung rumah sakit lainnya. Tidak sampai lima menit pintu lift terbuka di lantai dua, bergegas kami ke luar bergantian dengan para pengguna lift lainnya.

 

Sepanjang koridor suara derap langkah kami terdengar begitu nyaring. Tidak ada yang bicara. Masing-masing hanya ingin cepat sampai untuk melihat keadaan para pasien.

 

Dari kejauhan terlihat Elma tengah duduk di bangku tunggu. Tante Mirna yang masih mengenakan jas putih kebanggaan tersedu pada pundak sang putri.

 

"Bagaimana keadaan anakku, Jeng?" tanya Tante Santi pada Tante Mirna.

 

Tante Mirna lekas menoleh pada calon besannya. "Yang sabar, ya," ucap Tante Mirna serak. Matanya telah basah. Wanita itu memeluk Tante Santi untuk menguatkan. Kedua wanita sebaya itu saling berpelukan.

 

"El, bisa ceritakan keadaan mereka yang sebenarnya?" pintaku pada Elma.

 

Elma mengangguk. Gadis itu menggeser posisi duduk agar menjauh dari ibu dan calon mertua sang kakak. Aku mengikuti dia. Kami duduk lumayan terpisah dari Tante Mirna dan keluarga Kiara.

 

"Mobil yang dikendarai oleh Biru ditabrak sebuah truk besar." Elma mulai bercerita. Matanya yang sedari tadi berkabut kini meleleh. Namun, isak tangisnya tidak terdengar. "Supir truk itu bilang dia dalam keadaan mengantuk. Sekarang dia dan papa sedang berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan," lanjut Elma parau.

 

Hatiku remuk mendengar itu. Sebuah truk besar menghantam mobil Kak Sabiru. Aku tidak bisa membayangkan kejadian tragis itu. Tanpa dikomando air mata ini luruh kembali.

 

"Bagaimana keadaan mereka?" Walau cukup syok, untungnya aku bisa tegar saat bertanya pada Elma.

 

"Mereka harus mendapatkan perawatan intensif," jawab Elma kian serak. "Bang Tama ... dia ...."

 

"Dia kenapa Elma?" selaku penasaran.

 

"Kondisi dia paling parah di antara ketiganya. Hiks!" Elma tidak kuat menahan beban kesedihan. Tangis gadis itu akhirnya meledak juga.

 

Melihat itu Tante Mirna mendekati sang putri. Wanita itu memeluk kemudian menciumi pucuk rambut putri bungsunya. 

 

"Aku takut Bang Tama tidak akan bangun lagi, Ma," ratap Elma terdengar memilukan.

 

"Sttt! Bicaralah yang baik! Tama pasti akan bangun," tutur Tante Mirna terdengar menyemangati sang putri. Walau terlihat wanita itu juga begitu sayu.

 

"Oh ... di sini aku yang paling menderita. Kiara dan Tama keduanya adalah anakku," raung Tante Santi terdengar melengking. Dia seolah menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya saja yang terluka. Tidak di mana-mana wanita itu memang selalu berlebihan. "Andai Biru tidak mengajak mereka pergi, pasti kedua anakku akan baik-baik saja. Mana mereka mau melangsungkan pernikahan."

 

Lagi Tante Santi menyalahkan Kak Sabiru. Aku sendiri diam tidak berkutik. Karena pada saat Kak Sabiru pergi aku masih terbuai mimpi. 

 

"Ini kenapa pintunya belum juga dibuka? Mama kan ingin melihat keadaan Kiara." Tante Santi mengomel lagi. Ketiga anaknya berusaha membujuk agar wanita itu menutup mulut.

 

Sebenarnya aku pun merasakan hal yang sama dengan Tante Santi. Ingin secepatnya melihat keadaan Kak Sabiru. Namun, peraturan mengharuskan kita boleh masuk sepuluh menit lagi.

 

"Bila!"

 

Zayn datang. Pemuda itu melangkah terburu ke arahku. Elma sendiri gegas berlari menghambur pada sang kekasih. Gadis itu menumpahkan kesedihan pada dada Zayn. Dan kulihat Zayn hanya membisu tanpa mau mengusap rambut Elma.

 

Pintu ruangan terbuka. Seorang perawat muda ke luar. Gadis bersafari serba putih itu memberi tahu jika pasien sudah boleh dijenguk. Namun, tidak boleh semua orang masuk. Harus bergantian. 

 

Semua yang ada di situ melengkungkan senyum senang. Lekas aku, Tante Santi, dan Tante Mirna masuk. Kami memakai baju khusus dulu dan mencuci tangan sebelum masuk ke ruang yang menurutku amat menyeramkan ini.

 

Ketika memasuki ruangan yang begitu sunyi dan dingin ini, hatiku berdebar hebat. Bayangan terkaparnya almarhum Kamila dulu kembali membayangi mata. Langkah ini terasa berat. Namun, aku ingin segera melihat keadaan Kak Sabiru.

 

Kak Sabiru terbaring di brankar paling ujung pada ruangan sunyi ini. Bulu kudukku meremang mendengar bunyi alat monitor jantung saat melewati ranjang Dokter Tama. Bunyi detak jantungnya terdengar sangat lemah. 

 

Sebenarnya ingin menengok, tetapi aku harus melihat keadaan suami sendiri dulu. Brankar Kiara terletak di antara Kak Sabiru dan Dokter Tama. Korden putih menjadi penyekat bagi mereka.

 

Tanganku bergetar ketika menyingkap korden putih ini. Seketika tubuhku membeku melihat Kak Sabiru terbujur lemah dengan banyak alamat di badan. Mulutnya terbuka untuk tempat masuknya selang oksigen. Sementara bunyi detak jantungnya juga terdengar lemah.

 

Tubuhku lemas. Rasanya ingin jatuh saja saat melihat orang yang kita sayang tengah sekarat seperti ini. Hati ini berdenyut nyeri melihat wajah mulus Kak Sabiru penuh luka.

 

"Kak Sabir." Lirih aku menyebut nama itu. Tentu saja suamiku tidak mendengarnya. Pria itu terus saja terpejam dengan dada yang kembang kempis.

 

Kuraih telapak tangan besar yang lengannya terlilit selang. Entah kenapa banyak sekali selang dan kabel pada tubuhnya. 

 

"Bertahanlah, Kak! Kamu harus secepatnya bangun." Aku berucap sembari mencium takzim tangan pria itu. Walau si empunya sedang tidak sadar. "Tidak bisa kubayangkan hidupku tanpamu. Keanu masih terlalu kecil, Kak," lanjutku dengan air matanya yang terus saja meluncur deras ke pipi. 

 

Setan apa yang merasuki hingga terlontar kalimat buruk seperti itu. Namun, demi melihat keadaan Kak Sabiru yang begitu memprihatinkan seperti ini, hatiku dilanda ketakutan yang teramat. Apalagi pertikaian kami belum terselesaikan.

 

"Aku akan menjadi ayah yang terbaik untuk Keanu, jika Biru tidak bangun lagi."

 

Aku menoleh. Zayn maju dan mendekat. Pemuda itu memandang wajah sang kakak dengan ekspresi datar.

 

"Zayn ... apa ... apa yang kamu bicarakan?" tanyaku sedikit tersinggung. Pemuda ini bukanya memberi ketenangan malah justru menakuti.

 

"Sudahlah ... lupakan!" potong Zayn cepat. "Aku cuma mau bilang kapan saja kamu butuh bahu bersandar aku akan selalu ada untukmu," lanjut Zayn terdengar tulus.

 

Jika aku seorang gadis seperti Elma mungkin aku akan terharu bahagia mendengar itu. Kenyataannya kini aku adalah kakak iparnya walau sebatas saudara tiri. 

 

Beban ketakutan dan kesedihan tidak bisa terbendung lagi. Pertahankanku jebol. Tangisku akhirnya meledak membayangkan Kak Sabiru terbujur kaku selamanya. Dan pada saat Zayn menawarkan dadanya, aku tidak bisa lagi menolak.

 

Next.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status