(POV Kiara)
Cemburu ... rasa yang sama sekali tidak nyaman. Rasa panas menyerang hati. Aku bisa gila setiap kali melihat kemesraan Sabiru dan Nabila. Tapi aku bisa berbuat apa? Mereka pasangan yang halal.
Bedak tipis yang tadi sudah kupoles perlahan luntur. Cemburu membakar hati menyebab peluh menampakkan diri dari pori-pori. Sial! Harusnya tadi aku tidak usah menyongsong kepulangan Sabiru. Sehingga tidak perlu menyaksikan kemesraan dia dengan istrinya.
Sebenarnya aku mewarisi sifat pendiam dan tenangnya Papa. Begitu juga Tara. Hanya saja semenjak cacat begini, aku mulai sukar mengontrol emosi. Sepertinya hormon kortisol dalam tubuh meningkat. Apalagi kemarin-kemarin Mama banyak mencuci otakku agar lekas merebut Sabiru dari tangan Nabila. Aku yang kalut dan labil tentu saja terprovokasi.
Semangat yang tadi begitu menggebu ingin makan malam bersama Sabiru mendadak pudar. Kini aku malas deng
(POV Sabiru)Hari yang menyenangkan. Nanti sore aku dan Nabila akan menghabiskan waktu berdua saja.Couple time.Keanu? Tentu saja bayi itu akan dititipkan pada Ibu Maryam, Ibu mertuaku. Momen yang sangat jarang dilakukan ini membuatku tidak ingin segera pulang.Selama setahun setengah pernikahanku dengan Nabila, bisa dihitung dengan jari kapan kami pergi berdua saja. Tidak sampai sepuluh kali. Itu pun dulu kebanyakan karena menemani dia periksa kandungan.Momen yang paling berkesan adalah saat kami pergi nonton bioskop bersama. Di mana waktu itu kandungan Nabila sudah memasuki masa kelahiran. Wanita keras kepala itu ngotot ingin pergi ke mall cukup dengan menaiki motor saja.Tadinya sempat ragu, tapi setelah dipikir tidak tega juga. Pasalnya di pernikahan pertama kami, jangankan meminta sesuatu. Nabila ngomong baik tanpa nada ketus merupakan momen langka. Se
"Bila ... kamu gak papa?!" tanyaku setengah berteriak.Karena tidak mendapat balasan, aku bergegas menyusul Nabila ke belakang. Kuketuk pintu kamar mandi."Pergilah, Kak! Jangan buat keluarga Kiara kecewa. Aku baik-baik saja kok," sahut Nabila dari dalam kamar mandi."Kamu yakin?" Aku memastikan."Iya. Pergilah!"Mendengar perintah Nabila yang bijak, aku tidak bisa lagi menahan. Dengan langkah gontai kutemui lagi Kiara dan adik-adiknya."Ayok kita berangkat!" ajakku lesu."Kak Bila?" Nasya memastikan keadaan kakaknya."Dia gak ikut," balasku lemah.Ogah-ogahan aku melangkah menuju mobil. Diriku kian kesal saat Amara membukakan pintu mobil depan untuk Kiara."Tara di depan bareng aku!" tegasku cepat.Tidak peduli Amara dan Kiara menekuk mukanya mendengar perintahku. Walau begitu mereka patu
(POV Sabiru)Tingkah aneh adik-adik Kiara semakin menjadi. Kinara dan Amara bagai cacing kepanasan. Mereka bergerak-gerak tidak jelas. Merasa kegerahan di ruangan bertemperatur rendah seperti ini."Aku mau ke kamar mandi!" seru Amara menggelegar. Gadis itu tampak begitu seksi selepas melepas blazer putih yang ia pake dari rumah. Kini ia hanya mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih ketat setinggi pusar. Secepat kilat dia berlari menuju toilet dalam resto ini. Bahkan sampai menabrak pengunjung lain yang berpapasan dengannya."Aku juga ah!" Kinara ikut bangkit dari duduknya. Dia pun terbirit menyusul adiknya ke toilet.Aku menggeleng heran.Ada apa dengan mereka? Kenapa adik-adik Kiara bertingkah aneh seperti ini?Kinara jauh lebih memalukan lagi. Urat nadinya seolah sudah putus. Gadis yang sehari-hari tampak kalem bahkan cenderung agak jutek s
(POV Sabiru)"Apa? Apa yang mesti kulakukan sekarang?" tanyaku putus asa. Kedua bocah itu mematikan ponselnya. Kusugar rambut ini dengan frustasi. Kenapa jadi rumit seperti ini?"Tenang, Biru! Aku akan melacaknya." Omongan Reza sedikit menyejukkan. Pasalnya aku tahu kalau Pemuda itu ahli di bidang otak-atik perangkat. Reza lantas mengeluarkan ponsel pintarnya dari dalam saku kemeja. "Kamu hapal email Tara atau adikmu?" tanya dia serius."Aku mana hapal," sahutku jujur. Seketika hatiku kembalidown. "Kamu hapal gak, Key, email adikmu?" tanyaku mengalihkan pandangan dari Reza ke Kiara."Enggak," jawab Kiara lemah."Wahhh ... susah kalau gitu!" Reza menukas, "masalahnya hape mereka mati," lanjutnya serius. Kami semua terdiam. Larut dalam kebingungan. "Ya udah cari di media sosial. Apa nama IG Tara?" Reza kembali bertanya.
(POVNabila)Kiara. Wanita itu tiba-tiba saja mengundang aku dan Kak Sabiru beserta Nasya untuk makan-makan. Dengan alasan merayakan keberhasilannya mampu melangkah. Juga gajian pertamanya Tara.Tentu saja ajakannya ditolak oleh Kak Sabiru. Karena kami memang akan menghabiskan waktu berdua saja. Couple time bahasa kerennya. Terlebih semenjak menikah ulang kami sangat jarang pergi berduaan. Momong badan istilahnya. Sekalian mengulang moment-moment indah kami.Makanya hari ini, Ibu sengaja kuundang ke rumah. Wanita itu akan kumintai tolong untuk menemani Keanu barang sebentar selama kami ke luar mencari angin.Raut wajah sedih Kiara saat mendengar penolakan dari Kak Sabiru membuatku iba. Aku tahu dia kecewa. Dan aku tak mau membuatnya bersedih. Walau dia kerap kali sering membuat jengkel. Namun, gadis itu sudah cukup menderita. Ditinggal mati oleh tunan
Kami tiba di rumah sakit saat pukul sembilan malam. Tidak banyak pengunjung. Alhamdulillah ... jadi tidak perlu menunggu terlalu lama.Ketika masuk ruang praktik dokter, aku langsung diperiksa. Tekanan darahku rendah. Juga banyak kekurangan cairan. Dokter menganjurkan agar rawat inap. Aku butuh diinfus katanya.Saat aku menolak dengan memilih rawat jalan, dokter tidak mengizinkan. Kata dokter keadaanku cukup lemah. Jika memaksa pulang setidaknya menunggu sampai tensi darah kembali normal. Akhirnya, mau tidak mau aku harus menginap di rumah sakit.Kak Sabiru memilihkan kamar kelas satu. Ruangannya cukup nyaman karena hanya ditempati sendiri. Tubuhku terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di pembuluh darah Vena yang terdapat di punggung tangan.Ketika Kak Sabiru menyuruhku untuk beristirahat, aku menggeleng. Mata ini sulit untuk dipejamkan. Otakku melayang terus memikirkan nasib Nasya.
Nasya tidak juga mau membuka pintu kamarnya, walau sudah berulang kali kuketuk. Bahkan sampai matahari condong ke arah barat, gadis itu tidak juga menampakkan diri. Sebagai seorang kakak tentu saja aku merasa khawatir.Nasya tidak pernah sesedih ini. Dia anak yang selalu ceria dan ceplas-ceplos. Karena sejak kecil selalu dimanja Ayah dan Ibunya. Berbeda denganku yang dulu kerap kali mendapat perlakuan yang berbeda.Nasya baru mau memperlihatkan batang hidungnya, setelah adzan magrib berkumandang. Itu pun cuma sebentar untuk membersihkan badan. Setelah itu dia kembali mengurung diri di kamar."Sya, ke luarlah! Kita makan malam bersama!" ajakku saat malam kian beranjak. Tanganku tidak henti mengetuk pintu kamarnya."Aku gak ikut makan malam, Kak. Gak lapar." Suara Nasya terdengar serak dari dalam kamarnya. Bertanda dia habis menangis lama.
Waktu berlalu dengan cepat. Satu purnama pasca putusnya hubungan Nasya dengan Tara, adik-adiknya Kiara jarang sekali berkunjung. Bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah lagi.Apalagi aku pernah mengharamkan kaki Kiara menginjak rumah. Hanya Rani saja yang sesekali mau main ke rumah. Meski begitu, justru Kak Sabiru yang menyambangi rumah mereka. Lelaki itu tetap berlaku baik kepada keluarga Kiara.Kak Sabiru masih menyantuni adik-adik Kiara. Membantu biayai pengobatan Tante Santi. Serta membayar gaji Rani.Aku sendiri tidak begitu mempermasalahkan. Karena memang sudah selayaknya kita saling membantu. Terlebih lagi Tante Santi sudah menjaga Kak Sabiru seperti anaknya sendiri sedari kecil.Kembali lagi kepada Nasya. Walau sekarang tidak seceria saat berpacaran dengan Tara, tetapi senyum gadis itu telah kembali. Hanya saja akhir-akhir ini kuperhatikan Nasya jadi sedikit pucat. Sering mengeluh pusing dan tida