Suasana gedung bertingkat Facade Architect yang ada di bilangan Jakarta siang itu terlihat tampak sibuk. Meskipun sudah ada puluhan staf yang bekerja di kantor tersebut, rupanya gedung yang memiliki konsep ‘feel like home’ itu terasa begitu nyaman.
Dengan langkah lunglai Cintara berjalan melewati pintu lobi lalu bergerak menuju ke lantai tujuh, tempat di mana ruangan Dante berada.“Clara, Dante ada?” tanya Cintara saat tiba di lantai tujuh.“Mbak Cintara? Ada, Mbak. Mau saya antar?”Cintara menggeleng. “Nggak usah, Cla. Saya langsung ke sana saja, ya.”Clara mengangguk lalu Cintara melangkah menuju ruangan Dante. Perempuan itu sempat menarik napas panjang, sebelum akhirnya tangan terangkat untuk mengetuk pintu ruangan Dante.Lalu, “Clara, bisa kamu kirimkan lapor—” Bibir Dante seketika terkatup rapat. “Ta?”Cintara meringis kecil. “Sibuk?”Dante kemudian menggeleng. “Ada apa? Kok nggak bilang dulu kalau mau ke sini?” Pria itu kemudian melangkah menuju meja kerjanya, fokusnya tertuju pada layar monitornya.“Te…” panggil Cintara lirih.“Hmm. Kenapa, Ta? Bentar ya, gue lagi mau ngecek laporan bentar.” Dante hanya bergumam tanpa mengalihkan tatapannya. “Lo mau ngomong apa sama gue? Gue sibuk banget hari ini. Sebentar lagi gue ada meeting. Terus ada laporan yang mesti gue cek dan lo tau kan kalo gue—"Cintara seketika merengut. “Apaan. Katanya selama-lamanya Cintara. Kok main menomorduakan gini sih, Te? Ya udah deh, kalau lo sibuk. Kapan-kapan aja!”Pria tampan yang tadinya sibuk menekuri layar monitor yang ada di hadapannya kini sudah menoleh sempurna ke arah Cintara yang tampak menggemaskan meskipun ia sedang merajuk."Lo sehat kan, Ta?" tanya Dante dengan kening mengernyit."Menurut lo?” sungut Cintara sebal.Dante terkekeh, kedua tangannya terselip ke saku celananya. "Lo tiba-tiba sok manja gini sama gue. Kenapa sih, Ta? Lo lagi ada masalah? Atau Habis putus sama cowok lo?"Pria itu lantas melagkah menghampiri Cintara yang masih saja berdiri sambil bersandar di meja kerjanya. Perempuan itu merengut sambil tangannya bersidekap, kesal karena tidak diperhatikan.“Maksud lo Niko yang otaknya cuma soal selangkangan doang itu?”“Siapa lagi? Terakhir kan lo bilang kalau lo habis jadian sama dia.”“Udah gue buang ke laut!” jawab Cintara dengan kesal.“Astaga, Ta. Lo gonta-ganti pacar udah kayak ganti celana dalam, deh,” sindir Dante. “Emang kenapa dianya, sih?”“Sering gue ganti celana dalam ya, daripada ganti pacar!” protes perempuan itu. “Ya pokoknya gue nggak suka aja sama dia.”Dante lantas mengerutkan keningnya sesaat. “Terus? Lo ngapain ke sini? Lo nggak nugas, gitu?”Cintara menarik napas lalu mengembuskannya dengan pelan. "Gue mau ngomong penting sama lo! Tapi kalau lo-nya malah menomorduakan gue gini… kan gue jadi males, Te,” ujarnya tak terima. “Apaan? Katanya ‘Selama-lamanya Cintara’, masa meeting lo lebih penting dibandingkan gue!"Dante tertegun selama beberapa saat. "Astaga, Ta. Lo lagi PMS apa gimana, sih?"Perempuan itu memilih diam."Apa lo habis dikejar-kejar nyokap buat kawin? Makanya jadi rewel gini?""Emangnya gue bayi?""Emangnya yang suka ngerengek-rengek gini kalau bukan bayi disebut apa?” kelakar Dante sembari terkekeh.Cintara sudah melotot tajam. "Tau ah, Te! Terserah, sana kalo lo mau meeting!" Dante membuang napas kasar. Ia melangkah mendekati meja kerjanya kemudian menekan tombol pada line telepon yang terhubung dengan sekretarisnya."Ya, Pak? Ada yang bisa dibantu?" tanya Clara di seberang sana."Meeting sore ini minta tolong untuk ditunda satu jam lagi ya, Ra. Saya masih ada urusan lain yang nggak bisa saya nomorduakan,” ujar Dante kemudian. "Baik, Bapak."“Thank you.”Setelah mengakhiri panggilannya dengan Clara, Dante kembali menghampiri Cintara. "Puas? Satu jam cukup?”Cintara yang tidak bisa menyembunyikan senyumannya seketika memalingkan wajahnya. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, terlebih saat Dante kini menatapnya.Mereka bertiga—Dante, Cintara, dan Kanaya—memang bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMA. Sifatnya yang manja dan menggemaskan selalu membuat Dante berperan sebagai pria yang melindungi kedua sahabatnya itu.Bahkan ketika kini mereka hampir menginjak usia kepala tiga. Meskipun mereka sangat jarang bertemu, lantaran profesi Cintara dan Kanaya sebagai pramugari. Namun rupanya mereka tak pernah absen untuk bertemu, terutama ketika Cintara dan Kanaya sedang berada di Jakarta.“Hubungan Kanaya sama Caraka udah direstui sama Om Mahesa dan Tante Sasi," ujar Cintara dengan lirih."I know. Terus?" tanya Dante dengan santai. Tampak biasa-biasa saja lantaran hubungan mereka sudah dikabarkan oleh Kanaya melalui grup W******p mereka.“Em…” Cintara menggigit bibirnya bagian dalam, tampak kebingungan saat tidak tahu harus memulainya dari mana.Dante menaikkan satu alisnya. Merasa gemas dengan tingkah aneh Cintara. Lalu, “Lo sejak tadi aneh lho, Ta? Gue jadi penasaran lo habis kesambet apa habis landing kemarin?" sindir Dante kepadanya."Enak aja! Gue masih waras, ya!" gerutu Cintara tak terima."Lalu apa, dong?" tanya Dante penasaran. “Lo lagi punya masalah?”Sementara Cintara masih diam.“Ta?” Dante lantas mendekati Cintara yang tampak bingung saat ini, lalu berdiri tepat di depan perempuan itu dengan satu tangan bersembunyi di balik kantong celananya. Sementara satu tangan lainnya mengusap wajah Cintara dengan lembut.“Nyokap mau jodohin gue kalau gue nggak pulang bawain calon mantu, Te,” cicit Cintara lirih. "Masalahnya gue nggak mau ada perjodohan itu. Kayak gue nggak laku aja, kan pake dijodoh-jodohin segala? Terus… gue—"Perempuan itu sengaja menggantung ucapannya lantaran tatapan tenang Dante sudah lebih dulu membuat hatinya kelimpungan. ‘Come on, Ta. Lo nggak gila, kan?’"Terus?"Cintara menghela napas pendek. “Ini kedengarannya aneh banget sih, Te. Tapi gue pengen nikah,” Perempuan itu menundukkan wajah dala-dalam. Lalu, “Sama lo, ya? Gue pengen ngajak lo nikah.”Dante yang mendengar ucapan Cintara seketika kehilangan kata-kata. Apa tadi Cintara bilang?"Lo barusan bilang apa, Ta?” tanya Dante memastikan lagi.Cintara mencebikkan bibirnya. "Lo udah punya pacar, ya? Nggak buru-buru banget sih, Te. Cuma minggu besok nyokap udah ngasih ultimatum kalau gue nggak pulang bawa calon mantu, gue bakalan dijodohin. Gue nggak mau, Te,” ucapnya sambil merengut, memohon kepada pria itu untuk mengerti maksud apa yang diucapkan barusan.Sementara Dante masih diam."Nggak harus lo jawab sekarang, kok. Cuma lo doang yang terlintas di kepala gue. Yah, meskipun gue juga nggak bisa bayangin gimana awkward-nya gue sama lo. Masa iya, teman tapi menikah? Lo… nggak mau, ya?"Cintara meraup wajahnya dengan gusar. Ia tampak kalut. Terlebih saat Dante kini menatapnya. Jenis tatapan yang sulit untuk diartikan oleh Cintara.“Te?” panggil Cintara. "Dante!"Baru panggilan kedua itu, Dante mengerjap. "Hm?""Nggak usah sebegitu lebay-nya deh, Te. Iya, ini emang aneh. Gue juga heran kenapa gue malah ngajak lo nikah! Maksud gue, ada banyak yang gue pertimbangin sebelum gue datang ke sini. Bahkan gue nggak bisa tidur semalaman cuma gara-gara ini tahu, nggak!” sungut Cintara."Kalau lo tanya kenapa gue milih lo ya… karena lo bisa ngehargain gue nggak kayak cowok-cowok lain yang otaknya cuma isi selangkangan doang, lo selalu bisa ngelindungin gue, dan cuma lo yang bisa nerima gue apa adanya. Pokoknya lo yang paling tau banyak tentang gue. Makanya satu-satunya orang yang ada di dalam kepala gue, cuma lo."Cintara mendesah panjang."Nggak buru-buru kok, Te. Lo pikir-pikir aja dulu. Gue masih ada waktu buat nunggu jawaban dari lo."Rasanya Cintara ingin sekali menenggelamkan diri ke lautan saja. Terlebih saat ia bisa membaca bagaimana ekspresi wajah Dante yang tampak terkejut dengan permintaan ajaibnya.***Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.“Sumpah ya, Ta! Lo pasti udah gila sekarang!”Cintara menjeduk-jedukkan kepalanya di atas meja bar. Rasanya ia sudah ingin tenggelam saja sekarang. Siang itu Despresso Coffee memang tampak lengang. Hanya ada beberapa bangku yang terisi, dan Cintara memilih untuk duduk di depan bar stool. Aktivitas barista di depan mesin kopinya selalu berhasil menarik perhatian perempuan itu.“Mau ditaruh mana muka lo sekarang, Cintara! Sumpah, ya! Lo nggak ngotak apa gimana?”“Kenapa sih, Ta?” Suara Caraka membuat Cintara yang kesal dengan dirinya sendiri sontak mengangkat kepalanya. Wajahnya manyun dengan rambutnya yang kini berantakan, menatap Caraka yang baru saja mengangsurkan secangkir kopi kepadanya.“Gue kayaknya udah gila deh, Car?”“Maksud lo?”“Lo punya kenalan dokter bedah nggak, Car? Gue pengen operasi plastik habis ini!”Caraka yang tidak mengerti maksud dari perkataan Cintara hanya bisa mengerutkan keningnya.“Ngg. Gue nggak tahu, Ta. Emang kenapa mau operasi plastik segala?”Cintara me
Cintara menggigit bibirnya bagian dalam sambil sesekali menoleh ke samping. Terkutuklah Kanaya yang punya segudang alasan untuk berkilah dan tidak mau mengantarnya pulang, padahal perempuan itu jelas-jelas berbohong."Pulang sama gue bisa kan, Ta? Kayak biasa lo sama siapa, sih?""Nggak gitu." Cintara menoleh ke arah Kanaya yang tampak tak acuh dengannya. "Gue—""Apaan sih, Ta? Bener tuh, kata Dante. Biasanya lo sama siapa? Gue mau kencan sama Caraka soalnya.”Dan lihatlah bagaimana liciknya Kanaya sekarang? Dalam hatinya ingin sekali ia mengumpat sejadi-jadinya. Jika seandainya tidak ada insiden lamaran tadi, barangkali Cintara akan dengan sukarela menerima tawaran itu. Tetapi situasinya kali ini sedikit berbeda.“Ta?”Cintara berjengit kaget, lalu menoleh dengan cepat. “Hm? Kenapa?”“Lagi mikirin apa, sih?” tanya Dante tanpa memalingkan wajahnya sama sekali dari depan.Keduanya sudah sedang dalam perjalanan menuju pulang.“Ngg… nggak ada, Te. Gue cuma… capek aja, sih.”Dante mengang
CINTARA masih tergamam di halaman depan rumahnya saat mendadak kepalanya terasa pening. Setelah memastikan mobil Dante menghilang dari pandangannya, perempuan itu duduk berjongkok dengan kedua tangannya yang memegang kepalanya. “Wah, lo kayaknya udah benar-benar gila deh, Ta. Lo barusan ngajak main-main sahabat lo sendiri? Lo perlu dibawa ke rumah sakit jiwa kayaknya deh, Ta,” ujarnya pada dirinya sendiri.Cintara hanya bisa mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia bertindak sekonyol itu? Bahkan hanya dengan melihat bagaimana reaksi yang ditunjukkan Dante padanya tadi, ingin rasanya Cintara tenggelam detik itu juga.Perempuan itu menarik napas pendek lalu mengembuskannya perlahan. Ia kemudian bangkit lalu melangkah menuju teras rumahnya. Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam saat Cintara tiba di rumah. Tubuhnya terasa lelah luar biasa, padahal ia sangat yakin tidak melakukan aktivitas apapun seharian ini.Cintara menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu rumahnya. “Assala
“Mandi terus istirahat ya, Ta.” Dante mengusap puncak kepala Cintara. “Gue balik dulu.”Setelah memastikan Cintara turun dari mobilnya, pria itu kemudian melajukan mobilnya meninggalkan komplek perumahan Cintara. Alih-alih langsung pulang, Dante menyempatkan diri untuk mampir ke rumah orang tuanya.“Mas? Lho, tumben mampir?" Kinnas yang baru saja melihat Dante muncul dari balik pintu rumahnya itu lantas berjalan menghampirinya."Mama kebiasaan deh, nggak pernah ngunci pintu!" gerutu Dante setelah mengecup pipi Kinnas.“Iya, ya? Mama lupa kayaknya, Mas. Tumben ke sini?”Dante berdecak pelan. “Kok dibilang tumben sih, Ma? Aku kan kangen sama Mama. Nggak boleh mampir, ya?" ujarnya beralasan.“Beneran kangen, kan? Atau… pasti ada maunya, nih?” Lalu Dante terkekeh. “Mau dibuatin teh hangat?”“Boleh, Ma.” Dante lantas berjalan mengekori Kinnas ke dapur, lalu menarik salah satu kursi bar stool yang ada di sana. “Rumah kok sepi banget, Ma? Zidny sama Papa ke mana?”“Kenapa? Kangen sama adik k
“WHAT! Lo gila, Nay?"Suara teriakan Cintara sontak membuat orang-orang di sekitar mereka lantas menoleh ke arah mereka. Dengan tatapan tajamnya, Cintara ingin sekali memaki Kanaya detik itu juga.Mereka baru saja landing di Jakarta usai melakukan penerbangan dari Bali. Keduanya memilih untuk menikmati kopi di kedai favorit seperti yang selalu dilakukan mereka sebelum bergegas untuk pulang.“Suara lo, Ta! Bisa-bisa kita diusir sama yang punya kafe tahu, nggak!”“Bodo amat! Lo gila, ya? Beneran lo obral gue?”Kanaya meringis tanpa rasa bersalah. “Lo bisa biasa nggak ekspresinya? Gue udah bilang sama lo waktu di Despresso Coffee tempo lalu, ya. Ya gue sebagai sahabat, pengennya bantu, Ta. Eh, betulan kecantol juga, dong.”Cintara meraup wajahnya dengan gusar, menatap heran pada Kanaya. “Terus? Gue mesti ngapain? Awas aja kalau sampai foto gue disalahgunakan sama orang, ya! Gue tuntut Diamond Group sampai bangkrut!”Kanaya mencebikkan bibir. Perempuan itu lantas menyodorkan ponselnya ke
“Ta, lo mandi apa pingsan, sih?”Suara Dante dari luar sana seketika membuat Cintara terlonjak kaget. Sudah hampir satu jam lamanya—padahal biasanya perempuan itu tidak pernah mandi selama itu, membuat Dante mendadak khawatir.Pria itu mengetuk pintu kamar mandi berulang kali. Lalu tak berselang lama, Cintara dengan rambutnya yang hampir kering keluar dari kamar mandi dengan tanpa sedikitpun rasa bersalah.“Apa sih, Te? Ganggu aja!” ujar Cintara dengan kedua tangannya yang menyisir rambutnya yang sudah kering.“Apa apa! Lo yang kenapa, Ta?”“Apa, sih? Emang gue kenapa?” tanya Cintara heran. Dante sudah lebih dulu menahan lengan Cintara hingga perempuan itu membalikkan badan dan kini keduanya saling berhadapan. “Nggak kayak biasanya lo mandi berjam-jam segala tahu, nggak. Lo sakit?” Tangan Dante terulur, punggung tangannya menyentuh kening Cintara. Namun perempuan itu justru menghindar."Apaan sih, Te? Nggak usah lebay, deh. Perasaan gue mandi cuma setengah jam doang deh!”“Setengah j
“CINTARAAAAAAAA, YA ALLAH, NAK! Kamu ini anak perawan jam segini belum bangun! Nggak malu sama ayam tetangga apa? Bangun, Ta! Itu ada Kanaya di depan rumah!”Mendengar suara teriakan Mama Elisa, Cintara kemudian meraih selimut untuk menutup seluruh tubuhnya lalu meraih bantal untuk menutup telinganya.“Ya Allah, Ta. Kalau kamu lagi nugas biasanya rajin banget. Kalau lagi libur gini kenapa malas banget, sih? Sebenarnya kamu kesurupan dari jin mana?” Mama Elisa lantas menarik selimut yang menutupi tubuh Cintara, membuat perempuan itu seketika melotot. “ASTAGA MAMAAAA! Mama lagi di kamarnya Cintara bukan lagi di hutan! Nggak bisa apa banguninnya kaleman dikit? Misal banguninnya pakai hati gitu, jangan pakai toa!” sembur Cintara kesal.“Kata siapa bukan hutan? Mana ada kamar kayak kapal pecah gini?! Astaga! Ini kenapa bisa kaos kaki kelempar sampai ke kolong, sih?” Mama Elisa mendengus pelan sembari meraih sepatu, kaos kaki, dan jaket milik Cintara yang berceceran di lantai. “Buruan bang
“Lo yakin ini acara kencan buta aman-aman aja kan, Nay? Awas aja kalau sampai aneh-aneh, ya!”“Aman kok, Ta. Gue udah kontak pihak Hellove juga tadi. Kalau nih, misal lo-nya kenapa-napa, pihak Hellove bakalan tanggung jawab sepenuhnya. Jadi lo nggak usah khawatir, okay?” Kanaya menoleh ke samping. “Kenapa? Lo gugup?”“Nggak bisa dibilang gugup, sih.” Cintara mendesah pelan lalu menurunkan kaca di depannya, memastikan penampilannya sudah sempurna. “Cuma ya… gue agak khawatir aja. Ini pengalaman pertama gue.”Mobil yang dikendarai mereka akhirnya tiba di salah satu restoran tempat Cintara dan Romeo melakukan janji. Perempuan itu menarik napas lalu menoleh ke arah Kanaya.“Gue turun, ya?”“Kasih tahu gue kalau lo udah kelar, gue tunggu di mobil, kok.”“Nggak usah kali, Nay. Lo balik aja. Katanya bokap lo lagi sakit, kan? Nggak mungkin juga lo malah keluyuran gini.”“Lo yakin?”Cintara mengangguk. “Iya! Bawel, deh! Pulang, gih!” Perempuan itu kemudian melepaskan seat belt yang melingkar d