Share

2. El Dante Arya Prabakesa

Suasana gedung bertingkat Facade Architect yang ada di bilangan Jakarta siang itu terlihat tampak sibuk. Meskipun sudah ada puluhan staf yang bekerja di kantor tersebut, rupanya gedung yang memiliki konsep ‘feel like home’ itu terasa begitu nyaman.

Dengan langkah lunglai Cintara berjalan melewati pintu lobi lalu bergerak menuju ke lantai tujuh, tempat di mana ruangan Dante berada.

“Clara, Dante ada?” tanya Cintara saat tiba di lantai tujuh.

“Mbak Cintara? Ada, Mbak. Mau saya antar?”

Cintara menggeleng. “Nggak usah, Cla. Saya langsung ke sana saja, ya.”

Clara mengangguk lalu Cintara melangkah menuju ruangan Dante. Perempuan itu sempat menarik napas panjang, sebelum akhirnya tangan terangkat untuk mengetuk pintu ruangan Dante.

Lalu, “Clara, bisa kamu kirimkan lapor—” Bibir Dante seketika terkatup rapat. “Ta?”

Cintara meringis kecil. “Sibuk?”

Dante kemudian menggeleng. “Ada apa? Kok nggak bilang dulu kalau mau ke sini?” Pria itu kemudian melangkah menuju meja kerjanya, fokusnya tertuju pada layar monitornya.

“Te…” panggil Cintara lirih.

“Hmm. Kenapa, Ta? Bentar ya, gue lagi mau ngecek laporan bentar.” Dante hanya bergumam tanpa mengalihkan tatapannya. “Lo mau ngomong apa sama gue? Gue sibuk banget hari ini. Sebentar lagi gue ada meeting. Terus ada laporan yang mesti gue cek dan lo tau kan kalo gue—"

Cintara seketika merengut. “Apaan. Katanya selama-lamanya Cintara. Kok main menomorduakan gini sih, Te? Ya udah deh, kalau lo sibuk. Kapan-kapan aja!”

Pria tampan yang tadinya sibuk menekuri layar monitor yang ada di hadapannya kini sudah menoleh sempurna ke arah Cintara yang tampak menggemaskan meskipun ia sedang merajuk.

"Lo sehat kan, Ta?" tanya Dante dengan kening mengernyit.

"Menurut lo?” sungut Cintara sebal.

Dante terkekeh, kedua tangannya terselip ke saku celananya. "Lo tiba-tiba sok manja gini sama gue. Kenapa sih, Ta? Lo lagi ada masalah? Atau Habis putus sama cowok lo?"

Pria itu lantas melagkah menghampiri Cintara yang masih saja berdiri sambil bersandar di meja kerjanya. Perempuan itu merengut sambil tangannya bersidekap, kesal karena tidak diperhatikan.

“Maksud lo Niko yang otaknya cuma soal selangkangan doang itu?”

“Siapa lagi? Terakhir kan lo bilang kalau lo habis jadian sama dia.”

“Udah gue buang ke laut!” jawab Cintara dengan kesal.

“Astaga, Ta. Lo gonta-ganti pacar udah kayak ganti celana dalam, deh,” sindir Dante. “Emang kenapa dianya, sih?”

“Sering gue ganti celana dalam ya, daripada ganti pacar!” protes perempuan itu. “Ya pokoknya gue nggak suka aja sama dia.”

Dante lantas mengerutkan keningnya sesaat. “Terus? Lo ngapain ke sini? Lo nggak nugas, gitu?”

Cintara menarik napas lalu mengembuskannya dengan pelan. "Gue mau ngomong penting sama lo! Tapi kalau lo-nya malah menomorduakan gue gini… kan gue jadi males, Te,” ujarnya tak terima. “Apaan? Katanya ‘Selama-lamanya Cintara’, masa meeting lo lebih penting dibandingkan gue!"

Dante tertegun selama beberapa saat. "Astaga, Ta. Lo lagi PMS apa gimana, sih?"

Perempuan itu memilih diam.

"Apa lo habis dikejar-kejar nyokap buat kawin? Makanya jadi rewel gini?"

"Emangnya gue bayi?"

"Emangnya yang suka ngerengek-rengek gini kalau bukan bayi disebut apa?” kelakar Dante sembari terkekeh.

Cintara sudah melotot tajam. "Tau ah, Te! Terserah, sana kalo lo mau meeting!" 

Dante membuang napas kasar. Ia melangkah mendekati meja kerjanya kemudian menekan tombol pada line telepon yang terhubung dengan sekretarisnya.

"Ya, Pak? Ada yang bisa dibantu?" tanya Clara di seberang sana.

"Meeting sore ini minta tolong untuk ditunda satu jam lagi ya, Ra. Saya masih ada urusan lain yang nggak bisa saya nomorduakan,” ujar Dante kemudian. 

"Baik, Bapak."

“Thank you.”

Setelah mengakhiri panggilannya dengan Clara, Dante kembali menghampiri Cintara. "Puas? Satu jam cukup?”

Cintara yang tidak bisa menyembunyikan senyumannya seketika memalingkan wajahnya. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, terlebih saat Dante kini menatapnya.

Mereka bertiga—Dante, Cintara, dan Kanaya—memang bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMA. Sifatnya yang manja dan menggemaskan selalu membuat Dante berperan sebagai pria yang melindungi kedua sahabatnya itu.

Bahkan ketika kini mereka hampir menginjak usia kepala tiga. Meskipun mereka sangat jarang bertemu, lantaran profesi Cintara dan Kanaya sebagai pramugari. Namun rupanya mereka tak pernah absen untuk bertemu, terutama ketika Cintara dan Kanaya sedang berada di Jakarta.

“Hubungan Kanaya sama Caraka udah direstui sama Om Mahesa dan Tante Sasi," ujar Cintara dengan lirih.

"I know. Terus?" tanya Dante dengan santai. Tampak biasa-biasa saja lantaran hubungan mereka sudah dikabarkan oleh Kanaya melalui grup W******p mereka.

“Em…” Cintara menggigit bibirnya bagian dalam, tampak kebingungan saat tidak tahu harus memulainya dari mana.

Dante menaikkan satu alisnya. Merasa gemas dengan tingkah aneh Cintara. Lalu, “Lo sejak tadi aneh lho, Ta? Gue jadi penasaran lo habis kesambet apa habis landing kemarin?" sindir Dante kepadanya.

"Enak aja! Gue masih waras, ya!" gerutu Cintara tak terima.

"Lalu apa, dong?" tanya Dante penasaran. “Lo lagi punya masalah?”

Sementara Cintara masih diam.

“Ta?” Dante lantas mendekati Cintara yang tampak bingung saat ini, lalu berdiri tepat di depan perempuan itu dengan satu tangan bersembunyi di balik kantong celananya. Sementara satu tangan lainnya mengusap wajah Cintara dengan lembut.

“Nyokap mau jodohin gue kalau gue nggak pulang bawain calon mantu, Te,” cicit Cintara lirih. "Masalahnya gue nggak mau ada perjodohan itu. Kayak gue nggak laku aja, kan pake dijodoh-jodohin segala? Terus… gue—"

Perempuan itu sengaja menggantung ucapannya lantaran tatapan tenang Dante sudah lebih dulu membuat hatinya kelimpungan. ‘Come on, Ta. Lo nggak gila, kan?’

"Terus?"

Cintara menghela napas pendek. “Ini kedengarannya aneh banget sih, Te. Tapi gue pengen nikah,” Perempuan itu menundukkan wajah dala-dalam. Lalu, “Sama lo, ya? Gue pengen ngajak lo nikah.”

Dante yang mendengar ucapan Cintara seketika kehilangan kata-kata. Apa tadi Cintara bilang?

"Lo barusan bilang apa, Ta?” tanya Dante memastikan lagi.

Cintara mencebikkan bibirnya. "Lo udah punya pacar, ya? Nggak buru-buru banget sih, Te. Cuma minggu besok nyokap udah ngasih ultimatum kalau gue nggak pulang bawa calon mantu, gue bakalan dijodohin. Gue nggak mau, Te,” ucapnya sambil merengut, memohon kepada pria itu untuk mengerti maksud apa yang diucapkan barusan.

Sementara Dante masih diam.

"Nggak harus lo jawab sekarang, kok. Cuma lo doang yang terlintas di kepala gue. Yah, meskipun gue juga nggak bisa bayangin gimana awkward-nya gue sama lo. Masa iya, teman tapi menikah? Lo… nggak mau, ya?"

Cintara meraup wajahnya dengan gusar. Ia tampak kalut. Terlebih saat Dante kini menatapnya. Jenis tatapan yang sulit untuk diartikan oleh Cintara.

“Te?” panggil Cintara. "Dante!"

Baru panggilan kedua itu, Dante mengerjap. "Hm?"

"Nggak usah sebegitu lebay-nya deh, Te. Iya, ini emang aneh. Gue juga heran kenapa gue malah ngajak lo nikah! Maksud gue, ada banyak yang gue pertimbangin sebelum gue datang ke sini. Bahkan gue nggak bisa tidur semalaman cuma gara-gara ini tahu, nggak!” sungut Cintara.

"Kalau lo tanya kenapa gue milih lo ya… karena lo bisa ngehargain gue nggak kayak cowok-cowok lain yang otaknya cuma isi selangkangan doang, lo selalu bisa ngelindungin gue, dan cuma lo yang bisa nerima gue apa adanya. Pokoknya lo yang paling tau banyak tentang gue. Makanya satu-satunya orang yang ada di dalam kepala gue, cuma lo."

Cintara mendesah panjang.

"Nggak buru-buru kok, Te. Lo pikir-pikir aja dulu. Gue masih ada waktu buat nunggu jawaban dari lo."

Rasanya Cintara ingin sekali menenggelamkan diri ke lautan saja. Terlebih saat ia bisa membaca bagaimana ekspresi wajah Dante yang tampak terkejut dengan permintaan ajaibnya.

***

Terima kasih sudah mampir dan membaca, ya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status