Menjadi seorang perempuan dengan karir cemerlang di dunia penerbangan, cantik, tinggi, pintar, dan menawan, nyatanya hal itu justru membuat Dia Cintara Naladhipa lemah dalam soal percintaan. Di usianya yang kini sudah menginjak hampir kepala tiga, Ratu Elizabeth alias Mama Elisa sedang gencar-gencarnya mencarikan jodoh untuk putri semata wayangnya.
Perempuan itu menundukkan wajah. Pandangannya fokus pada secangkir kopi yang ada di tangannya, sementara tangannya memegang ponsel di telinganya."Selamat ulang tahun, Ratunya Cintara! Semoga panjang umur, hidup selama-lamanya ya, Ma. Cintara nggak mau hidup sendirian pokoknya. Tolong doakan yang baik-baik juga untuk Anaknya Mama yang cantik ini, ya!”Mengingat bahwa hari ulang tahun sang ibu bertabrakan dengan jadwal bertugasnya, Cintara terpaksa menunda perayaan ulang tahun Mama Elisa. “Mama mau kado apa dari aku?” tanyanya lagi sembari menyesap kopinya dengan pelan."Makasih anak Mama yang begundal dan nakal. Tahun ini, Mama mintanya dikasih mantu ya, Ta!" ujar Elisa sambil tersenyum senang di seberang sana.Cintara seketika mendecak. "Dih, Mama! Nggak minta kado yang mahalan dikit, apa? Hermes kek, Gucci kek, Tiffany & Co kek. Ini malah minta mantu!" cecarnya gemas.Mama Elisa mendengus kesal di seberang sana. “Lho, emang ada yang salah sama permintaan Mama itu?!Usia kamu tuh, udah waktunya dibuahi, Ta! Itu 'barang' kalo nggak keburu dicelupin bisa buntu lama-lama!"Seketika mata Cintara membulat dengan sempurna. "Astaga, Ma! Ngomongnya kok nggak santai gini, sih? Nggak bisa ya, kaleman dikit gitu? Jangan heran kalau Cintara begini kelakuannya, bukan salah aku doang ya, Ma. Kan buah nggak jatuh jauh dari pohonnya!" ujar Cintara tak terima."Kamu pintar banget ya, Nak cari alasannya! Makanya kamu jadi cewek nggak usah sok polos gitu, deh! Mama lihat kamu simpan film nggak bener di laptop kamu, ya!" cecar Mama lagi.Mulut Cintara menganga lebar. “Mama kurang kerjaan banget ya, sampai-sampai laptopku aja Mama lihat-lihat isinya! Itu namanya nggak sopan, Mama!”“Sembarangan kalau ngomong! Mama nggak sengaja lihat, Ta. Salah siapa kamu nonton film begituan sampai ketiduran! Makanya besok-besok kalo mau nonton, dikunci pintu kamarnya. Kalo ketahuan Mama kan sama aja kamu merusak reputasi Mama! Bikin malu aja!” omel Mama Elisa di seberang sana.Cintara tidak habis pikir jika ibunya akan melihat kelakuan ‘buruknya’ kali ini. Meskipun tidak sepenuhnya benar tuduhan Mama Elisa, namun Cintara tidak bisa berkilah.Cintara masih mengingat jelas saat ia meminta Dante untuk mengunduhkan ‘film biru’ untuknya saat itu.“Te, gue minta film dewasa, dong Te!” pintanya waktu itu.“Film dewasa yang gimana sih, Ta?”“Lo nggak usah polos gitu deh, Te. Hobi tiap hari tebar benih gitu, masih sok nggak ngerti film dewasa itu apaan!”“Buat apa sih, Ta?”“Gue cuma penasaran doang, Te. Masa Kanaya bilangnya gue belum dewasa kalo belum nonton film begituan. Kan gue nggak terima jadinya!”Dante tergelak di seberang sana.“Buruan kirimin ya, Te. Gue udah penasaran banget, nih! Tapi yang biasa aja, jangan yang over, bisa berabe nanti kalau gue pengen jadinya.”“Itu namanya sex education, Ma.” Cintara masih berkelit. “Jangan suka suudzon, deh! Gini-gini putri kesayangan Mama ini masih perawan!" ujar Cintara memperjelas bagaimana statusnya."Mama nggak percaya! Jangan-jangan onderdilnya malah udah rusak duluan!”"Mama! Sama anak sendiri kok nuduhnya membabi buta gini, sih?! Mama sendiri loh, yang minta Cintara buat jaga diri. Giliran udah jaga diri, malah dituduh yang nggak-nggak!” sungut Cintara tak terima.“Makanya buruan nikah! Bawain Mama calon mantu idaman yang tampan, kaya, dan memesona!" ujar Mama kemudian."Yang mau kawin siapa sih kalo begini? Mama apa Cintara? Kenapa Mama yang justru nentuin aku mesti nikah sama cowok yang gimana! Kenapa nggak Mama yang nikah aja!"“Hush, ngomongnya itu loh, Ta. Kayak kamu mau punya Papa baru aja!” ucap Mama lagi.“Nanti biar aku yang nyariin jodoh buat Mama, jadi Mama nggak usah pusing-pusing mikirinnya.”“Minggu depan Pak Praba sama anaknya mau silaturahmi ke rumah. Sekarang tergantung kamu, Ta. Kalau minggu depan kamu nggak bawa calon mantu, ya mau nggak mau Mama bakalan tetap jalankan perjodohan yang kemarin Mama bilang!"Cintara membelalak. "Mama jangan aneh-aneh deh, Ma!” sembur Cintara yang suaranya hampir membuat semua orang yang ada di kedai kopi menoleh ke arahnya. “Kayak aku nggak laku aja! Aku tuh nggak ngenes-ngenes banget, kok. Emang selektif aja. Tolong ya, Ma digarisbawahi! Aku ini single berkelas. Harus dibedakan dong sama Jones!" selorohnya tak terima."Kalo ngenes, ya ngenes aja, Ta. Pokoknya Mama nggak mau tau. Mama kasih waktu seminggu, kalau kamu nggak bawa pulang calon mantu, Mama jodohin sama anaknya Pak Praba yang polisi itu!""Ogah! Aku nggak suka polisi, Ma! Pokoknya aku nggak mau Mama ribet pake jodoh-jodohin segala. Emangnya aku nggak bisa cari calon suami?""Lho, emang iya, kan! Kelakuan kamu yang bar-bar gitu mana ada cowok yang ngelirik, Cintara!" ujar Mama Elisa saking gemesnya dengan Cintara. "Mending kamu sama anaknya Pak Praba, udah punya pangkat, gajinya gede, kurang bangga apa coba kamu? Kamu bisa pensiun jadi pramugari sekalian!" sahut sang Mama."Hell no ya, Ma. Mama nyekolahin aku sampai jadi pramugari yang cantik tiada tandingannya kok tiba-tiba nyuruh pensiun! Usia pensiunku masih tiga puluhan! Dan aku nggak bakalan ngelepas kerjaan ini cuma gara-gara nikah! Titik!""Astaga, Cintara Naladhipa! Kamu nggak ngerti ya gimana khawatirnya Mama kayak apa? Udah ditinggal anak satu-satunya kerja jauh-jauh! Belum lagi kalo pesawatnya jatuh! Kamu nggak mikir gimana perasaan Mama, ya?!""Kok jadi Mama doain pesawat Cintara jatuh sih, Ma! By the way, maskapai Diva Air itu terkenal dengan kualitas pesawatnya yang bagus, ya! Kemungkinannya kecil aja kalo terjadi kecelakaan!" ujar Cintara tak terima.Mama mendecak di seberang sana. "Heh! Sejak kapan kamu jadi Tuhan!"Cintara melengos kesal. Perdebatannya dengan sang Ibu memang tidak akan pernah ada habisnya. Bersamaan dengan Kanaya yang tiba-tiba sudah muncul dari belakang dengan satu tangannya yang membawa kopi dingin."Iya, iya, Ma! Udah ah, Ma. Capek ngomong sama Mama. Udah jamnya boarding, nih! Berantemnya sambung nanti lagi ya, Mama Sayang!""Jangan lupa doa! Minta keselamatan sama jodoh sekalian! Minggu depan Mama tunggu jodohnya!”Mengembuskan napas dengan pelan, Cintara menoleh ke arah Kanaya yang kini sedang duduk menahan tawanya setelah mendengar pertengkaran Cintara dengan ibunya."Puas lo?” sembur Cintara pada sahabatnya."Habisnya nyokap lo tuh lucu, Ta. Gue gemes banget tahu nggak! Ya, wajar kalau nyokap lo pengen lo cepet-cepet nikah. She's a single parent, right? Khawatirnya kayak apa kalau Tante Elisa lihat kelakuan lo yang begini. Kebayang banget sih, gimana cemasnya nyokap lo! Makanya buruan cari jodoh!"Cintara mendelik ke arah Kanaya. “Kenapa lo jadi ngelanjutin ceramah nyokap gue, sih! Mentang-mentang yang sekarang hubungannya udah direstuin,” cibirnya. Cintara menarik napas pendek lalu menyesap kopinya sekali lagi. “Gue mesti bawa siapa dong, Nay? Mana gawat kalau gue nggak bawa calon mantu. Bisa-bisa beneran itu anak tetangga dijodohin sama gue!""Yang polisi itu? Ganteng, kan? Masih kurang apa lagi?""Dih! Gue nggak mau ya, dijodohin. Apalagi sama polisi. Seganteng-gantengnya polisi, cukup profesi gue aja yang suka kelayapan. Suami gue biar di rumah!""Gue juga bingung deh, Ta. Kenapa dulu kita jadi pramugari, ya? Padahal bakalan susah ke depannya kalau kita udah nikah. LDR-an tuh, nggak gampang. Gue bayangin Tante Yura sama Om Krisna aja udah ngeri. Salah jurusan deh kita, tuh!"Cintara mendengus malas. "Lo aja yang salah jurusan! Gue mah nggak. Gue bangga-bangga aja jadi pramugari. Udah diajak keliling dunia, dibayar pula. Nikmat mana yang mau lo dustakan, Nay?"Kanaya mendecak malas. "Terus lo mau bawa siapa?"Cintara mengedikkan bahunya dengan santai. "Entahlah. Ratu Elizabeth suka nekat soalnya, Nay. Gue nggak mungkin bawa Niko, dong? Gue sama doi baru seminggu yang lalu putus.""Hah? Kayaknya baru kemarin deh kalian jadian! Udah putus aja? Niko kenapa emangnya?"“Males gue! Laki yang otaknya cuma selangkangan doang gitu mana ada bagusnya, coba? Bikin males tahu, nggak!”"Maksud lo dia selingkuh?"Cintara menganggukkan kepalanya. "Minggu lalu, gue lihat dia make out sama cewek di Alexis Bar. Kan gue jadi jijik ngeliatnya. Makanya habis gue siram pake soda, gue langsung putusin aja dia!"Seketika tawa Kanaya pecah. “Lo ajaib banget sih jadi cewek, Ta. Lo kurang apa coba? Tapi ya, zaman sekarang cowok kalau nggak ujungnya ngajak bobo bareng, ya berarti dia homo, Ta.”“Oh jadi maksud lo, lo sama Caraka juga begitu?” Cintara mendecak. “Dasar orang gila!”Sementara Kanaya hanya tergelak. “Nggak lah. Ya meskipun gue udah pernah khilaf juga sih. Cuma ya, Caraka nggak sebrengsek Niko lah, Ta.” Kanaya terkekeh. “Makanya sesekali lo cari cowok yang beneran dikit kenapa, sih?”Cintara mendecak. “Ya kan gue nggak bisa tahu dia cowok benar apa nggak! Kalau tahu sejak awal mana mau gue!” Ia mendesah pelan. “Siapa dong? Ada ide nggak gue mesti bawa siapa?"Kanaya tampak berpikir sejenak. "Kenapa nggak lo bawa Dante aja, sih? Kan dia udah ganteng tuh, mana tajir, terus nyokap lo udah kenal pula sama dia?"Cintara menatap tajam ke arah Kanaya. "Hell no, ya! Gue nggak ada cita-cita buat nidurin sahabat sendiri! Temen lo gitu, Nay? Yang minimal gantengnya kayak Dante lah. Biar itu anak nggak banyak nyinyir juga.”Kanaya tertawa. “Ya itu kenapa nggak Dante aja? Nggak ada salahnya kok, Ta. Lo sama Dante kan udah sahabatan lama. Kalian udah kenal luar dalam. Kurang apanya, coba?"Cintara bergidik ngeri. "Ngebayangin tidur sama sahabat sendiri? Lo sinting! Nggak mau gue!"***Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan