“Sumpah ya, Ta! Lo pasti udah gila sekarang!”
Cintara menjeduk-jedukkan kepalanya di atas meja bar. Rasanya ia sudah ingin tenggelam saja sekarang. Siang itu Despresso Coffee memang tampak lengang. Hanya ada beberapa bangku yang terisi, dan Cintara memilih untuk duduk di depan bar stool. Aktivitas barista di depan mesin kopinya selalu berhasil menarik perhatian perempuan itu.“Mau ditaruh mana muka lo sekarang, Cintara! Sumpah, ya! Lo nggak ngotak apa gimana?”“Kenapa sih, Ta?” Suara Caraka membuat Cintara yang kesal dengan dirinya sendiri sontak mengangkat kepalanya. Wajahnya manyun dengan rambutnya yang kini berantakan, menatap Caraka yang baru saja mengangsurkan secangkir kopi kepadanya.“Gue kayaknya udah gila deh, Car?”“Maksud lo?”“Lo punya kenalan dokter bedah nggak, Car? Gue pengen operasi plastik habis ini!”Caraka yang tidak mengerti maksud dari perkataan Cintara hanya bisa mengerutkan keningnya.“Ngg. Gue nggak tahu, Ta. Emang kenapa mau operasi plastik segala?”Cintara mendengus pelan. Bersamaan dengan suara seseorang di belakang sana sudah lebih dulu menarik perhatian mereka.“Hai, Sayang!”“Nay? Jalan sendirian?”Kanaya mengangguk. “Iya.”“Teman kamu kenapa, sih?”Kanaya menoleh ke arah Cintara lalu terkekeh. “Jangan didengerin omongannya Cintara. Aku mau dibuatin kopi yang spesial, ya?”Caraka tersenyum kecil. “Oke. Tunggu bentar, ya.”Caraka berjalan menjauh. Membiarkan Cintara dan Kanaya duduk bersisian dengan menghadap meja bar. Namun tidak dengan tatapan Kanaya yang terlihat seperti tengah meledek.“Apa? Lo sekarang pengen ngetawain gue, kan? Gue tahu banget isi otak lo!” sembur Cintara tak terima.“Apaan sih, Ta? Kok jadi sewot gini lo sama gue? Gimana rasanya ngelamar sahabat sendiri tadi? Sukses?” tanya Kanaya sembari cekikikan.Dan karena ucapan itu, Cintara ingin sekali mengumpat sejadi-jadinya.“Ngelamar? Siapa yang dilamar? Cintara?” tanya Caraka sembari mengangsurkan kopi ke arah Kanaya.Dan detik itu juga tawa Kanaya pecah. Membuat Cintara ingin sekali menenggelamkan sisa-sisa harga diri dan rasa malunya.“Dia kenapa sih, Nay?” tanya Caraka penasaran. “Dari tadi kelakuan dia aneh banget. Mana tanya soal operasi plastik segala. Aku jadi khawatir, Nay.”“Jangan dipikirin, Car. Emang paling bener dia operasi plastik, sih.”“Apaan deh? Puas banget lo kayaknya ngeledek gue ya, Nay!” sembur Cintara tak terima.“Puas gimana? Kan gue lagi berbaik hati nanyain lo masih waras atau nggak?” Kanaya terkekeh lalu tatapannya tertoleh pada Caraka. “Dia barusan ngelamar Dante, Car,” ujarnya lagi, yang seketika mendapatkan pelototan dari Cintara.“Terus bagian mana yang salah, sih? Namanya juga emansipasi wanita, Ta," sahut Caraka dengan santai. "Nggak apa-apa, kok,” tambahnya diiringi dengan kekehan.“Masalahnya nggak gitu, Car.” Tawa Kanaya masih ada. “Kemarin gue ngasih solusi ke dia begitu, tapi lo tau jawabannya apa? ‘Hell no, ya, gue nggak ada cita-cita nikahin sahabat sendiri! Ngebayangin tidur sama dia aja nggak ada dalam bayangan gue’,” tutur Kanaya sambil mengikuti bagaimana Cintara kemarin mengucapkannya. “Taunya nekat beneran tadi.”"Cecar terooooooos! Puas lo ya berdua ketawanya!”“Habisnya lo pakai gengsi segala. Kemarin aja lo bilang nggak mau. Sekarang lo nekat juga, kan?”“Nggak gitu! Masalahnya tuh… nyokap gue nyinyir mulu, Nay. Gue ngerasa kayak gue mau dicabut nyawanya tahu, nggak!”“Lebay!” Kanaya terkekeh. “Terus Dante jawab apa?”Cintara memanyunkan wajahnya dengan kesal. “Boro-boro dia ngasih jawaban! Kayaknya gue udah ditolak, deh! Dia sama sekali nggak ngomong apa-apa ke gue. Dia juga nggak nahan gue pas mau pergi. Gila, kan? Dia cuma—ah sudahlah, seumur-umur gue nggak pernah menyesali tingkah gue. Baru kali ini aja gue ngerasa ‘like a bitch’! Mau ditaruh mana muka gue setelah ini, Nay?” ujar Cintara sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Kanaya semakin tergelak.“Mana habis itu, dia sama sekali nggak ngehubungin gue pula. Sumpah, ya! Ini kalau kepala gue jedotin ke sini, kira-kira bisa amnesia nggak, sih?” Cintara menjedukkan kepalanya di atas meja bar. “Kalau tahu bakalan kayak gini, gue nggak bakalan nerima ide lo kemarin!” gerutunya tak terima.“Ta, Ta, gokil banget sih lo! Padahal kemarin gue cuma ngasal doang. Cuma ya… menurut gue cuma Dante doang yang sesuai dengan kriteria yang lo ajuin. Dante kurang apa, coba? Selama ini dia ngelindungin lo, tau jelek-jeleknya lo, dan bisa jadi dia juga bisa nerima lo apa adanya.” Kanaya kembali tertawa, “Tapi kalau endingnya Dante nggak kasih jawaban gini, kok lo jadi apes gini sih, Ta?”Demi Tuhan, Cintara ingin melenyapkan Kanaya dan Caraka saat ini juga.“Terserah lo deh, Nay! Males gue!”“Kali aja si Dante masih syok, Ta. Dia kan cowok, biasanya dia yang ngelamar cewek. Pas tahunya lo datang ngelamar dia, gimana dia nggak kaget, coba? Mungkin nih, kalau dia punya riwayat jantung, dia udah koma sekarang,” kelakar Caraka dengan tawa yang semakin menjadi.“Damn you, Car!” sembur Cintara.“Iya, bener deh yang dibilang Caraka. Apa dia jangan-jangan udah punya cewek, Ta?”“Masa, sih? Kayaknya belum deh, Nay. Kan dia selalu update di grup kalau dia punya cewek atau minimal dia bakalan koar-koar kalau lagi kencan sama cewek. Sekarang kan, dia lagi dikejar-kejar sama model iklan sabun bohongan itu. Cuma Dante-nya nggak mau,” ujar Cintara menjelaskan."Bukan karena dia yang masih setia nungguin Sky, kan?"Cintara mengedikkan bahunya dengan santai. "Iya kali. Dia kalau soal Sky jarang terbuka sama kita. Apa gara-gara Sky-nya nolak dia, ya?""Seganteng Dante coba ditolak? Kurang apa coba itu makhluk Tuhan?" kelakar Kanaya heran."Ye, kan Sky-nya udah ada cowoknya!""Siapa?” tanya Kanaya. “Si hutan Rimba itu?" Cintara menganggukkan kepalanya sembari menyesap pandan coffee-nya. "Bukannya udah meninggal, ya?"“Entahlah.”Ada hening selama beberapa saat. Keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing sembari menikmati suasana kafe yang tampak lengang.“Ta…”“Hm? Kenapa?”"Lo nggak usah lebay gini, deh. Gue udah ada plan B buat lo, kok."Cintara mengerutkan keningnya. “Plan B? Maksud lo?”Kanaya tersenyum lebar. “Gue udah daftarin lo di aplikasi HELLOVE, Ta. Kali aja nanti ada yang match sama lo. Lumayan, kan bisa lo bawa ke rumah buat nemuin nyokap lo."Sontak Cintara membelalak. "ASTAGA, NAY! Please, lo jangan bikin gue tambah stress deh!” sembur Cintara. “Lo jadi sahabat kenapa bisa segila ini, sih? Masa temen sendiri lo obral di aplikasi nggak jelas gini!”“Nggak diobral juga, Ta.” Kanaya menghela napas. “Tenang aja. HELLOVE aplikasi terpercaya, kok. Nggak bakalan lo kenapa-napa. Jadi lo tenang aja. Okay?”“Gimana gue bisa tenang? Kalau nyokap gue tahu lo ngobral gue di aplikasi nggak bener, apa lo nggak dicincang, hah?"Sementara Kanaya hanya tergelak. “Nggak akan lah! Asal lo nggak ngember aja ya, kan? Kan nyokap lo tahu kalau gue ini sahabat paling baik versi nyokap lo,” kekeh Kanaya.“Dih! Sok banget?”“By the way, Ta…”“Hm? Apa?”“Makanan favorit Dante apa?”“Sate ayam, batagor, siomay, gado-gado, apapun makanannya asal ada saus kacangnya. Tapi dia alergi bawang goreng.”“Kopi favorit Dante?”“Cappuccino, double shot espresso, no sugar.”“Tempat favorit Dante?”“Kantornya.”“Genre film favorit Dante?”“Action, dan dia nggak suka sama film horor, sama kayak gue.”“Kalau—”Cintara membelalak. “Stop!! Kenapa sih lo nanya-nanya soal Dante? Kurang puas lo ketawain gue. Bisa nggak, sih nggak usah ngebahas dia dulu? Nggak ada empatinya lo sama gue!”Kanaya tertawa. “Lo sebegini hapalnya kesukaan Dante, Ta. Kalian yakin nggak punya chemistry satu sama lain? Kali aja beneran jodoh, kan?”“Heh, yang tahu beginian bukan cuma gue kali, Nay. Bukannya lo juga tahu?”“Nggak sedetail lo, lah Ta. Kita emang sahabatan, tapi intensitas gue sama kalian kan, nggak sama. Apalagi lo sama Dante tetanggaan.”“Nggak kebayang gue nikah sama sahabat sendiri, terus satu komplek pula. Nikahan kita bakalan hemat kali, ya?”“Tapi Dante keren ya, Ta?” sahut Caraka tiba-tiba.Cintara melirik ke arah Caraka. “Keren gimana maksud lo?”“Dante dengan kantornya yang sekarang? Kalian tahu kalau Dante memulai semuanya dari nol. Apalagi semua bangunan yang disentuh sama dia, ajaib jadinya. Lo lihat sendiri gimana gedung kantornya sendiri, kan?”“Kalo itu mah, udah cita-cita dia sejak SMP, Car. Dia emang sejak kecil punya cita-cita pengen jadi arsitek. Gambaran dia aja bagus-bagus. Terlepas dengan kegilaan yang barusan gue lakuin hari ini, gue bangga sama Dante. Facade Architect bisa sebesar sekarang nggak lepas dari usaha Dante.”“Jangan lupa juga, dia sempat tinggal kelas pas SMP.”“Serius, Nay?” tanya Caraka tak percaya.“Iya, dua tahun malah dia nggak naik kelas. Tapi ya, kita bisa lihat kayak apa dia sekarang, kan?""Yep. Gue bangga banget sama—"“Bangga sama siapa?”Suara vokal seorang pria sontak membuat Cintara dan Kanaya menoleh cepat lalu Cintara mengumpat lirih.“Hai, Te! Lama banget nggak nongol ke sini? Sibuk, ya?” sapa Caraka kemudian.“Iya, nih! Rame?”“Lumayan. Kalo siang ya gini, bisalah gosipin lo sama mereka berdua,” ujar Caraka sambil mengedikkan dagunya ke arah kedua perempuan itu.Sontak Cintara melotot ke arah Caraka, sementara pria itu hanya menyengir tanpa rasa bersalah.“Mau minum apa?” tanya Caraka lagi.“Cappuccino, double shot espresso, no sugar,” ucapnya sama persis dengan apa yang dikatakan Cintara tadi.Kemudian pria itu menarik kursi tepat di sebelah kiri Cintara, sementara Kanaya duduk di sebelah kanan perempuan itu. Jadi sekarang Cintara diapit oleh keduanya.“Gue pikir lo sibuk, Te, makanya gue nggak ngajak-ngajak. Soalnya Cintara tadi bilang kalo lo lagi meeting,” ucap Kanaya kemudian.Cintara menoleh dengan cepat. “Sejak kapan gue bilang begitu?” sahut perempuan itu.“Iya, tadinya gitu, kerjaan lagi hectic dan nggak bisa gue tinggal gitu aja. Tapi meeting gue percepat. Baru habis itu gue ke sini,” ucap Dante sambil menerima uluran kopi dari Caraka. “Tiba-tiba aja gue nggak konsen sama kerjaan gara-gara omongan sahabat lo, Nay.”“Emang dia ngomong apa sama lo, Te?”Dan detik itu juga, Cintara ingin menenggelamkan Kanaya bersamanya.***Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan