"Ayah, Rohan sudah datang," Binar berucap setelah membukakan pintu untuk seorang pemuda."Sudah? Ajak dulu kemari untuk makan bersama kita," sahut Ali."Ayo masuk. Kita baru akan berangkat setelah makan siang," ajak Binar kepada pria di depannya."Aku baru saja makan... tapi masih ada ruang kosong di perut," kata pria yang dipanggil Rohan oleh Binar tadi.Mereka berdua—Binar dan Rohan—menuju ke meja makan. Di sana Ali dan Zahir sudah mengisi piring mereka dengan nasi dan lauk."Selamat siang, Paman.""Ayo duduk dan makan bersama kami. Sudah lama kamu tidak kemari," pinta Ali kepada Rohan."Akhir-akhir ini aku cukup sibuk jadi tidak bisa berkunjung." Rohan duduk di seberang kursi Zahir kemudian menatap Zahir lalu mengangguk kecil."Sibuk bermain bersama teman-teman barumu di universitas maksudnya? Dasar anak ini," Ali menatap Rohan yang tengah menatap Zahir. "Ah! Ini Zahir, putra dari sahabat baikku.""Halo, saya Zahir," kata Zahir sembari mengulurkan tangan."Zahir, ini keponakanku. A
"Kamu jadi pergi sore ini?" tanya seorang perempuan dengan rambut sebahu yang mulai memutih nyaris di seluruh bagian. Pertanyaan itu dibalas anggukan oleh Zahir, remaja laki-laki yang bulan depan akan menginjak usia delapan belas. Saat ini dia sedang menyisir rambutnya ke kiri sembari menatap pantulan dirinya di cermin berornamen bunga teratai pada bagian atas dan bawahnya. Sesekali Zahir menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada bagian rambutnya yang terlihat aneh. "Jangan lupa sampaikan kalau Nenek baru bisa ke sana minggu depan," lanjut perempuan tadi. Zahir memutar badannya menghadap perempuan yang memanggil dirinya Nenek lalu menyahut, "Ada lagi yang tidak boleh aku lupakan?" Sang nenek terkekeh lalu menepuk pinggang Zahir. Zahir membalasnya dengan senyuman. Sepertinya sang nenek lupa kalau ia sudah mengatakan hal itu tidak kurang dari lima kali hari ini. Zahir menghela napas dan bergumam dalam hati, harusnya ia yang berkali-kali mengingatkan ini dan itu untuk sang nene
Zahir beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju pintu bus bagian depan. Tangannya bertumpu bergantian di ujung bangku untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Sang sopir menginjak rem agar kecepatan bus menurun hingga berhenti tepat di halte tujuan Zahir. Pemuda itu melangkah turun kemudian mengembalikan posisi ransel ke punggungnya. Ia tidak meninggalkan halte begitu saja. Ia menunggu dua sosok yang ia lihat tadi dan berencana untuk ke tempat tujuan bersama-sama. Zahir melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setidaknya ia menghabiskan waktu hampir dua jam di dalam bus. Lalu tepat saat matahari turun dari peraduan dan nyaris tenggelam, Zahir melihat dua orang yang ia nanti di ujung jalan. Keduanya terlihat seolah datang dari kuningnya cakrawala. Beberapa belas langkah kemudian mereka sudah nyaris tiba di depan Zahir. Dengan senyuman yang mengembang Zahir berjalan menghampiri dua orang tadi sembari melambaikan tangan kanannya."Pak Ali!
“Baik sekali Tuhan kepadaku. Ia mempertemukan aku kembali dengan Januar dalam wujud yang lebih muda,” suara serak Ali kembali mengisi perbincangan. Zahir dan Binar serentak menoleh ke arah Ali. Manik mata mereka menemukan Ali yang sudut punggungnya mulai mengecil. Barangkali usia sudah menambahkan beban di sana hingga tubuh lelaki itu sedikit demi sedikit membungkuk setiap harinya.Berbeda dari perbincangan sebelumnya, Ali saat ini terlihat lebih penuh emosi. Semilir angin jelang malam semakin membuat suasana sore itu menjadi sendu. Ali menatap Zahir dalam dan nanar. Berbeda dengan bibir keriputnya yang tersenyum lebar. “Aku merasa sangat yakin aku dan Januar saling melemparkan candaan. Ternyata sekarang cuma tinggal aku.”Zahir hanya menunduk. Bukan cuma dirinya yang kehilangan. Pria di depannya ini pasti tidak kalah kehilangan atas kepergian Januar. Sebab Ali dan Januar sudah bersama tidak kurang dari 30 tahun. Zahir tersenyum getir. Menenangkan hatinya yang
Ali keluar dari kamarnya yang berada dia langkah dari tangga dengan segerombol kunci berwarna emas serta gantungan berbentuk menara. Ia memerhatikan Binar yang masih berdiri di depan pintu dan Zahir yang baru masuk sambil sibuk memasukkan sesuatu ke dalam ransel cokelatnya."Binar, bagaimana kalau setelah ini kamu langsung ke rumah Tante Ana? Ayah akan menyiapkan segalanya di atap," kata Ali.Binar menoleh ke arah sumber suara lalu langsung berlari dan berhenti tepat di depan sang ayah. "Jadi kita betulan akan makan di atap lagi?" tanya Binar dengan mata yang senada dengan namanya.Ali mengangguk, "Untuk merayakan kedatangan tamu istimewa sekaligus mencoba meja dan lampu baru yang Ayah selesaikan kemarin.""Mau aku bantu dulu sebelum aku mengambil makanan di rumah Tante?" "Tidak ada yang perlu dibantu di atas sana. Justru kamu yang butuh dibantu...," geleng Ali lalu mengarahkan matanya ke Zahir yang baru saja sampai di samping Binar. "..., kalian pergi
"Ternyata dulu saya lumayan memalukan," kata Zahir."Memalukan tapi pasti sangat membekas di ingatan," sahut Ana sambil membimbing Zahir menuju ke meja makan.Di atas sana sudah bertengger beberapa susun kotak yang memuat sekira empat jenis lauk. Di ujung paling kiri meja terdapat wadah bening yang menampilkan sayuran segar siap santap. "Kalau tahu kamu akan datang pasti aku memasak lebih banyak lagi." Ana melepaskan pegangannya dari lengan Zahir untuk kemudian memasukkan wadah berisi makanan di meja itu ke dalam tiga buah kantong berbahan kain agar lebih mudah dibawa. Zahir turut membantu Ana menyusun kotak-kotak itu untuk memperingan pekerjaan Ana.Sementara Zahir dan Ana menata makanan ke dalam kantong, Zahir tidak menemukan sosok Binar bersama mereka. Ia menoleh ke segala arah untuk mencari di mana Binar."Binar sedang ada urusan sebentar. Mungkin lima menit lagi dia akan kembali," kata Ana yang seolah memahami kebingungan Zahir hanya lewat bahasa
Ali sibuk menata piring dan gelas di atas papan kayu berukuran 2x3 meter. Papan kayu itu disangga oleh tujuh kaki yang tersebar di setiap sudut dan di tengah papan. Karpet berwarna marun menutupi papan itu. Begitu kontras dengan segala sesuatu di atap yang memiliki warna membumi. Deretan lampu bertiang kayu tersebar mengelilingi atap yang begitu lapang. Ali sengaja memilih warna jingga untuk penerangan agar tidak terlalu kuat melawan gelapnya malam. Supaya ketika siapapun berada di sana pada malam hari ia masih bisa menemukan kegelapan di dekat mereka. Tidak ada yang paling memahami gelap selain terang dan sebaliknya. Dengan catatan mereka harus juga mau agak mengalah kepada yang lain."Ayah," suara seorang perempuan membangunkan Ali dari konsentrasinya mengatur berbagai perkakas."Kalian sudah kembali?" Ali menghampiri tiga orang yang baru saja datang dengan banyak jinjingan di tangan mereka.Ali berniat membantu meringankan beban bawaan mereka yang baru saja
Beberapa piring sudah kehabisan muatan karena dipindahkan ke dalam perut dua laki-laki dan dua perempuan. Hanya tersisa sebagian kecil makanan dan air minum yang sudah hampir mencapai dasar gelas. Masih di tempat yang sama dengan beralaskan balai-balai Ali, Ana, Binar, dan Zahir sudah mengenyangkan perut masing-masing."Ayamnya nikmat sekali," kata Ali."Memangnya lidah Kakak pernah merasakan tidak enak saat memakan ayam panggang yang aku buat?" Ana menaikkan sudut kiri bibirnya sambil melirik Ali."Tapi ayam malam ini memang terasa lebih enak dibandingkan sebelum-sebelumnya," Binar membela sang ayah.Binar menyandarkan kepalanya di bahu Ana. Sementara tangannya masih berusaha merogoh sebungkus keripik kentang yang hanya tinggal remahannya saja."Oh begitu? Jadi maksudnya kamu mau dibuatkan ayam panggang lagi besok?" kata Ana yang tangannya sudah berada di puncak kepala Binar.Binar mengernyih mendengar tebakan Ana. Sangat tepat sasaran.Zahir memerh