Beranda / Romansa / Temaram Hilang Binar / Atas dan Bawah Atap II

Share

Atas dan Bawah Atap II

Penulis: Metathea
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-23 14:18:07

"Ternyata dulu saya lumayan memalukan," kata Zahir.

"Memalukan tapi pasti sangat membekas di ingatan," sahut Ana sambil membimbing Zahir menuju ke meja makan.

Di atas sana sudah bertengger beberapa susun kotak yang memuat sekira empat jenis lauk. Di ujung paling kiri meja terdapat wadah bening yang menampilkan sayuran segar siap santap.

"Kalau tahu kamu akan datang pasti aku memasak lebih banyak lagi."

Ana melepaskan pegangannya dari lengan Zahir untuk kemudian memasukkan wadah berisi makanan di meja itu ke dalam tiga buah kantong berbahan kain agar lebih mudah dibawa. Zahir turut membantu Ana menyusun kotak-kotak itu untuk memperingan pekerjaan Ana.

Sementara Zahir dan Ana menata makanan ke dalam kantong, Zahir tidak menemukan sosok Binar bersama mereka. Ia menoleh ke segala arah untuk mencari di mana Binar.

"Binar sedang ada urusan sebentar. Mungkin lima menit lagi dia akan kembali," kata Ana yang seolah memahami kebingungan Zahir hanya lewat bahasa tubuh pemuda itu.

"Ah, iya," jawab Zahir singkat.

Zahir tidak lagi mempertanyakan perihal Binar di dalam kepalanya. Ia pikir mungkin saja Binar sedang ke toilet untuk menyelesaikan sebuah 'urusan'. Sepertinya tidak perlu meminta izin atau semacamnya untuk pergi ke toilet karena mereka adalah keluarga.

"Coba ini," kata Ana sambil menyodorkan sebuah makanan ke depan mulut Zahir.

Zahir tidak sempat mengamati dengan jelas makanan apa yang Ana berikan. Ia langsung membuka mulut dan mulai mengunyah benda lembut itu. Rasa manis yang dominan dan serangan sedikit asam menyegarkan serta aroma kacang yang melekat di langit-langit mulut memenuhi mulut Zahir. Ia mengangguk mengakui kelezatan makanan yang Ana suapkan.

"Enak sekali! Sepertinya saya baru pertama kali mencoba kue ini," kata Zahir yang mulutnya masih sedikit menyisakan kunyahan kue yang belum tertelan.

"Akan jauh lebih enak lagi kalau kamu memakannya bersama dengan teh hangat. Aku beri satu lagi saja sekarang. Nanti kita makan lagi setelah sampai di rumah Binar," Ana memberikan satu lagi kue yang sama.

Zahir menerimanya kemudian mengamati bentuk kue yang cukup unik di matanya. Berwarna cokelat keemasan dengan bentuk agak pipih dan menyerupai cangkang kerang.

"Namanya madeleine. Kamu pernah dengar, kan?" jelas Ana.

"Ah, jadi ini kue madeleine. Saya cuma pernah mendengar namanya."

Zahir menggigit setengah madeleine hingga ia bisa melihat bagian dalamnya yang berwarna kuning muda. Jika dilihat seperti ini Zahir menganggap kue itu mirip dengan matahari yang pernah ia gambar dahulu. Bercahaya di tengahnya dan dikelilingi cahaya yang sedikit gelap tapi tidak kalah berkilau.

"Maaf aku agak lama," suara Binar muncul seiring dengan kedatangannya dari arah ruang tamu.

"Sudah selesai? Haruskah kita berangkat sekarang?" tanya Ana.

Ia mengangkat salah satu kantong dilanjutkan dengan Zahir yang mengangkat kantong lainnya setelah ia selesai melahap madeleine. Binar juga menjinjing satu sisa kantong.

"Apa kita tidak menunggu Rohan datang dulu?" tanya Binar sambil memposisikan bagian tali pengait kantong agar nyaman untuk ia jinjing.

"Dia sudah datang dari tadi. Kamu tidak melihatnya tadi?" Ana terlebih dahulu melangkahkan kakinya membimbing Zahir dan Binar keluar rumah.

"Aku tidak melihat dia. Dia tidak pergi lagi, kan?" tanya Binar lagi.

"Pasti dia sedang tidur di kamar sebelah. Sepertinya Rohan agak lelah karena membantuku membereskan gudang siang hingga sore tadi."

Binar dan Zahir ikut melangkah keluar rumah dengan Ana. Mereka bertiga meninggalkan kediaman Ana.

"Rohan? Apa dia juga akan ikut makan malam bersama kita?" Zahir bertanya kepada Binar.

Binar menggeleng lalu menjawab, "Dia sepupu saya yang akan menjaga rumah selagi Tante Ana pergi."

"Ah, begitu rupanya."

Dalam setengah perjalanan menuju pulang Binar mampir ke salah satu toko yang menjual berbagai makanan ringan. Binar meminta Ana untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko agar tidak lelah menunggunya berbelanja di dalam. Begitu Binar membuka pintu, seorang pria muda menyambut dengan sapaan ramah.

"Selamat datang," sapa pria itu.

"Pesanan kami sudah siap, kan Kak?" Binar meletakkan kantong belanjanya di depan meja kasir.

Pria muda itu mengambil sebuah kantong kertas sewarna tanah yang berisi beberapa bungkus makanan asin dan manis dari bawah meja kasir.

"Tentu sudah. Apa ada tambahan lagi?" tanya si pria untuk memastikan.

"Iya. Aku mau membeli beberapa camilan lagi," jawab Binar.

Binar menoleh ke arah Zahir untuk mengisyaratkan bahwa Zahir juga harus ikut memilih makanan apa saja yang akan mereka beli untuk menambah jumlah muatan kantong kertas di atas meja kasir.

Zahir menghampiri Binar yang mulai memindai deretan makanan ringan di etalase. Ia mengambil satu bungkus makanan berbahan kentang yang berbentuk bulat dan bertaburan serbuk kuning di sekujur permukaannya. Zahir ikut mengambil sebungkus berwarna merah menyala. Makanan berbahan dasar sama dengan yang Binar ambil hanya saja dioleh menjadi bentuk dan diberi rasa berbeda dari pilihan Binar tadi.

"Ini?" tanya Zahir untuk meminta persetujuan Binar.

"Kamu bisa makan makanan pedas dengan baik?"

"Mhm, tidak sekuat itu tapi masih sedikit di atas rata-rata," Zahir mengiyakan.

"Yakin?"

Zahir kembali melihat makanan pilihannya dan membaca dengan seksama tulisan yang tertulis pada kemasan kemudian mengangguk-angguk.

"Ya sudah. Semoga kamu tidak menyesal," Binar terkekeh kecil kemudian mengambil beberapa bungkus makanan lagi.

Setelah berkeliling melewati beberapa etalase, Binar dan Zahir sudah mengumpulkan empat bungkus camilan gurih dan tiga bungkus camilan manis. Binar juga mengambil empat bungkus kue kering dengan tambahan butiran cokelat di atasnya.

Sang kasir toko memindai satu demi satu demi satu kode batang pada setiap kemasan produk yang telah dipilih Zahir dan Binar. Memasukkan belanjaan ke dalam kantong lain—kantong pertama tidak lagi mampu memuat produk—kemudian memberi tahu total uang yang harus dibayar.

Zahir memberikan uang kepada pria kasir dan langsung meraih dua kantong makanan ringan sebelum Binar mengambilnya. Dengan menjinjing kantong makanan ringan di tangan kanan dan makanan dari Ana di tangan kiri Zahir memutuskan untuk melangkah keluar terlebih dahulu dari toko.

"Kamu yang ambil kembaliannya, saya yang membawa barangnya," Zahir tidak mau Binar mengangkut tambahan beban di tangannya.

"Sudah selesai? Di mana Binar?" tanya Ana yang tidak melihat Binar keluar bersama Zahir.

"Masih menunggu kembalian, Tante," Zahir menjawab dengan melayangkan pandangan ke dalam toko.

"Terima kasih, Kak!" seru Binar setelah mendapatkan uang kembalian, disambut senyuman dan anggukan oleh pria kasir.

"Ada sedikit tambahan kue cokelat sebagai ucapan ulang tahun untuk Paman Ali. Tolong sampaikan doa terbaikku untuk beliau," tutur pria kasir.

"Wah, sekali lagi terima kasih. Kakak selalu baik sekali," Binar tersenyum dan menunjukkan deretan giginya.

Zahir menatap dari balik kaca toko. Hari ini ia banyak menyaksikan senyuman Binar tapi baru sekarang gadis itu terlihat tersenyum dengan begitu nyaman hingga bibir atas dan bawahnya terpisah.

'Kapan aku bisa membuat dia tersenyum selepas itu ya?'

Binar keluar masih dengan menyisakan sedikit senyuman kemudian mengajak Zahir dan Ana melanjutkan perjalanan pulang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Temaram Hilang Binar   Semi Sebelum Gugur II

    "Ayah, Rohan sudah datang," Binar berucap setelah membukakan pintu untuk seorang pemuda."Sudah? Ajak dulu kemari untuk makan bersama kita," sahut Ali."Ayo masuk. Kita baru akan berangkat setelah makan siang," ajak Binar kepada pria di depannya."Aku baru saja makan... tapi masih ada ruang kosong di perut," kata pria yang dipanggil Rohan oleh Binar tadi.Mereka berdua—Binar dan Rohan—menuju ke meja makan. Di sana Ali dan Zahir sudah mengisi piring mereka dengan nasi dan lauk."Selamat siang, Paman.""Ayo duduk dan makan bersama kami. Sudah lama kamu tidak kemari," pinta Ali kepada Rohan."Akhir-akhir ini aku cukup sibuk jadi tidak bisa berkunjung." Rohan duduk di seberang kursi Zahir kemudian menatap Zahir lalu mengangguk kecil."Sibuk bermain bersama teman-teman barumu di universitas maksudnya? Dasar anak ini," Ali menatap Rohan yang tengah menatap Zahir. "Ah! Ini Zahir, putra dari sahabat baikku.""Halo, saya Zahir," kata Zahir sembari mengulurkan tangan."Zahir, ini keponakanku. A

  • Temaram Hilang Binar   Semi Sebelum Gugur I

    "Kalian sudah pulang? Pasti panas sekali di luar sana." Ali menyambut kedua anaknya yang baru saja memasuki rumah."Sangat panas sampai rasanya tubuhku mau meleleh," kata Binar yang tubuhnya berkeringat cukup banyak."Ayah yang hanya duduk di atas saja kepanasan. Tidak terbayang kalian yang sedang di luar." Ali menuruni anak tangga dengan membawa cangkir dan cawan kosong—selesai menikmati waktunya di atap.Zahir baru melepaskan tautan tangannya dengan Binar tepat saat Ali mulai melangkah. Ia merasa cukup beruntung Ali tidak menyadari tangan kedua anaknya yang terhubung. Atau mungkin pria paruh baya itu telah menyadari hal tersebut, tapi untungnya ia memilih untuk tidak memberikan komentar."Kalian istirahatlah dulu sebelum berangkat ke kebun. Aku akan membuatkan makan siang untuk kalian setelah ini," kata Ali.Hasil perburuan di dua toko sudah diletakkan di atas meja ruang tamu. Binar mengambil dua gelas yang telah dipenuhi oleh air putih kemudian ia berikan satu kepada Zahir. Keduany

  • Temaram Hilang Binar   Golden Hour IV

    Binar mempertimbangkan dengan saksama. "Untuk tanaman yang ini kami hanya punya variasi warna ungu karena warna lainnya telah terjual. Harganya lima puluh ribu rupiah. Akan dikenakan tambahan biaya sekitar lima sampai sepuluh ribu jika ingin menggunakan jasa pengemasan yang cocok untuk diberikan sebagai hadiah," jelas pegawai toko."Saya suka dengan yang terakhir ini. Tidak apa-apa saya memilihkan nenek kamu yang ini?" tanya Binar."Mandevilla?" Zahir membungkuk untuk mengamati tanaman berbunga ungu itu lebih dekat. "Bunganya juga cantik. Nenek akan suka. Apalagi warnanya seragam dengan sepatu barunya," kata Zahir sambil mengangguk-angguk.Sebuah jawaban yang melegakan untuk Binar. "Kalau begitu kami ambil yang ini saja, Kak. Tolong dikemas dengan cantik," Binar berkata kepada wanita pegawai penjual tanaman."Dan aman untuk perjalanan jarak jauh," tambah Zahir.Wanita itu memberikan senyuman secantik bunga kemudian segera mengangkat pot kecil yang telah menjadi pilihan terakhir Binar

  • Temaram Hilang Binar   Golden Hour III

    Zahir menerima sebuah kantong plastik tebal berwarna biru berisikan kardus cokelat yang memuat sepasang sepatu pilihannya untuk sang nenek.Binar menunggu di pinggir jalan karena depan toko sudah lebih ramai dibandingkan waktu mereka datang. "Binar," Zahir memanggil Binar yang menghadap ke arah jalan raya.Gadis itu memutar tubuhnya. "Sudah?" tanya Binar.Zahir mengangkat kantong di tangannya untuk memberi tahu Binar bahwa barang yang ia inginkan telah terbeli."Di mana toko tanaman hiasnya?" tanya Zahir.Binar kembali menoleh ke seberang jalan. "Ada di arah jalan pulang. Tapi ada di seberang jalan sana. Kita bisa lewat jembatan penyeberangan."Mata Zahir mencari ke sekeliling. Siapa tahu ada jembatan penyeberangan terdekat yang bisa mereka lewati."Kita harus berjalan sekitar lima puluh meter lagi. Ayo," Binar memimpin perjalanan menuju tempat kedua.Mereka mengambil langkah berlawanan dari arah pulang. Zahir yang tadinya berada di belakang sekarang sudah bisa menyusul dan berjalan

  • Temaram Hilang Binar   Golden Hour II

    Zahir menyelipkan foto itu di bagian kiri bawah kemudian menutup buku itu lagi. Buku sketsa itu ia simpan kembali ke dalam ranselnya yang juga diisi oleh beberapa peralatan tulis dan lukis.Sepasang sepatu di kaki Zahir juga sudah tergantikan oleh alas kaki yang lebih sederhana. Sandal berwarna hitam yang bagian alasnya masih tebal dan keras. Ukurannya sedikit lebih besar dibandingkan kaki Zahir, tapi tidak sampai membuat ilusi kakinya sedang menaiki perahu—hanya sedikit kebesaran.Sebelum meninggalkan kamar, ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. Jika saja foto tadi lebih kecil atau dompetnya berukuran lebih besar maka Zahir pasti akan menyimpan benda itu di dalam dompet alih-alih diselipkan di buku sketsa.Zahir sumringah saat meninggalkan kamar. Ia kembali memiliki waktu berdua bersama dengan Binar, meskipun sudah barang pasti mereka akan berpapasan dengan banyak orang di jalan. Juga akan berbicara dengan orang-orang pemilik toko yang akan mereka hampiri.Dari lantai bawa

  • Temaram Hilang Binar   Golden Hour I

    Seorang perempuan lain yang Zahir cintai jauh sebelum lelaki itu memutuskan untuk meletakkan cintanya untuk Binar—sempat terlupakan selama beberapa saat—membuat ponsel Zahir bergetar."Nenek menelepon," kata Zahir ketika matanya menemukan tulisan 'Nenek' di layar ponselnya.Ali mengangguk mengiyakan Zahir untuk menerima panggilan jarak jauh dari neneknya."Halo, Nenek?" "Boleh Nenek meminta tolong? Belikan alas kaki untuk Nenek sebelum pulang nanti."Perempuan itu sangat terus terang. Zahir hanya tersenyum mendengarkan suara kecil dan berat itu."Tapi Nenek bimbang harus memilih sepatu atau sandal. Menurutmu mana yang akan lebih berguna untukku?" tanya perempuan itu."Bagaimana kalau sepatu? Supaya jalan-jalan pagi kita jadi lebih nyaman untuk Nenek," usul Zahir."Sepatu, ya. Kalau begitu tolong pilihkan yang paling cocok untuk kakiku, ya? Nenek percaya dengan selera cucu tampanku ini," Aini langsung setuju tanpa menimbang lebih lama."Baik, Nek. Nenek sudah makan?" "Aku cuma makan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status