Share

Atas dan Bawah Atap I

Ali keluar dari kamarnya yang berada dia langkah dari tangga dengan segerombol kunci berwarna emas serta gantungan berbentuk menara. Ia memerhatikan Binar yang masih berdiri di depan pintu dan Zahir yang baru masuk sambil sibuk memasukkan sesuatu ke dalam ransel cokelatnya.

"Binar, bagaimana kalau setelah ini kamu langsung ke rumah Tante Ana? Ayah akan menyiapkan segalanya di atap," kata Ali.

Binar menoleh ke arah sumber suara lalu langsung berlari dan berhenti tepat di depan sang ayah.

"Jadi kita betulan akan makan di atap lagi?" tanya Binar dengan mata yang senada dengan namanya.

Ali mengangguk, "Untuk merayakan kedatangan tamu istimewa sekaligus mencoba meja dan lampu baru yang Ayah selesaikan kemarin."

"Mau aku bantu dulu sebelum aku mengambil makanan di rumah Tante?"

"Tidak ada yang perlu dibantu di atas sana. Justru kamu yang butuh dibantu...," geleng Ali lalu mengarahkan matanya ke Zahir yang baru saja sampai di samping Binar. "..., kalian pergilah berdua. Sekalian beli beberapa makanan ringan yang cukup untuk kita berempat."

Zahir hanya mengangguk mengiyakan. Kemudian menatap Binar untuk mencari kesepakatan. Binar ikut menoleh dan menemui mata Zahir lalu mengangguk kecil.

"Maaf ya. Kamu jadi tamu tapi justru harus melayani diri sendiri," kata Ali.

"Tidak apa-apa, Ayah. Bukan sesuatu yang memberatkan saya," jawab Zahir dengan senyuman yang mengembang.

"Kamu bisa meletakkan barang-barang yang kamu bawa di kamar. Mari aku tunjukkan kamarnya," Ali mulai menaiki satu demi satu anak tangga sambil berbicara.

Zahir mengekor Ali. Ada pernyataan yang ingin ia sampaikan tapi tidak bisa keluar. Jadi, ia cuma bisa diam dan ikut saja.

Binar mengambil arah lainnya dan menuju ke pintu kamarnya. Ia hendak mengganti pakaian dengan yang lebih santai namun tetap pantas untuk dilihat orang lain.

"Kamu akan menginap, kan?" Ali lanjut bertanya kepada Zahir.

"Itu...," Zahir berkata dengan ragu.

Esok memang akhir pekan tapi ia tidak berniat untuk menginap di rumah Ali. Sebelumnya ia sudah mencari informasi tentang penginapan yang berada tidak jauh dari lokasi rumah Ali dan berniat menyewa salah satu kamar di sana untuk menghabiskan satu malam.

"Bus terakhir menuju rumahmu akan berangkat jam delapan, dan aku berniat untuk menahan kamu di sini sampai jam sepuluh mungkin?" kata Ali sembari menoleh sejenak.

"Saya sudah mencari pe....,"

"Lalu karena alasan kemalaman kamu terpaksa harus bermalam. Dan aku memaksa putraku untuk menginap di sini." potong Ali.

"Iya. Saya akan menginap di sini malam ini. Terima kasih." Tidak ada alasan yang Zahir temukan untuk menolak paksaan Ali.

Kaki Ali sudah menapaki anak tangga terakhir. Badannya lalu berbelok ke kiri. Kurang dari sepuluh langkah ia sudah sampai di depan pintu berwarna cokelat asli warna kayu bahan dasarnya. Pria berusia lima puluhan itu memilah satu dari beberapa kunci di tangannya untuk membuka pintu.

Ali menekan saklar hitam di samping pintu dan terpampang satu ruangan dengan dua jendela besar di ujung seberang pintu. Zahir masih mengekor di belakang Ali, ikut masuk ke dalam kamar yang penerangannya tidak terlalu terang. Terdapat satu tempat tidur, sepasang meja dan kursi, lampu yang berada di atas meja, serta lemari dua pintu. Masih ada sekitar sepertiga ruang kosong di sana. Sangat cukup untuk bersantai jika tidak sedang ingin duduk di atas kasur ataupun kursi.

"Kamar mandinya ada di sebelah kamar ini,," Ali menunjuk ke arah luar kamar.

Mata Zahir mengikuti arah jari telunjuk Ali kemudian kepalanya mengangguk mengiyakan.

"Iya, Ayah," jawab Zahir.

Ali kembali menatapi wajah Zahir. Sebuah tatapan yang menggambarkan kehangatan kasih milik ayah kepada anaknya. Sebuah tatapan yang membahasakan cinta dari yang tua kepada yang muda. Tidak harus teraliri darah yang sama untuk saling memberikan kasih sayang setara cinta kasih sedarah.

"Istirahat saja dulu. Kamu pasti lelah karena perjalanan kemari tidak dekat," Ali berucap dengan lembut.

"Saya tidak lelah sama sekali. Saya akan langsung pergi dengan Binar seperti kata Ayah tadi."

Zahir meletakkan ransel di atas kursi dan menanggalkan jaketnya agar mendekap sandaran kursi. Setelah itu ia merapikan bajunya yang sedikit kusut karena seharian terhimpit jaket

"Argh, harusnya aku tidak meminta kamu membantu Binar tadi. Tapi sudahlah. Biar kalian punya waktu jalan berdua... walaupun hanya 50 meter," goda Ali.

"Ayah jangan menggoda saya terus," protes Zahir.

Pemuda itu memijit bahu Ali yang bergerak seiring dengan kakinya yang melangkah keluar dari kamar. Mereka sudah terlihat persis seperti ayah dan anak sungguhan. Ali terkekeh sambil menikmati tekanan ringan di bahunya. Pijitan yang melemaskan otot-otot bahunya.

"Kenapa? Memangnya kamu sungguhan mau menjadikan Binar adik? Padahal aku tidak keberatan menjadikan kamu anak menantu," Ali masih terus menggoda Zahir.

"Saya tidak mau bilang tidak. Tapi bukan berarti tidak mau. Ah, pokoknya seperti itu!" Zahir bingung dengan kalimatnya sendiri.

Ali sangat terhibur melihat Zahir yang kelimpungan menghadapi gurauannya.

"Ya sudah tidak perlu dipikirkan terlalu serius sekarang. Kita jalani saja dulu."

Ali berjalan ke arah pintu lainnya. Kali ini pintunya berbeda dari pintu sebelumnya. Pintu itu berada di depan tangga dan berbahan besi dan dikunci dengan gembok. Ali memilih satu kunci lainnya untuk membuka gembok.

"I–iya," jawab Zahir malu-malu.

Ali mendorong pintu besi itu sampai engselnya membentuk 180 derajat. Tapi belum sampai Zahir melihat bagian atap rumah yang dibentuk seperti teras itu, Ali membalikkan badan dan mendorong Zahir menjauh.

"Binar pasti sudah menunggu di bawah. Cepat turun," perintah Ali.

"Ayah yakin tidak butuh bantuan saya terlebih dulu?"

"Lagi pula tidak ada yang perlu disiapkan kecuali menyalakan lampu dan melebarkan tikar," sanggah Ali.

Ali merogoh saku celananya dan mengambil dua lembar uang berwarna biru untuk diberikan kepada Zahir. Zahir menerimanya lalu menuruti perintah Ali untuk turun menemui Binar.

Benar saja. Saat Zahir baru akan menuruni tangga Binar sudah berdiri menunggu Zahir di ujung tangga bagian bawah. Gadis itu sudah berganti pakaian. Celana panjang berwarna abu-abu dan jaket senada yang dilengkapi tudung. Rambutnya yang semula digerai sekarang sudah ia ikat setinggi lubang telinga.

Zahir menuruni tangga dan menghampiri Binar. Binar menoleh kemudian tersenyum kepada pemuda itu. Tangan Zahir terlebih dulu mendekati Binar. Bukan untuk menggandeng Binar melainkan memberikan uang dari Ali untuk Binar genggam.

"Ayah memberi saya uang untuk kita membeli makanan," jelas Zahir.

Binar melihat tangan Zahir yang menggenggam uang lalu berkata, "Kamu saja yang bawa."

"Oh, baiklah."

Binar terlebih dulu melenggang pergi karena dia yang tahu letak rumah Tante Ana. Zahir mengantongi uang dari Ali kemudian agak melebarkan langkahnya agar bisa menyusul Binar hingga keduanya berjalan berdampingan.

Zahir dan Binar sudah keluar dari pelataran rumah. Tapi tidak ada satu patah katapun yang terdengar antara keduanya. Masih sama-sama canggung padahal sebetulnya ingin saling bercengkrama. Zahir pindah dari sisi kiri Binar ke sebelah kanan. Ia memilih posisi yang lebih dekat dengan jalan raya.

"Ini pertama kali kita bertemu, kan?" Suara Zahir memutus keheningan di antara keduanya.

Binar tersenyum lalu merespon, "Kedua untuk saya. Tapi mungkin yang pertama itu tidak terhitung sebagai pertemuan?"

"Itu, maksud kamu bagaimana?" Zahir menatap Binar bingung.

"Lupakan saja. Karena hari ini kali pertama kita saling melihat satu sama lain jadi bisa disebut pertemuan pertama," jawab Binar yang sebetulnya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Zahir.

"Jadi yang pertama tapi bukan pertama tadi, betulan ada? Apa kita pernah tidak sengaja bertemu tapi tidak sadar?" Zahir terus ingin menggali informasi.

Di sudut tubuh yang lain otak Zahir ikut berusaha menggali kepingan hari lampau. Barangkali ada pertemuan dengan Binar yang selama ini ia lupakan.

Binar masih tetap tersenyum. Kakinya berbelok ke salah satu rumah tanpa memberi aba-aba kepada Zahir.

"Kita sudah sampai rumah Tante Ana," kata Binar.

Mau tidak mau Zahir menghentikan keingintahuannya. Ia menyaksikan Binar yang tengah mengetuk pintu rumah yang mereka tuju. Tidak lama setelah tiga kali ketukan yang Binar suarakan, seorang perempuan membukakan pintu untuk Binar dan Zahir.

"Aku kira kamu tidak jadi ke sini. Baru saja aku akan minta bantuan Rohan untuk mengantarku ke rumah kalian," kata sang pemilik rumah.

"Maaf Tante, kami kedatangan tamu jadi aku datang sedikit terlambat," ucap Binar.

"Mana Ayahmu? Ini...," Ana, sang pemilik rumah melongok keluar mencari sosok Ali lalu justru menemukan Zahir yang terlihat asing untuknya.

"Ini Zahir putra Om Januar. Dia baru datang tadi sore," Binar menjelaskan.

"Zahir? Astaga! Kamu sudah sebesar ini? Aku tebak pasti kamu tidak ingat denganku," Ana tersenyum lebar.

Benar, Zahir tidak ingat kejadian bersama Ana. Ia hanya sebatas tahu siapa Ana berkat penjelasan ayah dan neneknya.

Ana mempersilakan Binar dan Zahir masuk. Ia meremas-remas lengan padat Zahir, masih tidak menyangka.

"Dulu waktu kamu datang dengan ayahmu kamu selalu mampir kemari untuk memetik buah stroberi. Kalau tidak sedang berbuah kamu pasti merajuk meminta Januar menumbuhkan buahnya," kata Ana.,

Kali ini sedikit demi sedikit Zahir mengingat kejadian itu. Kejadian memalukan tapi masih bisa dimaklumi karena ia cuma seorang bocah berusia lima tahun saat itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status