Setelah menyelesaikan pekerjaannya kini Rosaline merasa lega, itu artinya besok ia bisa menghabiskan waktu liburnya bersama sang kekasih. Ia keluar dari kamarnya menuju dapur. Belum sampai dapur tapi ia sudah bisa mencium aroma sedap masakan mamanya.
“Masakan Mama bikin laper. Aku mau makan ah,” ucap Rosaline. Ia mendudukkan dirinya di kursi yang ada di pantry.
“Bentar lagi kan makan malam, masa sekarang udah mau makan aja. Nanti kamu gendutan gimana?” ucap Mardina.
“Ya nggak gimana-gimana, Ma.” Rosaline menyomot satu bakwan lalu ia gigit perlahan karena masih dalam keadaan panas.
“Gimana kalau Adhi lari gara-gara lihat badan kamu yang semakin gemuk,” ucap Mardina.
“Mama nih jangan gitua ah. Kalau beneran, nanti Kak Rose jadi patah hati lhoh,” sambung Jasmine. Ia baru saja keluar dari toilet di samping dapur.
“Lagian mana ada makan bakwan satu bisa jadi gendut,” ucap Rosaline.
“Aku juga mau ah.” Jasmine mengikuti Rosaline yang menyomot satu bakwan panas.
“Kalau kalian nongkrong di sini terus, lama-lama masakan mama habis cuma dimakan kalian dan Papa nggak akan kebagian,” ucap Mardina.
Rosaline dan Jasmine sama-sama tertawa mendengar gerutuan sang mama.
“Papa belum pulang ya, Ma?” tanya Rosaline.
“Udah, lagi di depan nyiram tanaman.”
“Ah aku mau bantu Papa nyiram tanaman.” Jasmine turun dari kursinya lalu berjalan cepat ke luar rumah.
“Rose, harusnya kamu juga meluangkan waktu untuk membantu mama masak di dapur. Mulai sekarang kamu juga harus belajar mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bersih-bersih, memasak dan hal yang lainnya. Kamu sudah pantas umur untuk menikah, Nak. Jadi kalau kamu sudah berumah tanga nanti kamu nggak akan bingung mengurus rumah tangga kamu,” ucap Mardina.
“Kan ada asisten rumah tangga, Ma. Mereka semua bisa mengerjakan pekerjaan itu,” sahut Rosaline tak acuh.
“Bukan begitu, Rose. Meskipun ada asisten rumah tangga tapi kamu tidak boleh menggantungkan semua pekerjaan sama mereka. Lihat mama ini. Meskipun ada Bik Lastri tapi sebisa mungkin mama akan memasak untuk kita semua kan,” ucap Mardina.
“Iya, itu karena Mama perempuan yang hebat,” sahut Rosaline.
Mardina tersenyum atas pujian yang diberikan oleh putri sulungnya itu kepadanya. “Kamu anak perempuan mama, kalau begitu kamu juga harus lebih hebat dari mama kan.”
“Mama bisa aja jawabnya.” Rosaline tersenyum menatap sang mama.
“Ayo sekarang bantu mama sajikan makan malam ke meja makan,” ucap Mardina.
“Iya.” Rosaline turun dari tempat duduknya. Ia berjalan memasuki dapur dan mulai memindahkan tempat makanan ke atas meja makan.
“Siapkan juga piring dan gelasnya,” ucap Mardina.
“Iya.”
“Waah wah wah ... ada angin apa Kak Rose sampai bantuin Mama siapin makan malam begini?” goda Jasmine.
“Jasmine, kalau ada orang yang kerja baik jangan digodain begitu. Harusnya kamu juga ikut bantu,” tegur Benjamin, sang papa.
“Tadi kan aku juga udah bantu Papa siram tanaman di depan,” sahut Jasmine dengan muka cemberutnya.
“Lain kali kamu mesti bantuin mama masak juga, biar kamu pinter masak,” sahut Mardina.
“Iya, Mama ....”
“Ayo udah siap nih makan malamnya,” ucap Rosaline.
“Wah papa juga udah lapar banget,” ucap Benjamin. Ia lalu duduk di kursi yang ada di ruang makan. begitu juga dengan yang lainnya.
Mereka makan dengan lahap masakan Mardina yang tak perlu diragukan lagi rasanya.
“Mama emang top kalau soal masakan,” puji Jasmine di sela-sela kunyahannya.
“Emangnya dalam hal lain nggak jago,” protes Mardina.
“Ya jagolah. Jago ngurus Papa, Kak Rose sama aku. Mama juga jago berantem di pasar,” sahut Jasmine.
“Kapan mama pernah berantem sama orang?!” seru Benjamin.
“Waktu itu di pasar. Mama mau nawar nggak boleh sama penjualnya, penjualnya malah nyolot terus Mama ngamuk deh,” ucap Jasmine lalu tertawa kala mengingat kejadian itu.
“Mama nih, pakai nawar segala bikin malu aja ah,” tegur Benjamin.
“Yaa nggak pa-pa dong, Pa. Namanya juga ibu-ibu di pasar, sudah biasa,” sahut Mardina.
Rosaline tertawa mendengar obrolan ringan keluarganya ini.
“Oh iya, Rose.”
“Iya, Pa?”
“Adhi kapan mau lamar kamu?” tanya Benjamin.
“Uuhuuk.” Rosaline langsung mengambil air minum. Ucapan papanya membuat ia tersedak. Hari ini sudah dua kali ia harus dihadapakan dengan pertanyaan yang sama.
“Papa kenapa tiba-tiba tanya itu?” tanya Rosaline.
“Bukannya apa-apa, kamu kan udah umur dua puluh empat. Pekerjaan kamu juga udah bagus jadi papa pikir kalau kamu udah pantas untuk menikah,” ucap Benjamin.
“Tapi aku belum siap, Pa. Lagian kerjaan Adhi juga belum mapan.”
“Jangan lama-lama pacaran, takutnya nanti ada apa-apa sama hubungan kalian,” ucap Benjamin.
“Maksud Papa?”
“Ya Papa nggak mau kalau sampai kalian pacaran kebablasan atau malah bisa juga kalian putus di tengah jalan.”
“Pa, aku nggak mungkin sampai kebablasan,” sahut Rosaline.
“Iya, gimana mau kebablasan, orang mereka aja jarang ketemu. Iya kan, Kak,” imbuh Jasmine.
“Terus kalau putus di tengah jalan gimana?” tanya Mardina.
“Ya itu berarti Adhi bukan jodoh aku, Ma. Ya udah mau gimana lagi,” sahut Rosaline.
“Ya sudah, terserah kamu saja,” sahut Mardina.
Selesai makan malam Rosaline kembali ke kamarnya. Ia mendapati dua panggilan tak terjawab dari teman kampusnya dulu sekaligus kantornya sekarang ini.
“Dini? Aku coba hubungin dia balik deh,” gumam Rosaline.
“Halo, Din. Ada apa? Tadi aku lagi makan malam,” sapa Rosaline saat sambungan telponnya sudah tersambung.
“Halo, Rose. Nggak, aku cuma mau ngingetin kamu kalau besok kita ada acara reuni. Kamu mau berangkat sama Adhi atau bareng aku?” tanya Dini.
“Aduh, Din. Aku kok bisa kelupaan ya. Kok kamu baru ngasih tahu aku sekarang sih, harusnya kan dari kemaren-kemaren biar aku bisa siap-siap,” ucap Rosaline.
“Ya tinggal paginya ke salon sorenya berangkat ke reuni kan bisa, Rose. Ribet amat jadi orang.”
“Masalahnya aku besok udah ada janji sama Adhi kalau aku mau ngabisin waktu bareng dia. Ini kok malah ada acara reuni segala.”
“Ya gampang dong. Kamu berangkat ajak Adhi. Lagian aku besok juga mau ngajak Raka kok. Jadi besok kan Raka bisa ada temannya kalau kamu juga ngajak Adhi.”
“Iya deh aku kasih tahu Adhi dulu.”
“Ya udah. Sampai jumpa besok. Jangan lupa dandan yang cantik jangan kayak biasanya yang cuma pakai bedak tipis,” ucap Dini seraya terkekeh.
“Apa banget deh kamu ni.”
“Gimana kalau kita ke salon bareng aja?! Jadi nanti di salon aku bisa ngarahin kamu ke jalan yang benar,” ucap Dini.
“Kamu ngomong apa sih, bikin pusing aja! Udah aku mau telpon Adhi dulu.” Rosaline mematikan sambungan telponnya.
“Semoga Adhi nggak marah dan dia mau ikut ke acara reuni,” gumam Rosaline. Ia mencoba menghubungi Adhi.
“Iya, Rose? Tumben kamu telpon duluan?” tanya Adhi.
“Dhi, aku mau-“
“Kamu pasti mau batalin janji kita besok kan?!” Adhi memotong ucapan Rosaline.
“Enggak, bukan gitu, Dhi. Aku mau ngajak kamu ke acara reunian. Sebenarnya aku memang mau ngajak kamu jalan tapi aku lupa kalau ternyata besok sore ada acara reuni teman kuliah. Kamu mau temani aku datang ke acara itu kan?”
“Tapi ... apa nggak pa-pa kalau aku ikut kamu ke acara itu?”
“Ya nggak pa-palah, Dhi. Aku malah senang dengar kamu mau ikut ke acara itu.”
“Maksud aku, apa kamu nggak malu kalau ngajak aku ke acara reunian teman kampus kamu?”
“Ngapain harus malu sih?! Kamu itu ngomong apa? Aku malah senang. Kalau gitu besok sore kamu jemput aku ya.” Rosaline tersenyum, ia senang mendengar jawaban persetujuan dari kekasihnya itu.
“Ya.”
“Ya udah, aku tutup telponnya.”
***
Adhikari dan Rosaline sudah tak sabar menantikan kelahiran buah hati mereka yang kedua. Setelah di USG diketahui saat ini Rosaline sedang mengandung bayi perempuan. Kamar dan pernak-perniknya sudah mereka persiapkan setelah usia kandungannya lebih dari tujuh bulan.Seperti yang Rosaline alami saat kehamilan pertamanya dulu, kini dikehamilannya yang kedua ia juga mengalami morning sickness yang berlebihan sampai usia kandungannya empat bulan, setelah itu ia sudah kembali normal meski terkadang ia juga merasakan pusing dan mual.Di usia kehamilan Rosaline yang ke delapan bulan ini ia senang sekali jika perutnya diusap oleh sang suami. Tentu saja Adhikari tak menolak karena ini adalah hal yang baru baginya.Dulu Adhikari tak melihat perkembangan Abrisam saat masih ada dalam kandungan Rosaline, untuk itu di kehamilan kedua istrinya ini ia tak ingin jauh-jauh dari Rosaline. bahkan setiap harinya selambat mungkin ia akan pergi ke kantor lalu saat sore hari secep
Hari cepat sekali berlalu, tak terasa sudah empat bulan Rosaline kembali ke tanah air dan kembali menjalin hubungan dengan Adhikari. Sejak hari pertemuan Rosaline dan Adhikari kembali, rencana pernikahan sudah langsung dipersiapkan karena dari kedua belah pihak juga sudah sangat setuju dengan pernikahan Rosaline dan Adhikari terlebih sekarang sudah ada Abrisam di antara mereka.Adhikari ingin sekali cepat meresmikan hubungannya dengan Rosaline namun ia tak bisa egois karena ia tahu Rosaline pasti juga seperti wanita-wanita di luaran sana yang memimpikan menjadi seorang pengantin dan menikah secara sakral dan meriah dengan disaksikan oleh orangtua, keluarga, teman serta kerabat. Untuk itu ia harus bisa sedikit lebih bersabar dengan persiapan pernikahan yang tentunya sedikit memakan waktu.Hingga kini tibalah saat yang membahagiakan untuk semua orang terlebih untuk Adhikari dan Rosaline karena hari ini mereka telah melangsungkan pernikahan. Pesta digelar dengan begitu me
Adhikari mengantarkan Rosaline dan Abrisam pulang ke rumah. Sebenarnya Rosaline tak mengijinkannya mengantar sampai masuk ke rumah namun Adhikari tetap ngeyel dan tetap berjalan memasuki rumah orangtua Rosaline.“Silakan masuk, Mas.” Bik Lastri mempersilakan Adhikari duduk di ruang tamu.“Rosaline, kamu baru pulang? Kamu pulang sama siapa?” Mardina keluar menghampiri Rosaline untuk bertanya pada Rosaline.Rosaline tak menjawab pertanyaan mamanya yang kedua. “Abrisam sudah tidur, Ma. Aku akan menidurkan Abrisam dulu ke kamar.” Rosaline berjalan meninggalkan mamanya menuju kamarnya.Mardina melihat ke arah ruang tamu, ia terkejut mendapati Adhikari yang sudah duduk di sofa ruang tamu.“Kamu ada di sini?” tanya Mardina.“Iya, Ma.”&n
Adhikari mendapat pesan singkat dari Jasmine yang menyuruhnya untuk segera datang ke sebuah butik tanpa memberitahu alasannya. Hal itu tentu saja membuatnya panik sekaligus penasaran. Untuk itu ia segera menuju ke tempat yang Jasmine maksud.Adhikari memarkirkan mobilnya lalu dengan tergesa ia memasuki butik yang Jasmine maksud. Pandangannya menyusuri setiap sudut dalam butik itu untuk mencari keberadaan Jasmine tapi bukan Jasmine yang ia temukan, melainkan sesosok wanita yang begitu ia rindukan.“Rosaline,” gumam Adhikari. Harusnya ia langsung menghampiri sesosok wanita yang ia duga dan ia lihat seperti Rosaline tersebut. Tapi entah mengapa tubuhnya malah menegang kaku. Semua ini bagaikan mimpi untuknya hingga beberapa kali ia mengucek matanya dan mengedip-ngedipkan matanya.Wanita yang dilihat Adhikari masih terus fokus dengan balita yang ada di dalam gendongannya. Melihat balita itu, Adhikari semakin yakin kalau wanita yang ia lohat sekarang ini m
Benjamin dan Mardina berjalan beriringan seraya menarik koper mereka, sedangkan Rosaline menggendong Abrisam yang tengah tertidur. Mereka mengedarkan pandangan mereka ke seluruh penjuru arah untuk mencari keberadaan Jagat dan Jasmine yang menjemput mereka di bandara.“Pa, itu Jasmine sama Jagat,” ucap Mardina memberitahu.“Iya.”Mereka semua berjalan ke arah Jagat dan Jasmine berada.“Mama, Papa!” seru Jasmine memeluk Benjamin dan Mardina bergantian.“Kak Rose, akhirnya kamu pulang juga. Aku udah kangen banget sama Kakak.” Ucap Jasmine saat ia memeluk tubuh Rosaline.“Mari kita ke mobil, Pa, Ma, Rose,” ajak Jagat setelah ia juga melepas rind
Tak terasa sudah dua tahun Rosaline tinggal di Amerika tanpa pernah sekali pun ia menginjakkan kakinya kembali ke tanah kelahirannya. Ia sudah sangat bahagia hidup bersama dengan Abrisam, putranya, buah cintanya bersama pria yang dulu sangat dicintainya bahkan hingga sekarang.“Mamama.” Si kecil Abrisam berjalan tertatih menghampiri Rosaline yang sedang memainkan ponselnya.“Ada apa, Sayang?”“Mum ucu.” Ucap Abrisam seraya mengulurkan kedua tangannya kepada sang mama.“Mum ucu?” goda Rosaline yang tak kunjung meraih tangan putranya itu.“Mum ucuu ....” Abrisam sudah mulai merengek dan menelungkupkan tubuh gembulnya ke kaki jenjang Rosaline.Rosaline tersenyum lalu mengangkat putranya itu untuk ia dudukan di pangkuanny