Share

2. Desakan Orangtua

Setelah menyelesaikan pekerjaannya kini Rosaline merasa lega, itu artinya besok ia bisa menghabiskan waktu liburnya bersama sang kekasih. Ia keluar dari kamarnya menuju dapur. Belum sampai dapur tapi ia sudah bisa mencium aroma sedap masakan mamanya.

“Masakan Mama bikin laper. Aku mau makan ah,” ucap Rosaline. Ia mendudukkan dirinya di kursi yang ada di pantry.

“Bentar lagi kan makan malam, masa sekarang udah mau makan aja. Nanti kamu gendutan gimana?” ucap Mardina.

“Ya nggak gimana-gimana, Ma.” Rosaline menyomot satu bakwan lalu ia gigit perlahan karena masih dalam keadaan panas.

“Gimana kalau Adhi lari gara-gara lihat badan kamu yang semakin gemuk,” ucap Mardina.

“Mama nih jangan gitua ah. Kalau beneran, nanti Kak Rose jadi patah hati lhoh,” sambung Jasmine. Ia baru saja keluar dari toilet di samping dapur.

“Lagian mana ada makan bakwan satu bisa jadi gendut,” ucap Rosaline.

“Aku juga mau ah.” Jasmine mengikuti Rosaline yang menyomot satu bakwan panas.

“Kalau kalian nongkrong di sini terus, lama-lama masakan mama habis cuma dimakan kalian dan Papa nggak akan kebagian,” ucap Mardina.

Rosaline dan Jasmine sama-sama tertawa mendengar gerutuan sang mama.

“Papa belum pulang ya, Ma?” tanya Rosaline.

“Udah, lagi di depan nyiram tanaman.”                                                               

“Ah aku mau bantu Papa nyiram tanaman.” Jasmine turun dari kursinya lalu berjalan cepat ke luar rumah.

“Rose, harusnya kamu juga meluangkan waktu untuk membantu mama masak di dapur. Mulai sekarang kamu juga harus belajar mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bersih-bersih, memasak dan hal yang lainnya. Kamu sudah pantas umur untuk menikah, Nak. Jadi kalau kamu sudah berumah tanga nanti kamu nggak akan bingung mengurus rumah tangga kamu,” ucap Mardina.

“Kan ada asisten rumah tangga, Ma. Mereka semua bisa mengerjakan pekerjaan itu,” sahut Rosaline tak acuh.

“Bukan begitu, Rose. Meskipun ada asisten rumah tangga tapi kamu tidak boleh menggantungkan semua pekerjaan sama mereka. Lihat mama ini. Meskipun ada Bik Lastri tapi sebisa mungkin mama akan memasak untuk kita semua kan,” ucap Mardina.

“Iya, itu karena Mama perempuan yang hebat,” sahut Rosaline.

Mardina tersenyum atas pujian yang diberikan oleh putri sulungnya itu kepadanya. “Kamu anak perempuan mama, kalau begitu kamu juga harus lebih hebat dari mama kan.”

“Mama bisa aja jawabnya.” Rosaline tersenyum menatap sang mama.

“Ayo sekarang bantu mama sajikan makan malam ke meja makan,” ucap Mardina.

“Iya.” Rosaline turun dari tempat duduknya. Ia berjalan memasuki dapur dan mulai memindahkan tempat makanan ke atas meja makan.

“Siapkan juga piring dan gelasnya,” ucap Mardina.

“Iya.”

“Waah wah wah ... ada angin apa Kak Rose sampai bantuin Mama siapin makan malam begini?” goda Jasmine.

“Jasmine, kalau ada orang yang kerja baik jangan digodain begitu. Harusnya kamu juga ikut bantu,” tegur Benjamin, sang papa.

“Tadi kan aku juga udah bantu Papa siram tanaman di depan,” sahut Jasmine dengan muka cemberutnya.

“Lain kali kamu mesti bantuin mama masak juga, biar kamu pinter masak,” sahut Mardina.

“Iya, Mama ....”

“Ayo udah siap nih makan malamnya,” ucap Rosaline.

“Wah papa juga udah lapar banget,” ucap Benjamin. Ia lalu duduk di kursi yang ada di ruang makan. begitu juga dengan yang lainnya.

Mereka makan dengan lahap masakan Mardina yang tak perlu diragukan lagi rasanya.

“Mama emang top kalau soal masakan,” puji Jasmine di sela-sela kunyahannya.

“Emangnya dalam hal lain nggak jago,” protes Mardina.

“Ya jagolah. Jago ngurus Papa, Kak Rose sama aku. Mama juga jago berantem di pasar,” sahut Jasmine.

“Kapan mama pernah berantem sama orang?!” seru Benjamin.

“Waktu itu di pasar. Mama mau nawar nggak boleh sama penjualnya, penjualnya malah nyolot terus Mama ngamuk deh,” ucap Jasmine lalu tertawa kala mengingat kejadian itu.

“Mama nih, pakai nawar segala bikin malu aja ah,” tegur Benjamin.

“Yaa nggak pa-pa dong, Pa. Namanya juga ibu-ibu di pasar, sudah biasa,” sahut Mardina.

Rosaline tertawa mendengar obrolan ringan keluarganya ini.

“Oh iya, Rose.”                                                 

“Iya, Pa?”

“Adhi kapan mau lamar kamu?” tanya Benjamin.

“Uuhuuk.” Rosaline langsung mengambil air minum. Ucapan papanya membuat ia tersedak. Hari ini sudah dua kali ia harus dihadapakan dengan pertanyaan yang sama.

“Papa kenapa tiba-tiba tanya itu?” tanya Rosaline.

“Bukannya apa-apa, kamu kan udah umur dua puluh empat. Pekerjaan kamu juga udah bagus jadi papa pikir kalau kamu udah pantas untuk menikah,” ucap Benjamin.

“Tapi aku belum siap, Pa. Lagian kerjaan Adhi juga belum mapan.”

“Jangan lama-lama pacaran, takutnya nanti ada apa-apa sama hubungan kalian,” ucap Benjamin.

“Maksud Papa?”

“Ya Papa nggak mau kalau sampai kalian pacaran kebablasan atau malah bisa juga kalian putus di tengah jalan.”

“Pa, aku nggak mungkin sampai kebablasan,” sahut Rosaline.

“Iya, gimana mau kebablasan, orang mereka aja jarang ketemu. Iya kan, Kak,” imbuh Jasmine.

“Terus kalau putus di tengah jalan gimana?” tanya Mardina.

“Ya itu berarti Adhi bukan jodoh aku, Ma. Ya udah mau gimana lagi,” sahut Rosaline.

“Ya sudah, terserah kamu saja,” sahut Mardina.

Selesai makan malam Rosaline kembali ke kamarnya. Ia mendapati dua panggilan tak terjawab dari teman kampusnya dulu sekaligus kantornya sekarang ini.

“Dini? Aku coba hubungin dia balik deh,” gumam Rosaline.

“Halo, Din. Ada apa? Tadi aku lagi makan malam,” sapa Rosaline saat sambungan telponnya sudah tersambung.

Halo, Rose. Nggak, aku cuma mau ngingetin kamu kalau besok kita ada acara reuni. Kamu mau berangkat sama Adhi atau bareng aku?” tanya Dini.

“Aduh, Din. Aku kok bisa kelupaan ya. Kok kamu baru ngasih tahu aku sekarang sih, harusnya kan dari kemaren-kemaren biar aku bisa siap-siap,” ucap Rosaline.

“Ya tinggal paginya ke salon sorenya berangkat ke reuni kan bisa, Rose. Ribet amat jadi orang.”

“Masalahnya aku besok udah ada janji sama Adhi kalau aku mau ngabisin waktu bareng dia. Ini kok malah ada acara reuni segala.”

“Ya gampang dong. Kamu berangkat ajak Adhi. Lagian aku besok juga mau ngajak Raka kok. Jadi besok kan Raka bisa ada temannya kalau kamu juga ngajak Adhi.”

“Iya deh aku kasih tahu Adhi dulu.”

“Ya udah. Sampai jumpa besok. Jangan lupa dandan yang cantik jangan kayak biasanya yang cuma pakai bedak tipis,” ucap Dini seraya terkekeh.

“Apa banget deh kamu ni.”

“Gimana kalau kita ke salon bareng aja?! Jadi nanti di salon aku bisa ngarahin kamu ke jalan yang benar,” ucap Dini.

“Kamu ngomong apa sih, bikin pusing aja! Udah aku mau telpon Adhi dulu.” Rosaline mematikan sambungan telponnya.

“Semoga Adhi nggak marah dan dia mau ikut ke acara reuni,” gumam Rosaline. Ia mencoba menghubungi Adhi.

“Iya, Rose? Tumben kamu telpon duluan?” tanya Adhi.

“Dhi, aku mau-“

“Kamu pasti mau batalin janji kita besok kan?!” Adhi memotong ucapan Rosaline.

“Enggak, bukan gitu, Dhi. Aku mau ngajak kamu ke acara reunian. Sebenarnya aku memang mau ngajak kamu jalan tapi aku lupa kalau ternyata besok sore ada acara reuni teman kuliah. Kamu mau temani aku datang ke acara itu kan?”

“Tapi ... apa nggak pa-pa kalau aku ikut kamu ke acara itu?”

“Ya nggak pa-palah, Dhi. Aku malah senang dengar kamu mau ikut ke acara itu.”

“Maksud aku, apa kamu nggak malu kalau ngajak aku ke acara reunian teman kampus kamu?”

“Ngapain harus malu sih?! Kamu itu ngomong apa? Aku malah senang. Kalau gitu besok sore  kamu jemput aku ya.” Rosaline tersenyum, ia senang mendengar jawaban persetujuan dari kekasihnya itu.

“Ya.”

“Ya udah, aku tutup telponnya.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status