Share

Tenggelam Cinta Masa Lalu
Tenggelam Cinta Masa Lalu
Author: Silvia Dhaka

1. Perbedaan yang Tak Sebanding

Seorang pria berkemeja biru muda duduk gelisah dengan sesekali melihat ke arah jam di pergelangan tangannya. Pria itu terus saja memperhatikan pintu masuk restoran tempatnya berada saat ini. Selang beberapa saat kemudian senyum di bibirnya mengembang kala pandangan matanya menangkap sesosok perempuan cantik dengan berbalut setelan pakaian formalnya berjalan cepat menghampirinya.

“Sorry aku telat lagi. Kamu udah pesan makan?” Tanya perempuan itu yang langsung mendudukkan dirinya di kursi yang ada di hadapannya.

“Belum. Aku nunggu kamu, Rose,” sahut pria itu.

“Harusnya tadi kamu pesen dulu, jadi aku sampai sini tinggal makan,” sahut perempuan bernama Rose itu. Namun tiba-tiba Rose tersenyum, “nggak sih, aku cuma bercanda.”

“Iya, aku tahu kamu memang suka bercanda kayak gitu. Ya udah aku pesenin dulu.” Pria itu memanggil pelayan untuk memesan menu makan siang mereka. Setelah semua pesanan mereka dicatat, pelayan pun segera pergi meninggalkan meja mereka.

“Gimana kerjaan kamu, lancar?” tanya Rose.                          

“Yaa begitulah. Biasa aja. Aku nggak kayak kamu yang super sibuk Rosaline.”

Rosaline merasa tak enak hati mendengar ucapan pria di hadapannya ini. “Kalau kamu mau aku bisa cariin pekerjaan yang lebih pantas dari pekerjaan kamu yang sekarang, Adhi.”

“Nggaklah, aku malu. Masa kamu nyariin kerjaan buat aku,” sahut Adhi.

“Ya nggak masalah kalau menurutku, selama itu baik.”

“Nanti aku pikir-pikir lagi,” sahut Adhi.

“Permisi.” Seorang pelayan datang untuk menyajikan pesanan mereka berdua.

“Terima kasih,” ucap Rose. Pelayan itu pun kembali meninggalkan meja mereka.

“Ya udah buruan dimakan. Setelah ini kamu pasti harus balik kerja lagi kan,” ucap Adhi.

“Nggak kok, kerjaan aku udah selesai. Aku jadi bisa ada waktu lebih buat kamu.” Ucap Rose seraya melempar senyumnya pada Adhi.

Adhi mengangguk seraya tersenyum karena hari ini ia bisa banyak menghabiskan waktu dengan kekasihnya. Iya, Adhikari sudah satu tahun ini menjalin hubungan pacaran bersama Rosaline. Kesibukan Rosaline yang terlalu padat membuat hubungan mereka tak seperti hubungan sepasang pria dan perempuan berpacaran pada umumnya. Masih ada sedikit kecanggungan di antara mereka berdua. Bahkan mereka juga tak pernah berucap mesra antara satu dengan yang lainnya.

Terdengar bunyi panggilan masuk dari ponsel Rosaline. Rosaline merogoh tas kerjanya untuk mengambil ponsel miliknya. Rosaline merasa sungkan saat tahu siapa yang sedang menghubunginya saat ini.

“Siapa?” tanya Adhi.

“Atasan aku telpon.”                            

“Angkat aja, siapa tahu penting,” ucap Adhi.

“Ya Pak, selamat siang,” sapa Rosaline saat ia sudah menerima sambungan telponnya.

“....”

“Iya, Pak. Baik, nanti saya kirim ke email. Iya. Oke.” Rosaline kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.

“Ada apa? Kamu pasti diminta balik ke kantor lagi ya?” tanya Adhi.

“Nggak, cuma atasan aku minta dibuatkan laporan dan harus dikirim malam ini juga. Aku kira siang ini aku bisa santai sampai besok, tapi ternyata aku malah ditambahin kerjaan lagi,” lirih Rosaline.

“Ya nggak pa-palah, kamu yang semangat kerjanya. Kamu bawa mobil?”

“Nggak. Aku nggak bawa mobil karena aku pikir kita akan pergi setelah makan siang ini.”

“Habis ini aku antar kamu pulang biar bisa cepat menyelesaikan kerjaan kamu,” ucap Adhi.

“Nggak kok, aku bisa kerjainnya nanti sore aja,” sahut Rosaline.

“Nggak pa-pa, Rose. Aku ngerti kok.” Adhi meraih tangan Rosaline untuk ia genggam.

“Maafin aku ya, Dhi. Aku benar-benar nggak nyangka ada kayak gini. Tapi besok aku libur kok, aku bisa jalan sama kamu,” ucap Rosaline.

“Iya. Ya udah ayo aku antar kamu pulang.” Adhi berdiri dari duduknya, begitu juga dengan Rosaline. Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir untuk mengambil motor Adhi.

***

Adhi menghentikan motornya di depan rumah Rosaline.

“Kamu mau mampir dulu kan?” tanya Rosaline saat ia turun dari motor Adhi.

“Nggak usah, lain kali aja. Aku tahu kamu sibuk, iya kan.”

“Bukan begitu, Adhi. Aku—“

“Nggak pa-pa kok, Rose. Aku tahu kalau kamu sibuk. Aku memaklumi itu. ya udah kamu masuk sana,” ucap Adhi seraya mengulas senyumannya.

“Aku masuk dulu. Kamu hati-hati di jalan.” Rosaline berjalan memasuki rumahnya. Saat membuka pintu pagar ia kembali menolehkan kepalanya ke arah Adhi yang ternyata masih belum pergi. Setelah melemparkan senyumannya kembali, ia langsung berjalan memasuki rumah.

“Ada apa, Kak?”

“Jasmine? Kamu udah pulang?” tanya Rosaline.

“Kakak ditanya malah balik tanya,” ucap Jasmine.

Rosaline menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. “Aku nggak enak deh sama Adhi. Harusnya ini aku jalan sama dia tapi malah tiba-tiba aku ada kerjaan.”

“Ya nggak pa-pa kali, Kak. Kak Adhi pasti pasti ngerti kok,” sahut Jasmine.

“Rose, kamu sudah pulang? Mama siapkan makan siang ya,” ucap Mardina-sang mama.

“Nggak usah, Ma. Aku tadi udah makan sama Adhi,” sahut Rosaline.

“Ya sudah kalau gitu,” sahut Mardina.

“Aku mau ke kamar deh. Mau istirahat bentar terus lanjut kerja,” ucap Rosaline. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menaiki anak tangga.

“Rose.”

“Iya, Ma?” Rosaline menghentikan langkah kakinya.

“Kapan kamu sama Adhi mau meneruskan ke hubungan yang lebih serius?” tanya Mardina.

“Kenapa mesti buru-buru, Ma? Aku sama Adhi kan baru kenal, kita juga perlu lebih saling mengenal satu sama lainlah, Ma. Aku nggak mau sembarangan pilih suami. Ya udah ah aku mau ke kamar dulu.” Rosaline kembali melangkahkan kakinya menaiki anak tangga.

Jasmine dan Mardina saling tatap lalu sama-sama mengendikkan bahu.

“Aku mau susul Kak Rose ah.” Jasmine berjalan menaiki anak tangga menuju kamar sang kakak.

Tok tok tok.

Meskipun Jasmine dan Rosaline adalah kakak beradik yang cukup kompak dan dan terbilang sangat dekat, namun mereka selalu mengetuk pintu sebelum  mereka memasuki kamar antara satu dan yang lain.

“Kak, boleh masuk? Kakak sibuk?” Jasmine memasukkan sedikit kepalanya melalui celah pintu yang ia buka.

“Masuk aja.”

Jasmine langsung masuk dan kembali menutup pintu kamar kakaknya itu. Ia duduk di tepi ranjang Rosaline.

“Muka Kakak semakin kelihatan kusut,” ucap Jasmine.

“Iya, aku malah tambah pusing mikirin kerjaan yang nggak ada habisnya, mikirin Adhi, terus sekarang malah Mama nambah aku pusing dengan menanyakan masalah hubungan aku sama Adhi.”

“Kan Kak Rose juga udah pacaran satu tahun sama Kak Adhi, kenapa nggak diseriusin aja hubungan kalian?” tanya Jasmine.

“Aku sih mau-mau aja lanjutin hubungan kita ke tahap yang lebih serius, tapi kalau sekarang aku masih belum siap.”

“Kenapa?” tanya Jasmine.

“Gimana mau siap kalau Adhi-nya saja masih belum mapan. Nggak mungkinlah aku menikah sama orang yang belum mapan. Adhi sendiri juga masih belum punya simpanan apa-apa. Gimana mau punya simpanan kalau kerjaan dia cuma standar kayak gitu dan gajinya juga sedikit,” sahut Rosaline.

“Emang berapa gajinya?”

“Nggak ada seperempatnya dari gajiku yang sekarang,” sahut Rosaline seraya mendesah lelah.

“Kenapa Kak Rose nggak nyuruh Kak Adhi cari kerjaan  lain aja?”

“Aku sih maunya gitu. Aku udah nawarin dia kerjaan lain tapi dia masih mau pikir-pikir dulu katanya.”

“Iya aku setuju kalau Kak Adhi cari kerjaan lain,” sahut Jasmine.

***

Adhikari berjalan gontai memasuki kamarnya. Ia merasa lelah dengan hubungannya bersama Rosaline yang semakin hari semakin merenggang karena pekerjaan Rosaline yang selalu menuntut banyak waktu hingga kekasihnya itu tak pernah memberikan waktu luang untuk memperbaiki hubungan mereka. Bahkan di akhir pekan seperti ini.

“Kenapa, Dhi?” Badrika berjalan membuntuti adiknya itu menuju kamar.

“Hhhh ... Rose selalu sibuk kerja dan nggak ada waktu buat aku.” Adhi melemparkan tubuhnya di atas ranjang seraya memejamkan matanya.

“Maklumlah ... dia kan manager di sebuah perusahaan besar. Kamu beruntung banget kalau sampai bisa dapatin Rosaline. Hidup kamu akan enak dengan gaji kamu yang sedikit itu. Kamu bisa tinggal di rumah bagus, ke mana-mana naik mobil nggak kepanasan dan ngak kehujanan,” ucap Badrika seraya terkekeh.

Adhi mendengus mendengar ucapan kakak kandungnya itu. “Emangnya aku nggak punya harga diri apa?!”

“Terus apa kamu mau nyuruh Rose keluar dari kerjaannya? Enggak kan?! perbandingan kalian itu semakin terlihat, Dhi.”

“Ya enggak mungkinlah aku nyuruh dia keluar dari kerjaannya, yang ada aku harus coba cari kerjaan lain yang lebih bagus lagi.”

“Ya aku setuju itu.”

“Rose bilang mau carikan kerjaan yang lebih bagus buat aku supaya gaji yang aku dapat bisa lebih besar,” ucap Adhikari.

“Ya udah langsung di coba aja. Lumayan kan gaji besar.”

“Rose udah beberapa kali ngomongin masalah ini tapi aku bilang kalau aku masih mau mikir-mikir dulu.”

“Kenapa harus mikir-mikir lagi?!” seru Badrika.

“Yaaa aku sedikitnya juga gengsilah, Kak. Masa pria maco kayak aku gini dicarikan kerja sama perempuan,” ucap Adhikari.

“Mau duit banyak ngapain pakai gengsi?! Harusnya kamu terima tawaran itu. Gih sana  hubungin pacar kamu itu.”

“Iya, nanti aku hubungi dia. Ya udah aku mau tidur dulu,” ucap Adhikari.

“Kalau gitu aku keluar.” Badrika berjalan keluar dari kamar sang adik.

Adhi menatap langit-langit kamarnya. Harusnya dari dulu ia menerima tawaran yang diberikan Rosaline padanya, mungkin saat ini ia sudah bisa memiliki sedikit tabungan untuk menata masa depannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status