Insiden di kapal? Untuk membunuh rasa penasaranku, Mila langsung kutelepon.
“Hallo Mil, ada insiden apa?”
“Nely kecebur ke laut, Say.”
“Hah! Kok bisa, gimana ceritanya?”
“Nah itu. Aku juga belum tahu gimana kronologisnya. Tadi jam sembilan ‘kan aku ada nego sama pemilik lahan. Jadi HP kumatikan, biar enggak ganggu.”
“Lah terus kamu tahu dari siapa?”
“Ya pas HP mati itu Mas Dhimas telepon. Karena enggak terhubung, akhirnya cuma kirim pesan. Ya itu tadi pesannya, Nely kecebur ke laut.”
“Trus enggak ada pesan lagi?”
“Enggak ada. Suamiku kalo kirim pesan pendek-pendek, Say. Males dia ngetik panjang-panjang. Mending telepon katanya.”
“Trus kamu enggak coba telepon balik gitu?”
“Barusan ini tadi jam 12 aku telepon balik. HP Mas Dhimas dah enggak aktif. Kan kamu tahu sendiri kalo kapal sudah ke tengah laut, su
Du Mila, bikin penasaran saja. Mau bilang apa sih? Temukan jawabannya di bab berikutnya ya.
Aku pernah mendengar laki-laki akan mengalami puber ke dua. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak bergabung di sebuah aplikasi grup klub mobil, hari-hari yang kujalani jadi lebih semangat. Grup itu selalu ramai, sebab ada wanita yang aktif di sana, Tante Nely. Kami biasa memanggil tante untuk member perempuan dan memanggil om untuk member laki-laki. Sikap Nely yang ceria menggelitikku untuk melakukan chat pribadi dengannya. [Hai Tante Nely cantik, lagi apa sekarang … ] Tak kusangka Nely orangnya begitu cair. Dia merespon pesan demi pesan dengan guyonan yang nyerempet-nyerempet. Sebagai lelaki normal, aku semakin kecanduan untuk terus meladeni chat-nya. Namun, pada satu titik, ia menangis. Tatkala menceritakan masa lalunya. Perceraian di usia pernikahannya yang ke sebelas. Sesuatu yang tak pernah disangkanya. Nely mengaku, jika keceriaannya di grup untuk menutupi rasa galaunya ya
Ternyata takdir belum mengantarkanku menjadi janda ditinggal mati. Nely berhasil diselamatkan Mas Wildan saat tercebur ke laut. Mengapa mereka tak terseret arus saja sekalian? Beberapa kasus penumpang tercebur biasanya jarang yang tertolong. Nasib baik rupanya masih memihak kepada kedua sejoli itu. Hatiku cukup panas saat mendengar Mila bercerita bahwa Mas Wildan dan Nely terlihat begitu mesra saat berada di atas sekoci. Mereka tak malu berpelukan meski menjadi sorotan penumpang lainnya. Kupencet lagi nomor Mas Wildan. Ini panggilan video call yang ke lima. Aku ingin melihat wajah suamiku setelah upaya heroiknya menyelamatkan perempuan yang lupa mengurus anaknya itu. “Ya, hallo, Dik,” sapanya yang sedang bertelanjang dada. Rambutnya basah. Aku sempat menelan saliva. Keadaan Mas Wildan seperti ini adalah kelemahanku. Ada desira
Aku harus segera bicara sama seseorang agar beban jiwaku bisa lebih ringan. Di rumah sebenarnya masih ada Lek Titik, tetapi beliau bukan orang yang tepat untuk kumintai pendapat. Sebab solusinya selalu mengajakku ke paranormal. Bukannya aku tak percaya ada jin dan makhluk ghaib lainnya, tetapi hatiku tak nyaman saja jika harus datang kepada mereka. Maka, saat jam istirahat kerja, kuputuskan menemui Ustazah Firoh di rumahnya. Kuceritakan informasi yang kudapat saat berkunjung ke rumah Nely. Juga janji Pak Danu yang tidak akan menerima Mas Wildan. “Kalo faktanya sudah jelas begini, mau tidak mau Bu Alya harus menjelaskan kepada suami soal wali nikah itu. Ini bentuk kasih sayang antara suami dan istri. Saat istri salah suami menasihati. Pun sebaliknya,” nasihat Ustazah Firoh. Akhirnya poin ini yang kutakutkan. Pembahasan masalah wali nikah ini sudah pernah kusinggung sebelumnya. Tahu sendiri Mas
“Al, aku tuh dukung apa pun keputusanmu asalkan kamu itu bahagia,” ujar Mila saat aku sudah balik ke meja. Belum juga jenak duduk. Mila lagi-lagi meyerangku dengan pernyataan retorisnya. “Kamu tadi pas cuci tangan lihat cermin enggak, Say?” “Kenapa kamu jadi serius sih, Mil? Aku yang jalani saja nyantai, kok.” “Sudahlah kamu jangan pura-pura ke aku. Fisikmu beda banget Al. Kapan hari pas jenguk Rheza itu pipimu masih kelihatan berisi, lihat sekarang! Kelihatan ompong, tahu enggak! Kamu berhak bahagia, Al.” “Kamu menyuruhku bercerai, Mil? Entah kamu percaya atau tidak, saat aku memikirkan perpisahan, tiba-tiba dadaku terasa sesak,” sahutku sambil mengeluarkan napas dari mulut. “Enggak lah, aku tentu berharap kalian kembali seperti dulu, tapi aku sangsi,” sahut Mila dengan nada lemas. “Say
Setelah semua tanggung jawab di kantor bisa dikondisikan, juga izin internal kepada atasan sudah dikantongi, akhirnya kuda besi ini mengantarkanku ke kota tempat tinggalnya Mila. Baru kali ini aku nekat ke luar kota menyetir sendiri. Biasanya lariku paling banter ke rumah ibu dan mertua yang masih sekabupaten. Berbekal bantuan aplikasi pencari lokasi, aku tidak mengalami kesulitan menemukan letak rumah Mila dari share lokasi yang dikirimnya. Ini untuk pertama kali aku bertandang ke rumahnya. Sebuah bangunan baru didirikan di atas lahan cukup luas sebab berada di lingkungan perkampungan. Bahkan dekat dengan kebun tebu. Owner property tetapi rumahnya tidak di kawasan perumahan elite. Rencananya kendaraanku akan ditinggal di rumah Mila. Sementara untuk ke kantor kelurahan kami akan memakai kendaraannya Mila karena akan dia
Tepat di penghujung senja, aku tiba di rumah. Pukul sepuluh malam nanti dijadwalkan kapal akan tiba. Aku terima saran Mila untuk menghubungi Bos Anton.[Assalamu’alaikum. Bos Anton, saya Alya istrinya Pak Wildan. Mohon maaf ke depannya mungkin saya akan sering mengganggu karena akan sering bertanya]Pesan masih centang satu. Berarti di kapal belum ada sinyal. Tak lupa kukirim pesan juga ke Mas Wildan.[Mas, jadi liburnya? Turun jam berapa …]Kutanyakan hal ini agar bisa mengontrol pergerakannya. Kira-kira dia sampai di rumahnya Nely jam berapa. Pesan ke Mas Wildan juga masih centang satu. Akhirnya, kuputuskan istirahat karena badan ini terasa begitu lelah meski jam di dinding belum genap menunjukkan pukul sembilan malam. Suara notifikasi pesan membangunkanku di tengah malam. Kulihat ponsel ada pesan dari Mas Wildan dan Bos Anton. Kubaca dulu pesan dari Mas Wildan
Astaga siapa lagi ini? Aku mendiamkan sosok yang tak mau memperkenalkan diri itu. Pikirku dia yang menelepon pasti dia yang butuh.“Maaf, Mbak Alya. Saya tidak mau memperkenalkan diri karena tidak mau terseret masalah Panjenengan, tapi sebagai sesama istri, saya ikut empati,” ujar perempuan yang masih misterius itu.Aku masih diam mendengarkan apa maunya.“Saya hanya mau menginformasikan, jika hari ini kami rencananya akan menindaklanjuti laporan Panjenengan. Sepertinya suami Panjenengan ada di rumahnya Mbak Nely sekarang.”Aku langsung membuang napas kasar. Pernyataannya barusan menormalkan degup jantungku yang berdetak lebih kencang. Ternyata dia pegawai kelurahan. “Ya Mbak, betul. Suami saya memang ada di sana sekarang. Pihak desa mau berbuat apa, Mbak?”&nb
Hampir TaklukMulai jam sepuluh malam hujan turun cukup deras. Aku tak peduli Mas Wildan jadi pulang atau tidak. Setelah mengirim pesan itu, ponsel ku-mode pesawat, sebab diri ini lelah berdebat.Tak tahan dengan efek dingin akibat air langit yang membasahi bumi, kukenakan sweater bahan rajut yang ketebalan dan kelembutannya mengantarkanku mengikuti lelapnya kedua anakku.Entah berapa lama netraku terpejam. Hingga pendengaranku menangkap bunyi tumbukan besi dari selot pintu pagar. Dentingnya cukup memecah kesunyian malam.“Dik, buka pintunya!”Suara tak asing itu memanggilku. Kamu kah itu, Mas?Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari lebih sepuluh menit. Kerudung di cantolan baju kusambar. Dengan mata yang masih mengantuk, kubuka pintu dan pagar untuk Mas Wildan yang akhirnya memutuska