Tepat di penghujung senja, aku tiba di rumah. Pukul sepuluh malam nanti dijadwalkan kapal akan tiba. Aku terima saran Mila untuk menghubungi Bos Anton.
[Assalamu’alaikum. Bos Anton, saya Alya istrinya Pak Wildan. Mohon maaf ke depannya mungkin saya akan sering mengganggu karena akan sering bertanya]
Pesan masih centang satu. Berarti di kapal belum ada sinyal. Tak lupa kukirim pesan juga ke Mas Wildan.
[Mas, jadi liburnya? Turun jam berapa …]
Kutanyakan hal ini agar bisa mengontrol pergerakannya. Kira-kira dia sampai di rumahnya Nely jam berapa. Pesan ke Mas Wildan juga masih centang satu. Akhirnya, kuputuskan istirahat karena badan ini terasa begitu lelah meski jam di dinding belum genap menunjukkan pukul sembilan malam.
Suara notifikasi pesan membangunkanku di tengah malam. Kulihat ponsel ada pesan dari Mas Wildan dan Bos Anton. Kubaca dulu pesan dari Mas Wildan
Astaga siapa lagi ini? Aku mendiamkan sosok yang tak mau memperkenalkan diri itu. Pikirku dia yang menelepon pasti dia yang butuh.“Maaf, Mbak Alya. Saya tidak mau memperkenalkan diri karena tidak mau terseret masalah Panjenengan, tapi sebagai sesama istri, saya ikut empati,” ujar perempuan yang masih misterius itu.Aku masih diam mendengarkan apa maunya.“Saya hanya mau menginformasikan, jika hari ini kami rencananya akan menindaklanjuti laporan Panjenengan. Sepertinya suami Panjenengan ada di rumahnya Mbak Nely sekarang.”Aku langsung membuang napas kasar. Pernyataannya barusan menormalkan degup jantungku yang berdetak lebih kencang. Ternyata dia pegawai kelurahan. “Ya Mbak, betul. Suami saya memang ada di sana sekarang. Pihak desa mau berbuat apa, Mbak?”&nb
Hampir TaklukMulai jam sepuluh malam hujan turun cukup deras. Aku tak peduli Mas Wildan jadi pulang atau tidak. Setelah mengirim pesan itu, ponsel ku-mode pesawat, sebab diri ini lelah berdebat.Tak tahan dengan efek dingin akibat air langit yang membasahi bumi, kukenakan sweater bahan rajut yang ketebalan dan kelembutannya mengantarkanku mengikuti lelapnya kedua anakku.Entah berapa lama netraku terpejam. Hingga pendengaranku menangkap bunyi tumbukan besi dari selot pintu pagar. Dentingnya cukup memecah kesunyian malam.“Dik, buka pintunya!”Suara tak asing itu memanggilku. Kamu kah itu, Mas?Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari lebih sepuluh menit. Kerudung di cantolan baju kusambar. Dengan mata yang masih mengantuk, kubuka pintu dan pagar untuk Mas Wildan yang akhirnya memutuska
Selama perjalanan, kami merencanakan akan bertanya tanpa menyebutkan jika itu merupakan kasus yang kami alami. Agar Pak Kiai tidak merasa sungkan menyampaikan apa yang seharusnya beliau utarakan.Tak terasa mobil sudah memasuki area parkiran pondok pesantren. Lokasi pondok yang berada di tepi jalan raya tidak menyulitkan kami menemukannya.Aku turun dari mobil dan bertanya kepada salah satu santri yang lewat. Kemudian santri itu mengantarkan kami ke kediaman Pak Kiai. Tak lupa, kubawakan buah tangan yang sempat kubeli di kawasan wisata tadi.Santri putri bergamis hitam hilir-mudik membawa kitab. Akhirnya, kami sampai pada bangunan yang cukup asri. Sepertinya ini tempat tinggal Pak Kiai.Setelah melepas alas kaki, kami masuk ke ruang tamu yang di-setting lesehan. Ada rak buku yang cukup tinggi berfungsi sebagai sekat dengan ruangan di dalamnya. Santri yang mengantar kami mempers
Saat jarum jam dinding saling bertumbukan di angka sembilan kami baru sampai di rumah. Hari sudah gelap. Seharian beraktivitas di luar rumah menjadikan badanku terasa pegal semua.Anak-anak sudah tertidur di kamar sebelah. Mas Wildan masih mengunci pagar dan pintu. Setelah itu langkahnya terdengar akan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, dia ikut merebahkan badan di sampingku.“Gimana, Dik?”“Apanya?”“Masalah kita. Ibu sudah bisa nerima Nely, tinggal keluargamu.”“Aku juga nggak bisa nerima dia, Mas.”“Loh kamu ‘kan sudah dengar sendiri penjelasan Kiai Abdullah tadi. Ada pendapat yang bolehin janda nikah tanpa wali. Apalagi yang kamu permasalahkan? Kemarin 'kan kamu menolak karena persoalan itu?”“Tapi kamu pindah mazhab sak enak’e ud
“Aku pingin dia merasa Kak Wildan itu nggak sebaik yang dia kira. Misalnya sudah ada perempuan lainnya yang dinikahi diam-diam juga.” Pembicaraan kami semakin seru. Sampai aku lupa mempersilakan tamuku untuk minum. Tak ada suguhan lain selain air mineral kemasan gelas. Kutawarkan Susi untuk minum terlebih dahulu. “Seru sepertinya. Tar aku bantu mikir gimana caranya,” sahutku merespon usulnya yang menurutku agak gila. “Sip, Mbak Alya. Kita tukar nomor HP saja biar nanti lebih mudah komunikasinya,” jawabnya setelah meneguk air mineral beberapa kali sedotan. Setelahnya kami saling menyimpan nomor ponsel. “Oya, Mbak. Ada yang mau saya tanyakan. Jujur aku syok dengan perubahan perilaku Mas Wildan. Selama ini dia itu baik-baik saja. Bahkan jika ada temannya yang main perempuan, dia menunjukkan sikap menentang, tapi sekarang gentian dia jadi lakonnya,” keluhku dengan nada kecewa. &n
Nely lebih dulu menyadari kedatanganku. Sepersekian detik mata kami beradu. Mungkin aku menakutkan seperti hantu sehingga gestur gelisah terlihat pada dirinya. Lantas ia bergerak mundur seperti ingin menghindariku, namun naas. Ia akhirnya terjatuh dalam kolam dan disambut tumpahan air dari tong raksasa yang ada di atasnya.Aku sebenarnya ingin tertawa melihat kejadian itu, tetapi kutahan. Katanya nggak baik tertawa di atas penderitaan orang lain. Di sisi lain, Mas Wildan tampak dikagetkan dua hal sekaligus. Keberadaanku yang tiba-tiba ada di hadapannya, juga posisi Nely yang terguyur tumpahan air. Segera kuambil Rheza dari gendongan Mas Wildan.“Mas, mana kontak mobilnya? Aku mau jemput Rohim sekarang.”“Kamu ke sini sama siapa?” Dia belum juga memberikan kontak mobil yang kuminta.“Nggak penting. Sudah ah, aku males debat di tempat umum. Kalo Mas masih mau ngadem di sini silakan. Mana kontaknya aku
"Hm … maaf bukan menyalahkan penjelasan, Bapak. Saya –“ Aku tidak mungkin berbohong. Sehingga terpaksa bicaraku tak tuntas.“Oh … Saya kira tadi ada yang salah. Ini Bu Dini sama Mbak siapa namanya--?” Laki-laki berkemeja putih tulang dengan lengan panjang yang dilipat hampir ke siku itu menyipitkan matanya. Seperti mencoba mengingat sesuatu.“Alya, Pak.” Syukurlah Dini membantuku bicara. Lidahku masih keluh rasanya.“Teman sekantor dengan Bu Dini? Atau --?”“Iya, Pak. Sekantor. Cuma tadi pas Bapak presentasi Alya lagi izin keluar.” Lagi-lagi Dini menolongku.“Mbak Alya masih ingat saya?”Dini melotot ke arahku mendengar pertanyaan Pak Akmal barusan.“Masih.” Kujawab cukup satu ka
Waktu menjelang tidur tiba, anak-anak sudah terlelap semuanya. Mas Wildan pun usai mengunci pagar dan pintu. Aku sudah posisi tidur di kamar anak-anak. Rezha yang minta dikeloni menjadi alasan yang tepat untuk menghindar dari Mas Wildan malam ini. Padahal kami biasannya selalu melakukan pillow talksebelum tidur.“Dik, sudah tidur?” Mas Wildan memanggilku. Namun aku pura-pura terpejam. Setelah dipanggil berkali-kali aku tetap tidak menyahut, akhirnya ia menyerah. Kubuka mata sedikit, dia telah bergeser ke kamar sebelah sepertinya. Suasana malam yang sunyi menjadikan sedikit saja ada bunyi, maka akan mudah tertangkap indera pendengaran. Termasuk nada getar dari gawai Mas Wildan yang berulang-ulang. Sepertinya dia belum tidur. Tetapi sedang berbalas pesan.Hingga setengah jam kemudian, suara dengkuran halusnya terdengar. Sepertinya dia sudah terlelap. Perlahan kutegakkan badan. Kutengok k