Share

BAB 3

    lanjutan dua tahun kemudian       

“Aku akan memulai ceritanya, iya atau tidak jawabanmu, aku akan tetap cerita alasannya.”

Lelaki di kursi sana masih terdiam. Duduk nyaman meskipun hatinya enggan. Tidak ingin mengulang penolakan itu. Tidak mau menikmati perasaanya dua tahun lalu.

“Aku ingin tenang, Ka. Sungguh. Kau selalu tahu suasana hatiku berkata apa. Seolah kalian berteman akrab sehingga aku sendiri heran, kenapa kau begitu apik memahamiku sementara aku sulit memahami hatiku sendiri. Dan seharusnya dua tahun lalu kau tahu, aku benar-benar menginginkan ketenangan.”

Hanin mengela napas. Melanjutkan pengakuan pertamanya.

“Ka, sebelum pertemuan pertama kita di ruangan baru yang menghadap jalanan kota itu, sebelum aku melihatmu untuk pertama kalinya sebagai sosok baru di sana, jauh sebelum aku mengira kalau keyakinan kita tak sama dan ternyata aku keliru, dengan beraninya aku sudah menginginkanmu terlebih dahulu. Dalam waktu berbeda ketika aku sedang berkawan dengan imajinasiku sendiri. Ingin bertemu lelaki sepertimu yang lagi-lagi aku sudah tahu kalau perasaan ini nantinya akan berlaku untuk aku sendiri. Semesta mengabulkan. Berbulan-bulan aku terjebak pada perasaan sepihak itu, tidak lagi mengukur seberapa waraskah aku saat itu, hatiku hanya menginginkanmu. Segala tentangmu selama berbulan-bulan itu tetap menjadi riuhnya isi kepalaku. Sungguh itu menyiksaku, Ka. Sangat menyiksa.”

“Salahku di mana Nin, apa aku tahu kalau saat itu kau sedang menaruh perasaan padaku? Sama sekali aku tidak tahu. Tidak pernah kau memberiku kesempatan untuk mengetahuinya.”

“Aku memang menginginkan itu, Ka. Aku yang menginginkan perasaanku tak akan bisa terbaca olehmu. Aku yang keliru. Aku kira perasaan itu akan memudar seiring dengan ramainya orang-orang mengaitkanmu dengan nama baru. Lebih tepatnya, orang baru yang tiba-tiba masuk lingkunganmu dan ia menyukaimu. Mereka kerap melontarkan kalimat itu. Kalimat bila kalian memang ada hubungan. Aku kira dengan ramainya pemberitaan orang, perasaanku akan hilang. Ternyata tidak. Rasa itu terus bertumbuh hebat, terus menyiksaku yang selalu mencoba kuat padahal tidak sama sekali.”

“Seperti yang aku bilang di awal, ini bukan salahmu saja, bukan hanya salahku saja. Kita yang salah. Kita yang tidak pernah berani mengakui perasaan masing-masing. Kita yang tidak pernah mau mengambil kesempatan yang semesta berikan. Kita juga yang tidak pernah mau menghilangkan cinta diam-diam ini dan selalu bersembunyi dibalik ketidaksiapan kita pada hubungan yang sebenarnya. Kita hanya berani bersembunyi dibalik kata sahabat, padahal kedekatan kita tidak pernah bisa disebut persahabatan. Sudah terlalu jauh, Ka. Sangat jauh.”

Karsa tersenyum kecut. Wajah tampan lelaki itu pias. Hatinya tiba-tiba membenarkan pengakuan Hanin. Hatinya sempurna menyesali ketidaktegasannya dalam mengakui hubungan mereka. Terlebih perasaannya.

“Aku minta maaf, Nin,”

“Belum saatnya meminta maaf, Ka,” Hanin membenarkan posisi duduknya. Bersandar pada kaki ranjang, menatap matahari di atas mejanya terus bergoyang tertiup angin yang tiba-tiba mengajak gerimis. Hanin menarik ingatan dua tahun silam perlahan. Mencoba memeluknya. Mencoba meyakinkan dirinya kalau hanya saat ini waktu yang tepat untuk mengakui semuanya dan mengakhiri perasaanya.

“Kau masih ingat mengapa pertemuan kita di ruangan waktu itu, lima belas menit aku terlambat?”

“Ibu Ketua ini sedang duduk melamun di gazebo kampus, kan?”

Keduanya tertawa. Menarik ingatan itu lebih dekat lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status