Share

BAB 5

Hanin dan Karsa tiba di rumah Hanin persis saat matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit berwarna oranye. Mengantarkan matahai beristirahat berganti semburat menawan berhias burung-burung berterbangan guna kembali ke kediaman. Persis di depan gerbang setinggi pinggang ber cat hitam, motor Karsa berhenti menurunkan Hanin yang memasang wajah masam. Meskipun tidak jadi bertemu Pak Tua itu, kata diculik versi Karsa berakhir hujan-hujanan di jalan tapi kebanyakan berteduhnya. Alasan Karsa selalu sama setiap mereka berhenti di pinggir jalan atau ruko-ruko yang pemiliknya memilih menutupnya.

“Kau tidak boleh sakit, Nin.”

Hanin mendengus.

“Kau tidak memperbolehkanku sakit tapi kau mengajakku hujan-hujanan. Tahu seperti ini lebih baik aku bertemu Pak Tua itu.”

“Kalau kau sakit, Pak Tua akan marah besar. Hari ini kau absen darinya, sakit karena hujan-hujana. Wah... aku tidak bisa membayangkan wajah bundarnya semerah apa menahan untuk tidak memakanmu. Astaga aku lupa, Nin! Dia kan punya darah tinggi, kalau kumat setelah memarahimu, stroke karenamu, astaga, nasibmu malang sekali.”

“KARSA! PULANG SANA!”

Motornya diputar, seolah berbalik segera meluncur pergi. Namun, alih-alih pulang Karsa memarkirkan motornya di depan gerbang. Mengunci ganda lalu menggandeng tangan Hanin memasuki pekarangan rumah perempuan itu. Memasuki rumah yang baru dua kali ia kunjungi, tak banyak yang berbeda. Pohon rambutan milik ayah Hanin di sebelah kanan bangunan telah berbuah semakin lebat. Banyak yang matang. Ketika sampai diundakan teras, Aster milik Hanin tumbuh beberapa senti. Daunya sehat, mekar tanpa warna kuning sedikitpun. Rupanya Hanin merawatnya dengan baik atau mungkin hasil rawatan tukang kebun rumah Hanin?

Astermu sehat. Kau berbakat merawatnya.”

“Padahal aku berharapnya mati. Repot mengurus pemberianmu.”

Karsa tertawa. Hanin masih marah sebab hanya berkeliling kota tanpa tujuan, kehujanan pula. Mendiamkannya, Karsa menatap punggung perempuan itu masuk rumahnya. Karsa menunggu di teras barangkali Hanin baik hati membuatkannya teh hangat. Tapi mustahil rasanya saat perempuan itu marah akan bersikap baik padanya. Dan benar, dua puluh menit kemudian Hanin muncul dengan training hitam juga kaos lengan panjangnya tanpa membawa teh hangat. Menyedihkan sekali Karsa.

“Kau jahat ya,” ucapnya. “Aku kedinginan handuk pun tak kau bawakan bahkan segelas teh hangat tidak kau buatkan. Astaga, pantas saja kau menjomlo. Tingkat kepekaanmu sangat kurang, Nin.”

“Pilihannya hanya dua, Ka. Kau ingin pulang atau aku yang masuk ke dalam?”

Tawa Karsa semakin kencang.

“Baiklah aku di sini saja. Tidak kau buatkan teh atau pinjamkan handuk tidak masalah asal hari ini kau merasa lebih baik setelah mengomel sejak bersamaku tadi.”

Hujan deras tadi meninggalkan gerimis. Jatuhnya bertabrakan dengan atap pekarangan buah milik Hanin sehingga berbunyi nyaring. Dua orang yang duduk di teras depan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Lima menit dalam keheningan.          

“Kabar ibumu bagaimana, Nin?”

Hanin berhenti memainkan jemarinya, “Baik. Ibu baik. Masih suka ribut di rumah sana. Masih suka emosi, masih suka mengomel kalau sama Bapak. Kenapa?”

Karsa mengangguk pelan.

“Kalau Bapak?”

“Baik. Masih suka merokok padahal beberapa waktu lalu sudah sembuh. Tapi sepertinya entah karena terlalu stres atau bagaimana dia merokok lagi. Kenapa ya lelaki itu suka merokok?”

“Aku tidak suka,”

“Aku tahu! Bapakku yang kumaksud.”

Karsa tersenyum, “Kau baik-baik saja?”

“Menurutmu? Kau kan pandai bila harus meramalku. Menurutmu, hari ini aku bagaimana?”

“Tidak hanya hari ini, sejak minggu lalu kau seperti dikejar-kejar sesuatu. Ada satu masalah yang aku tidak tahu itu apa, mengganggu pikiranmu. Mungkin pekerjaan, mungkin keluarga atau mungkin kamu sendiri yang menciptakan situasi seperti itu.”

Hanin meringis.

“Aku sedang capek. Rasanya seperti kau dikejar-kejar sesuatu yang tidak tampak wujudnya tapi terdengar kencang teriakannya seolah menyuruhmu harus menyelesaikannya sekarang. Mungkin tuntutan pekerjaan salah satunya, tapi menjadi penulis bukan pekerjaan melainkan hobiku jadi aku tidak keberatan dengan target Pak Tua itu,”

“Kalau keluarga?”

“Rasanya aku sudah khatam merasakan mereka yang apa-apa ribut. Sebenarnya aku lebih suka tinggal di rumah ini. Tidak ada yang mengganggu pikiranku atau setidaknya aku tidak lagi mendengar mereka berdebat kencang. Tapi ya mau bagaimana aku dituntut untuk pulang bila ada waktu. Meskipun rasanya aku lebih betah tinggal di rumah ini sendirian.”

Karsa menganggukkan kepalanya. Dugaannya belum seratus persen benar. Karsa tetap yakin ada hal lain yang mengganggu Hanin selain dua hal itu.

“Perasaanmu bagaimana?”

“Perasaanku baik-baik saja. Tidak terganggu oleh mereka.”

“Bukan itu. Perasaanmu sendiri sekarang bagaimana?”

Hanin tidak paham,

“Tentang yang kau rasakan terhadap dirimu sendiri. Perasaan mengganjal karena orang lain menyakitimu mungkin? Atau perasaanmu terhadap sesuatu yang membuatmu jadi seperti ini. Banyak melamun.”

Hanin paham sekarang.

“Aku sedang tidak memberikan perasaanku kepada siapa pun. Aku nyaman dengan sekarang. Sejauh ini tidak ada yang mengganggu perasaanku terlebih bahasan cinta. Aku rasa aku yang seperti ini terlalu menuntut diri sendiri saja untuk cepat menyelesaikan urusan dengan Pak Tua itu jadi terlihat seperti banyak beban. Selebihnya baik-baik saja. Atau mungkin setelah mendengar kabar orangtuaku akan cerai, ya? Jadi aku seperti ini suka melamun.” Hanin terkekeh di akhir kalimatnya.

Karsa terkejut. Fakta itu baru sekarang ia dengar, “Cerai? Kenapa?”

“Yang namanya pisah ya karena sudah tidak cocok. Hatinya bukan untuk jalan berdua tapi sudah menemukan jalan baru untuk bahagia tapi tidak bisa dilakukan bersama. Ya urusan orangtua mana aku paham sih? Yang aku tahu Bapak menginginkan itu ketika terakhir kali aku menyaksikan mereka marah hebat,”

Hanin menangis tiba-tiba. Suaranya tersendat-sendat, “Aku sampai tidak paham, apakah setiap masalah rumah tangga harus cerai jalan pintasnya? Aku tidak paham sejauh ini kenapa mereka harus ribut melulu. Aku tidak paham, Ka, pikiran orang dewasa kenapa harus seberat itu? Aku masih belum bisa menerima kalau nantinya mereka memilih jalan itu dan aku harus memilih jalan mana yang akan aku ikuti. Aneh rasanya kalau apa-apa sudah bersama, ketika harus berpisah jalannya sudah tidak lagi sama. Rasanya tidak adil saja.”

“Aku masih tidak bisa menerima itu semua. Aku juga tidak bisa memaksa mereka tetap sama-sama sebab hubungan itu mereka yang menjalani. Aku hanya sumber bahagianya saja, bukan penentu bahagia mereka.”

Dua kali Karsa menyaksikan Hanin serapuh ini. Menangisi keadannya yang lagi-lagi bukan keinginannya. Karsa mengusap kepala perempuan itu ketika Hanin menunduk berusaha menyembunyikan tangisanya. Bahunya bergetar pertanda tangisan itu tertahan.

“Emosi, Nin. Mereka sedang dikelilingi kabut emosi. Kalau sudah redam, ibumu tidak akan mengomel, bapakmu tidak akan menuntut cerai. Aku yakin kalian keluarga indah. Kau tumbuh menjadi perempuan seindah didikan mereka. Fase pisah itu pasti datang dalam setiap rumah tangga. Hanya bagaimana pelakunya mempertahankan saja biduk rumah tangganya.”

Bahu Hanin tetap bergetar, Karsa terus mengusap kepala perempuan itu pelan.

“Susah, Nin, kalau sama-sama sudah emosi. Pikiran kita yang bermunculan hanya tentang bagaimana cara cepat menyelesaikannya tanpa terpikirkan keadaan kedepannya. Setiap dari kita pasti pernah capek, merasa tidak adil saja semesta memperlakukan kita, tapi kan kita masih punya hati. Bagaimana caranya saja hati kita ditenangkan agar tidak membuat keputusan macam-macam. Sudah ya... kau tidak boleh seperti ini.”

“Aku capek, Ka. Rasanya capek seperti ini terus,” isakan Hanin meredamkan pengakuannya.

“Andai saja beban seseorang bisa dipindah tangan-kan, aku bersedia mengambil separuh bebanmu agar beralih padaku. Kita tanggung bebannya sama-sama. Kita selesaikan pelan-pelan sembari mencari jalan keluar. Sayangnya tidak bisa. Aku hanya bisa menjadi jalan tengah untuk permasalahanmu saja, Nin.” 

“Tidak masalah kalau merasa capek, Nin. Cukup hari ini saja. Besok capeknya harus sudah berbeda.”

***

Hujannya deras. Benar-benar deras. Sepuluh menit lagi pagi ini seharusnya Hanin sudah ada di kantor bertemu editornya atau bahkan Pak Tua sekaligus mengomelinya terkait kemarin. Harusnya Hanin tidak mengikuti ide Karsa untuk kabur sehari, harusnya Hanin tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktu di teras depan kost-annya bersama Karsa, harusnya tidak boleh melakukan itu. Sepulang kuliah kemarin harusnya Hanin segera menemui Pak Tua itu. Kalau sudah seperti ini rasanya Hanin ingin mengutuk hujan yang datang tanpa kabar-kabar. Bukankan selama ini perasaan seseorang juga selalu datang tanpa mengerti keadaan?

“Kau harus tanggung jawab atas keterlambatanku hari ini, Karsa!”

Hanin memesan taxi online. Meluncur menemui Pak Tua di kantor. Tidak mungkin dia harus hujan-hujanan naik sepeda, kan? Dengan keyakinan penuh, Hanin masuk mobil ketika pesanannya sudah datang. Menyebutkan alamat tujuan selebihnya ia memandang damai jalanan yang diguyur hujan sepagi ini. Apakah hujan tak kasihan kepada orang-orang yang sedang mencari makan di pinggir jalan dengan berjualan, membuka tenda-tenda kecil di trotoar yang harus menutupnya tiba-tiba karena tak mau disapu hujan? Apakah juga tidak mau memberi toleransi kepada loper koran di lampu merah yang terpaksa tak turun jalan pagi ini seperti yang Hanin lihat di ujung trotoar seoarang lelaki muda yang berteduh? Meneduhkan koran-korannya agar tidak basah. Apakah ada kemungkinan mereka mendapat penghasilan di pagi yang sudah hujan lebat seperti ini? Hanin rasanya juga perlu meminta belas kasih kepada hujan perihal dirinya pagi ini, di hujan deras ini yang harus memaksanya ke kantor demi bekerja atau kemungkinan lain ia dimaki habis-habisan. Hanin ingin hujan berhenti. Sepaling tidak bila nanti ia dimarahi, mendung hatinya tidak saingan dengan mendung cuaca kota.

“Terimakasih, Pak.”

Berjalan melewati lobi, menjawab sapaan atau berganti menyapa siapa saja di lobi yang ia kenal. Bila hari ini Hanin harus dimaki, pelaku utamanya harus dihukum habis-habisan. Harus ia omeli seharian atau bahkan seminggu kedepan. Dengan perasaan tak karuan bercampur rasa ingin mengutuk Karsa, Hanin membuka pintu kaca dengan sebelumnya mengetuk terlebih dahulu.

Astaga, aura hitam kentara sekali di ruangan ini.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Hanin. Wajah berias tipis dengan poni menggantung didahinya serta rambut yang dicepol asal karena takut terlambat, pias.

“Selamat pagi, duduk Hanin.” Pak tua tetap fokus pada komputer di depannya. Kepulan kopi panas sepertinya baru saja datang mengisi kekosongan meja kaca sebelah kiri, bersampingan dengan figura kecil menamilkan potret pemilik meja dengan bahagianya.

“Bagaimana? Apakah target dariku sudah kau penuhi? Atau bahkan tetap saja terbengkalai karena itu sebabnya kau tak menemuiku kemarin?”

Nadanya masih datar seperti hari-hari sebelumnya.

“Sudah rampung pak. Salinannya sudah saya kirim ke email,”

“Sepertinya bukan urusanku juga kau kemari atau tidak, tapi aku peduli terhadap karirmu. Aku peduli terhadap apa yang berusaha mati-matian kau usahakan.” Pak tua menyeduh kopinya sedikit.

“Seperti yang aku bilang di awal, aku peduli terhadap karirmu, karyamu terlepas dari apa yang kau lakukan kemarin tanpa alasan. Hari ini aku sibuk, jadwal menemuiku bukankah kemarin? Tapi sepertinya aku akan sulit memarahimu karena nanti alasanmu ini dan itu. Tidak masalah, meskipun  sebenarnya aku tidak mau berurusan dengan orang tak profesional sepertimu, tak apa, aku memaklumi. Kau masih muda, mungkin rasa profesionalmu terhadap kontrak ini masih kurang, aku memaklumi,”

“Bukan seperti itu, Pak,” Hanin menginterupsi. “Kemarin memang salah saya. Salah saya tidak memberi kabar. Maaf kalau saya mengecewakan, tapi untuk urusan rasa profesional, saya rasa sejauh ini saya sudah melakukannya seperti apa yang Bapak ajarkan. Saya minta maaf Pak,”

Pak tua tertawa.

“Kau tak perlu minta maaf padaku, Nin. Kau harus minta maaf pada waktu yang telah kau biarkan terbengkalai begitu saja. Harusnya sebagai orang yang sudah lama mengenalku, kau paham kalau waktu adalah segalanya bagiku. Sekali kau menyiakannya, hari itu juga kau melewatkan kesempatan yang sangat berharga. Apakah aku kemarin kecewa? Sangat. Tapi kembali lagi, aku peduli terhadap karirmu, aku peduli terhadap karyamu.”

Lagi-lagi bahasan utama adalah waktu. Bisa apa ia kalau sudah berurusan dengan pelaku yang tidak mau disalahkan barang sebentar? Seperti yang ia bilang, waktu tidak pernah salah. Tidak pernah ada yang keliru kecuali kita yang terlalu sibuk mengulur keadaan sehingga waktu membabat habis kesempatan yang telah dijanjikan. Lagi-lagi tentang waktu. Kita yang bertingkah, kita juga tak mau salah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status