Share

BAB 6

Author: teduh
last update Last Updated: 2021-06-12 00:22:56

 Lajutan dua tahun kemudian

Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Hanin  mengulang cerita lalunya, Karsa menjadi pendengar setia.

“Lima belas menit keterlambatanku salah satunya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Ka. Ketakutanku sendiri. Tentang pertanyaanku saat kita berteduh waktu itu, itu benar-benar menjadi kekhawatiranku.”

Karsa terkejut, “Diana?”

Hanin tersenyum. Hambar.

“Kau boleh percaya atau tidak, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku keberatan kau dekat dengannya. Terlalu berani jika perasaan ini dikatakan cemburu padahal kita bukan apa-apa. Kita teman. Mungkin dengan perasaan macam-macam. Aku takut, kalian sering bersama melebihi kebersamaan kita. Kau selalu dengan dia ketika ada acara, kau dekat dengannya. Dan posisiku dan Diana sama. Temanmu. Bedanya, kau lebih lama mengenal Diana sementara denganku baru beberapa bulan saja. Aku takut. Ketakutan seorang perempuan. Wajar, kan?”

Karsa menggeleng.

“Kau boleh saja tidak percaya, tapi itu yang aku rasakan. Sudah lama ya? Iya, sangat lama aku menyimpan perasaan itu bahkan jauh sebelum kau menyadari perasaanmu sendiri.”

Karsa meraup wajahnya kasar.

“Kenapa tidak bilang? Kenapa kau diam?”

 Hanin tertawa. Menertawakan perasaannya sendirian.

“Tidak mungkin. Sangat tidak mungkin jika aku mengakuinya terlebih dulu. Kau paham aku seperti apa. Gengsiku terlalu besar apalagi menyangkut cinta-cintaan.Ya namanya juga perempuan. Aku sengaja tidak bilang karena aku sadar, kau pun belum siap untuk menjalin kedekatan. Kau masih nyaman sendiri begitu juga aku yang nyaman dengan perasaan ini.”

 Karsa diam sebentar, mengatur napas yang tak karuan. Karsa tidak tahu, benar-benar tidak mengetahui jika salah satu alasan dua tahun mereka hilang adalah karena kesalahpahaman. Salah paham yang tidak masuk akal. Hanin benar, Karsa belum siap menjalin kedekatan, namun saat di mana mereka akrab di bulan-bulan selanjutnya, terus dekat meskipun ia belum siap mengatakan, Karsa sudah nyaman. Kenyamanan yang lagi-lagi membahayakan. Hanin paham jika Karsa masih ragu dengan perasaannya sendiri. Masih takut memulai, masih takut melangkah ke depan. Tidak mungkin saat itu Hanin jujur terhadap perasaannya, bukankah perempuan sejatinya dipilih bukan memilih?

Hanin percaya hatinya. Percaya jika hatinya mampu melewati perasaan suka tak karuan itu, paling tidak untuk saat itu setelah melihat Diana memandang Karsa berbeda di kursi depan kantin kampusnya.

Di bulan-bulan berikutnya, Hanin sedang berusaha.

 “Seberapa sering selama ini aku menyakitimu atas ketidaktahuanku, Nin?”

“Saat itu belum banyak,”

“Yang aku tanyakan selama ini,” desaknya.

Hujan turun begitu deras. Juni tiba-tiba mendung dengan hujan mengguyur. Cuaca tahun ini berubah-ubah tidak kenal musim. Tentang Juni ini, Hanin sedang mengulik tentang Juni lalu. Tentang memori-memori pada saat itu. Tentang perasaan yang ditumpuk berharap tidak ambruk namun nyatanya tetap saja, meluap mencari muaranya.

“Kau harus dengar alasanku selanjutnya, Ka. Baru kau bisa tahu seberapa besar kau menyakitiku.”

 “Ya apa, Nin? Rasanya aku hanya jadi lelaki jahat yang membiarkan perasaanmu tidak pernah baik-baik saja. Aku tahu aku salah, tidak pernah memberitahumu atau bisa jadi aku terlambat mengatakan kalau perasaan kita sama, kalau memang yang dibahas masalah rasa.”

“Aku tidak mengatakan seperti itu. Aku hanya ingin kau mendengarnya lagi.”

“Lalu bagaimana?”

Hanin menerawang jauh beberapa waktu belakangan. Bertemu Karsa setelah dua tahun tidak saling tatap muka adalah kesalahan besar. Bertemu Karsa hari ini sama saja seperti membuka satu per satu buku lama tanpa bisa dijelaskan sakitnya seperti apa. Buku itu sudah usang. Harusnya dibuang dan tidak pernah lagi dibuka meski hanya dikenang.

 “Setelah aku bertemu editorku hari itu, pak tua tidak marah. Beliau lagi-lagi hanya menunjukkan bahwa ia peduli terhadap karyaku. Ia hanya peduli terhadap karirku. Entah hanya itu saja atau dua pengakuan itu adalah ucapan sebagai penenang, aku merasakan bahwa beliau benar-benar tulus mengatakannya.”

Mata Karsa tidak pernah lepas dari wajah Hanin yang saat ini bercerita dengan berbagai macam raut muka.

“Setelah aku pulang dari kantor, sebenarnya tidak ada niatan untuk jalan-jalan sambil menunggu tukang es doger pinggir jalan di taman kota tempat biasa kita sering kunjungi bersama. Di kursi yang sama, waktu itu Diana datang. Menghampiriku yang sedang duduk sendirian. Aku enggak tahu dia dari mana, tiba-tiba saja dia datang.”

 “Diana lagi?”

Hanin mengangguk.

“Kalian bahas apa?”

Hanin tersenyum, “Bahasan dua perempuan yang ternyata menyukai satu lelaki yang sama.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tentang Juni Lalu   BAB 18 PART 2

    Perbedaan isi kepala antara sosok yang sedang bersandar tampan pada kusen pintu taman dengan prempuan yang sedang bergelut mengagumi corak indahnya berbagai jenis tanaman sangat sulit disatukan. Si perempuan adalah sosok penuh ambisi, pikirannya sesekali tidak pernah mau diajak damai, bahkan keluhan-keluhan mengenai kesehariannya sering diagungkan. Berbeda dengan si lelaki, cenderung optimis, realistis juga terkadang sangat pengertian. Mungkin karena sifat itu pula yang sering disalahartikan oleh orang-orang perihal hubungan macam apa yang sedang keduanya tutup rapat-rapat. Sebuah hubungan alamiah, murni tanpa ada sisi berlebihan seolah menuntut jawab pertanyaan orang-orang tentang sebuah hubungan. Sering Hanin jelaskan, mereka adalah sepasang sahabat. Sering pula orang-orang menyangkal, tidak ada sepasang lelaki dan perempuan murni bersahabat tanpa ada perasaan lain. Mungkin benar, tentang jatuh cinta antara keduanya dimulai dari Karsa sebagai pelakunya. Tapi disatu sisi, Hanin mer

  • Tentang Juni Lalu   BAB 18

    Berada di tempat yang bukan seharusnya ia ada di sana. Bukan. Ini bukan tempatnya, sama sekali bukan. Ia salah menyetujui permintaan lelaki itu. Salahnya menyetujui ajakan yang berakhir mengenaskan seperti ini. Ah, bukan mengenaskan seperti yang kalian bayangkan, hanya saja lingkungannya sama sekali tidak mendukungnya berada di sana sedang dia bukan siapa-siapanya lelaki yang saat ini berada di sampingnya. Berjaket hitam dengan kapucong yang sengaja ia kenakan sebab hujan. Gerimis menyapa dengan ramah, sangat ramah di Juni kali ini.Masih ingat ajakan Karsa untuk pulang kampung menghadiri pernikahan sang sepupu? Iya, sekarang Hanin berada di perjalanan menuju ke sana. Sedang berteduh di warung pinggir jalan, menyeduh teh panasnya juga semangkok mie soto bersama Karsa.“Aku sudah bilang, kan, tadi untuk membawa jaket? Kau ini bebal sekali sih!”“Tadi langit cerah Karsa, mana aku tahu kalau bakal hujan seperti ini. Toh stasiun masih jauh kan? Kem

  • Tentang Juni Lalu   BAB 17

    Satu minggu berlalu. Sepekan yang penuh dengan ketidaknyamanan sekarang telah sampai pada akhir yang disebut melepaskan. Bukan melepas pergi untuk selamanya, hanya melepas sebuah kepergian agar kembali pada kehidupan yang sebelumnya ia jalani.Hari ini tepat satu minggu orangtua Hanin berada di rumah yang berarti hari ini juga mereka harus pamit meninggalkan anak perempuannya untuk hidup sendiri lagi. Pukul sembilan tepat, bersama langit biru berawan, kepergian Sedan hitam milik Bapaknya ia tatap dengan berbagai pandangan memprihatinkan. Entah untuk hatinya, hubungan keluarganya atau malah untuk salah satu dari mereka. Hanin menyayangkan pertemuan kali ini yang dibumbui pertikaian hebat, namun Hanin juga tak bisa membiarkan emosinya teredam begitu saja semalam sampai ucapan yang baru Hanin sadari sekarang, sangat fatal untuk hubungannya dengan sang Bapak. Seperti salam perpisahan mereka beberapa waktu lalu, Pak Hardian hanya menepuk bahunya dua kali tanpa mengatakan apapun. B

  • Tentang Juni Lalu   BAB 16

    “Mau kemana rapi sekali?”“Bertemu teman, Pak. Sekalian ke kantor.”“Sepagi ini? Apa setiap pagi kau selalu pergi-pergi seperti ini, Nin?”Hanin mendengus. Rupanya pakaian pagi ini disalah artikan oleh Bapaknya. Padahal hanya jeans longgar selutut dan denim. Rambutnya hanya dicepol biasa tanpa embel-embel lain dan jangan lupakan tas punggung coklatnya bertengger manis.“Hanin hanya bertemu Karsa. Semalam sudah buat janji kalau pagi ini mengantar Hanin ke kantor. Tidak setiap pagi juga,” jawab Hanin sambil duduk di sofa depan Bapaknya. Memasang jam tangan pemberian orang tua itu bulan lalu.“Karsa teman kuliahmu?” Hanin mengangguk, “Wah, lama Bapak tidak bertemu dengannya. Apa kabar dia? Bapak kira setelah mengantarmu ke rumah waktu itu kalian tidak berhubungan lagi. Pacaran?”&n

  • Tentang Juni Lalu   BAB 15

    Apakah seseorang harus lebih lama menunggu dan bertahan terhadap segala keputusan final mengatasnamakan kebaikan? Apakah seseorang harus terus menunggu tentang sebuah perasaan ganjil yang pada akhinya menciptakan keramaian tersendiri, mengganggu tapi harus dilalui dengan hati yang baik-baik? Apakah seseorang harus terus mengalah terhadap segala perasaan yang dipaksa mengalah padahal berdamai saja tidak mau?Apakah seseorang harus seperti itu?Pada akhirnya, biang masalah yang ditakutkan Hanin datang. Tersenyum ramah, memeluk, mencium lantas mengatakan rindu. Sejauh ini, sejauh dua jam jarum jam sudah mengantarkan sepasang pria dan wanita paruh baya duduk, menggobrol, makan bersama, menonton TV serta kegiatan kekeluargaan lainnya, keadaan masih aman. Melihat kedua orangtuanya saling bersenda gurau adalah pemandangan sejuk untuk hatinya. Karsa benar, apapun ketakutan Hanin tentang hari ini kedatangan mereka tidak bisa ditunda. Dirinya harus menghadapi segala pertengkaran

  • Tentang Juni Lalu   BAB 14

    (lanjutan dua tahun kemudian)Kamar berdinding krem, berkelambu coklat mulai terasa nyaman. Hujan masih turun, di sore hari seperti ini, semesta seolah mendukung kisah lama berusaha dikulik pemiliknya. Pengakuan yang pada akhirnya akan diselesaikan hari itu, entah bagaimana cerita akhirnya, keduanya sepakat menerima apapun keputusan bersama. Perasaan manusia sempurna miliknya tanpa harus ada sutradara lain selain Penciptanya. Perasaan itu sempurna milik satu perempuan, satu laki-laki yang saat ini sedang membongkar rahasia hati sejak lama, yang berusaha ditutupi agar tidak merambah kemana-mana, yang berusaha dipahami setelah beberapa tahun membisu.“Kalau mengingat semenyebalkan apa kau saat itu di toko buku, Nin. Demi Tuhan aku menyesal mengajakmu ke sana,” Karsa mendengus. “Akhir bulan itu aku rasanya tercekik, tabunganku menipis demi membayar lima ratus tagihan buku sialan itu!”Hanin terbahak. Saat di t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status