Home / Rumah Tangga / Terbelahnya Rindu / Bab 4: Pengakuan yang Menghancurkan

Share

Bab 4: Pengakuan yang Menghancurkan

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-10-15 21:02:05

Laras duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong. Ruangan yang biasanya terasa hangat dan nyaman itu kini terasa asing, dingin, seolah tak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.

Kata-kata Nina masih terngiang di telinganya, menghantam jiwanya berulang kali, mengoyak perasaannya hingga tak tersisa.

Anak-anak sudah tidur siang, tertidur lelap di kamar mereka setelah pagi yang penuh dengan permainan dan tawa. Tapi Laras tidak bisa merasakan kebahagiaan dari suara tawa mereka kali ini. Di dalam dirinya hanya ada kekosongan, kehancuran, dan rasa sakit yang tak tertanggungkan.

Pintu depan terdengar terbuka. Langkah-langkah Dimas mendekat, terdengar biasa dan tenang, tanpa ia tahu badai besar yang tengah menghancurkan kehidupan mereka. Laras menoleh perlahan, melihat suaminya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan senyuman kecil seperti biasanya.

“Hai, Ras… Kok bengong?” Dimas menyapa dengan nada ringan. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika melihat ekspresi wajah Laras yang dingin dan kaku.

Laras menatap Dimas tanpa berkata apa-apa. Ia menahan napas, berusaha mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Meski tubuhnya terasa lemas, ia tahu saat ini adalah saat untuk mencari kebenaran.

“Kamu selingkuh, Mas?” tanya Laras akhirnya, suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik. Namun, di balik nada lembut itu, ada kemarahan yang terpendam, ada luka yang tak tertutupi.

Dimas tertegun, seolah tak percaya dengan pertanyaan itu. Wajahnya memucat seketika. Ia menatap Laras dengan mata membulat, mencoba mencari kepastian apakah istrinya serius atau hanya bercanda. Namun, tatapan Laras yang dingin membuatnya sadar bahwa ini bukanlah sekadar pertanyaan iseng.

“Laras… Kamu… kenapa tanya seperti itu?” suaranya terdengar bergetar, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguasai dirinya.

Laras tetap diam, menatap Dimas dengan tatapan tajam yang penuh rasa sakit. Hatinya mendesak untuk mendapatkan kebenaran, meski ia tahu kebenaran itu akan menghancurkan segalanya.

“Ada seorang wanita… datang ke sini tadi pagi. Namanya Nina,” lanjut Laras, suaranya sedikit bergetar. “Dia bilang… dia kenal baik sama kamu. Lebih dari sekadar kenal biasa. Dan sekarang dia… dia sedang mengandung anakmu.”

Mata Dimas melebar, tubuhnya seolah kehilangan keseimbangan. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seolah mencoba menghindar dari kenyataan yang tengah dihadapinya.

Laras mengamati perubahan ekspresinya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apakah Dimas akan berbohong atau akhirnya mengakui kesalahannya. Tapi satu hal yang pasti: ia membutuhkan jawaban, sekarang juga.

Dimas mengangkat wajahnya, matanya terlihat penuh rasa bersalah. Ia membuka mulut, tapi tak satu pun kata yang keluar. Wajahnya memerah, dan ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, meski tahu bahwa tidak ada yang bisa menghapus rasa sakit yang Laras rasakan.

“Maaf, Laras… Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” bisiknya pelan, suaranya nyaris patah.

Kata-kata itu adalah konfirmasi yang Laras tak pernah ingin dengar. Tubuhnya bergetar, matanya mulai panas, dan air mata mengalir deras di pipinya. Seluruh hidupnya, cinta yang ia percaya, janji-janji yang mereka ikrarkan, semua terasa hancur dalam sekejap.

“Kamu… beneran?” suaranya lirih, penuh ketidakpercayaan. “Kenapa, Mas? Apa aku kurang? Apa keluarga ini kurang buat kamu?”

Dimas menggeleng, wajahnya penuh penyesalan. “Laras, bukan begitu… Kamu nggak kurang, kita… kita sempurna. Tapi aku… aku yang salah. Aku… tergoda dan aku nggak bisa menahan diri.”

Laras tertawa pahit, meski air matanya terus mengalir. “Jadi, kamu menghancurkan semua ini… cuma karena godaan sesaat?” Ia menggeleng, tak mampu memahami alasan yang terdengar begitu sepele untuk sebuah pengkhianatan yang menghancurkan hidup mereka.

Dimas hanya menunduk, tak bisa menatap wajah Laras. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk dimaafkan, dan ia tidak punya alasan yang cukup kuat untuk membela diri. Saat ini, hanya ada penyesalan yang begitu dalam.

Laras menatapnya, mencoba menemukan sedikit kejujuran di dalam sorot matanya. “Kamu bilang… kita sempurna, tapi ternyata kamu masih memilih untuk mengkhianati aku, mengkhianati anak-anak kita.”

Dimas menahan napas, mengumpulkan kekuatan untuk bicara. “Aku… aku nggak pernah berniat menyakiti kamu, Laras. Aku sendiri nggak tahu kenapa bisa sampai sejauh ini.”

Laras menggeleng dengan tatapan kecewa. “Kamu nggak pernah berniat menyakiti aku? Apa kamu pikir kata-kata itu bisa menghapus rasa sakit ini, Mas? Kamu menghancurkan kepercayaanku, kepercayaan yang aku bangun dengan susah payah.”

Dimas hanya bisa diam. Kata-kata Laras begitu tajam, menusuk ke dalam hati dan perasaannya. Ia tahu semua ini salahnya, namun ia tetap tak bisa membayangkan kehilangan Laras, kehilangan keluarganya.

“Aku nggak tahu harus bilang apa lagi, Laras… Selain minta maaf. Maaf untuk semua ini. Aku tahu aku nggak pantas dimaafkan,” Dimas bergumam, nadanya begitu putus asa.

Laras terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri meski hatinya terasa sesak. Ia menatap Dimas, wajahnya penuh luka yang dalam. “Maaf? Kamu pikir maaf itu cukup, Mas? Maaf nggak akan mengubah apa pun. Maaf nggak akan menghapus rasa sakit ini.”

Dimas menunduk, rasa bersalah meliputi dirinya. Laras tak tahu harus berkata apa lagi. Hatinya begitu hancur, kepercayaannya terkoyak. Ia merasa seperti berada di tengah badai besar, kehilangan pegangan, tanpa tahu ke mana harus pergi.

Laras menatap Dimas lagi, kali ini dengan pandangan yang penuh kegetiran. “Aku ingin tahu satu hal lagi, Mas… Apakah kamu pernah berpikir tentang aku? Tentang anak-anak? Saat kamu bersama dia?”

Pertanyaan itu membuat Dimas terdiam, wajahnya memucat. Ia tak bisa menjawab, hanya menunduk, tak sanggup menatap mata Laras. Itu adalah jawaban yang lebih dari cukup bagi Laras.

Dimas tak perlu mengucapkan kata apa pun; ketidaksanggupannya untuk menatap Laras saat itu adalah pengakuan yang cukup menyakitkan.

“Aku nggak percaya… kamu melakukan ini kepada aku. Kepada keluarga kita,” bisik Laras, suaranya penuh kepedihan.

Dimas mencoba meraih tangan Laras, namun Laras segera menarik tangannya, menolak untuk disentuh. “Jangan, Mas. Jangan sentuh aku,” katanya dengan suara bergetar.

Dimas menghela napas dalam, tatapannya putus asa. “Laras, aku tahu ini sulit. Tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita tetap bersama, untuk anak-anak.”

Laras tertawa kecil, tawa yang pahit dan penuh luka. “Bersama? Kamu pikir kita masih bisa bersama setelah semua ini? Kamu pikir aku bisa melihat wajahmu tanpa mengingat setiap pengkhianatan yang kamu lakukan?”

Dimas terdiam, wajahnya penuh kepedihan. Laras merasa hatinya semakin hancur melihat suaminya yang tampak menyesal, namun ia tahu penyesalan itu datang terlambat.

“Aku butuh waktu, Mas,” Laras akhirnya berkata, suaranya penuh kelembutan yang bercampur dengan rasa sakit. “Aku nggak tahu apa aku bisa memaafkan kamu. Aku nggak tahu apa aku bisa mempercayai kamu lagi.”

Dimas mengangguk, meski wajahnya penuh kepedihan. “Aku mengerti, Laras. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu apa pun keputusanmu. Tapi, tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku menyesal.”

Laras menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah dinding, tak mampu menatap Dimas. Hatinya terasa begitu lelah, begitu berat dengan rasa sakit yang kini menguasai dirinya. Segala mimpi dan harapan yang pernah ia miliki kini terasa hancur, tersapu habis oleh pengkhianatan yang tak termaafkan.

Ia menundukkan kepala, air mata masih mengalir di pipinya. “Aku nggak tahu, Mas. Aku… aku nggak tahu.”

Dimas tetap diam, menunggu dengan sabar meski hatinya dipenuhi dengan ketakutan. Ketakutan bahwa ia akan kehilangan segalanya, kehilangan orang yang paling ia cintai.

Keheningan melingkupi mereka, seolah waktu berhenti. Dalam keheningan itu, Laras tahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi. Kepercayaan yang selama ini ia berikan kepada Dimas kini terkoyak, dan ia tak tahu apakah bisa diperbaiki.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Laras merasa bahwa kebahagiaan yang ia miliki hanyalah ilusi. Ilusi yang kini hancur berkeping-keping, tak tersisa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbelahnya Rindu   Bab 150: Cinta yang Tak Terduga

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh

  • Terbelahnya Rindu   Bab 149: Kebebasan Dimas

    Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.

  • Terbelahnya Rindu   Bab 148: Kehidupan Baru Laras

    Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu

  • Terbelahnya Rindu   Bab 147: Pertemuan Terakhir dengan Dimas

    Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk

  • Terbelahnya Rindu   Bab 146: Sarah yang Menerima Kenyataan

    Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara

  • Terbelahnya Rindu   Bab 145: Pemulihan Naya

    Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status