Home / Rumah Tangga / Terbelahnya Rindu / Bab 5: Kemarahan yang Tertahan

Share

Bab 5: Kemarahan yang Tertahan

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-10-15 21:04:30

Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.

Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.

“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.

Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”

“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”

Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar dulu. Aku… aku memang kenal Nina, tapi aku nggak pernah berpikir ini akan jadi seperti ini.”

“Kamu kenal dia? Kamu cuma ‘kenal’ dia?” Laras menyelipkan jemarinya ke rambut, mencoba menenangkan kemarahan yang terasa semakin meledak di dalam dirinya. “Dia bilang, dia hamil anak kamu, Mas. Anak kamu!”

Dimas diam, menunduk tanpa berkata apa-apa. Laras mengamati ekspresi suaminya dengan hati yang semakin pedih. Keheningan itu berbicara lebih banyak dari jawaban mana pun yang bisa Dimas berikan. Laras merasa tubuhnya melemas, namun kemarahan dalam hatinya justru semakin memuncak.

“Kamu nggak berniat menjelaskan apa pun, kan?” Laras mendesak, nadanya tajam dan penuh kekecewaan. “Apa kamu masih mau menyangkal kalau kamu sudah mengkhianati aku, mengkhianati keluarga kita?”

Dimas mendesah, mencoba menghindari tatapan Laras yang penuh luka dan amarah. “Aku nggak mau ini terjadi, Laras. Aku… aku nggak bisa mengontrol perasaanku waktu itu. Itu adalah kesalahan yang bodoh, dan aku menyesal.”

Laras tertawa pahit, tawa yang penuh kepedihan. “Kesalahan yang bodoh? Kamu tahu nggak, Mas? Kesalahan bodoh kamu ini menghancurkan hidupku! Aku percaya sama kamu. Aku memberikan segalanya untuk keluarga ini, untuk kamu, tapi apa yang kamu lakukan?”

Dimas masih menunduk, tak berani menatap Laras yang kini menahan air mata. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu, Laras. Aku tahu aku salah, dan aku siap bertanggung jawab. Aku siap memperbaiki semuanya.”

“Memperbaiki?” Laras mendekat, berdiri tepat di depan Dimas yang masih duduk dengan kepala tertunduk. “Bagaimana caranya kamu memperbaiki sesuatu yang sudah kamu hancurkan, Mas? Kamu pikir dengan permintaan maaf, semua ini akan hilang begitu saja?”

Dimas akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Laras dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Aku tahu ini nggak mudah. Aku tahu aku sudah menyakiti kamu. Tapi aku mencintai kamu, Laras. Aku mencintai keluarga kita. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Laras menggeleng, tatapannya penuh kekecewaan. “Cinta? Kamu bilang kamu mencintai aku, tapi kamu malah memilih wanita lain. Kamu menghancurkan kepercayaan yang aku bangun selama ini. Apa itu cinta, Mas?”

Kemarahan yang selama ini ia tahan akhirnya meledak. Laras menumpahkan semua rasa sakitnya, semua pertanyaan yang selama ini berputar di kepalanya. Dia menatap Dimas dengan air mata yang mulai mengalir, namun nadanya tetap tegas.

“Kamu tahu nggak, Mas? Aku selalu membanggakan kamu. Aku selalu bilang ke teman-temanku kalau aku punya suami yang baik, yang setia. Aku bahkan pernah bilang ke anak-anak kalau kamu adalah ayah terbaik yang bisa mereka miliki.” Laras menunduk, suaranya bergetar. “Tapi kamu merusak semua itu.”

Dimas memejamkan mata, seolah tak mampu mendengar kata-kata Laras yang semakin tajam. Ia tahu bahwa semua ini adalah kesalahannya, tapi ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. “Laras, aku minta maaf. Aku tahu aku nggak pantas untuk dimaafkan, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal.”

Kata-kata itu tak lagi berarti bagi Laras. Hatinya sudah hancur, dan penyesalan Dimas terasa tak ada artinya. “Mas, tahu nggak? Maaf kamu itu nggak cukup. Kamu menyesal? Aku nggak peduli. Yang aku tahu, aku hidup dengan seorang pembohong, seorang pengkhianat.”

Mereka saling berpandangan, dalam keheningan yang penuh ketegangan. Dimas mencoba meraih tangan Laras, tapi Laras segera menarik tangannya. “Jangan sentuh aku, Mas. Aku bahkan nggak tahu siapa kamu lagi.”

Dimas menarik tangannya kembali, menunduk dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tahu, aku nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi tolong beri aku kesempatan. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berubah. Aku akan melakukan apa saja agar kamu bisa memaafkan aku.”

Laras menggeleng, menahan air mata yang semakin deras. “Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu, apalagi mempercayai kamu lagi. Kamu sudah menghancurkan semuanya.”

Di dalam hatinya, Laras ingin sekali memaafkan, tapi luka itu begitu dalam. Kepercayaan yang dulu ia berikan dengan sepenuh hati kini hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti berdiri di pinggir jurang, di antara cinta yang pernah ia rasakan dan kenyataan pahit yang kini ia hadapi.

Dimas terdiam, menunggu apa pun keputusan Laras. Dalam keheningan itu, Laras merasa perasaan cinta dan kepercayaan yang dulu ia miliki mulai sirna, tergantikan oleh kemarahan dan kekecewaan yang begitu dalam.

“Aku butuh waktu,” akhirnya Laras berkata dengan suara lirih, nyaris berbisik. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Aku nggak tahu apakah aku bisa melanjutkan hidup bersama kamu.”

Dimas mencoba menahan air mata, meski hatinya hancur mendengar kata-kata Laras. Ia tahu, jika Laras pergi, ia akan kehilangan segalanya. Namun, ia juga tahu bahwa semua ini adalah kesalahannya, dan ia harus menerima konsekuensinya.

“Baik, Laras. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu apa pun keputusanmu,” kata Dimas dengan suara bergetar, penuh rasa putus asa.

Laras menatapnya sekali lagi, sebelum berbalik meninggalkan ruang tamu. Air matanya masih mengalir deras, namun ia tak bisa lagi menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia melangkah ke kamar, menutup pintu di belakangnya, dan membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.

Di luar, Dimas terduduk di ruang tamu, menyesali segalanya. Ia merasa seperti kehilangan bagian terbesar dalam hidupnya, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu, berharap bahwa suatu hari Laras akan memberinya kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

Namun, di dalam hatinya, Laras tahu bahwa hidup mereka tak akan pernah sama lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbelahnya Rindu   Bab 150: Cinta yang Tak Terduga

    Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh

  • Terbelahnya Rindu   Bab 149: Kebebasan Dimas

    Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.

  • Terbelahnya Rindu   Bab 148: Kehidupan Baru Laras

    Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu

  • Terbelahnya Rindu   Bab 147: Pertemuan Terakhir dengan Dimas

    Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk

  • Terbelahnya Rindu   Bab 146: Sarah yang Menerima Kenyataan

    Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara

  • Terbelahnya Rindu   Bab 145: Pemulihan Naya

    Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status