Kembali pada rutinitasnya di kantor, Varisha mencoba fokus pada pekerjaannya. Hari ini, dia merasa sedikit terganggu oleh pertemuan pagi tadi dengan Arshaka. Meskipun mereka terus berpapasan, hubungan mereka yang rumit selalu menghadirkan ketidaknyamanan yang tidak bisa dihindari.
Beberapa jam berlalu, dan Varisha sedang sibuk menyelesaikan beberapa tugas ketika telepon kantor di sebelahnya berdering. Dengan sigap, dia menjawab panggilan itu dan memberi salam dengan sopan.
"Selamat siang," Varisha akhirnya berkata dengan sabar, mencoba memahami situasi.
Namun, hanya ada keheningan di seberang sambungan, dan Varisha mulai merasa curiga. Kemudian, suara yang sangat dikenal membuat hatinya berdebar kencang, "Varisha."
Varisha menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menjaga dirinya tetap tenang. "Apa yang bisa saya bantu, Pak? Apakah Anda ingin berbicara dengan Pak Ganendra?" tanyanya dengan nada yang tetap profesional.
Arshaka hanya terdiam sejenak, membuat Varisha merasa tidak nyaman. Ketika dia akhirnya menjawab, suaranya lebih lembut dan penuh rasa daripada biasanya, "Saya hanya ingin mendengar suaramu."
Tiba-tiba, seakan kehilangan kepercayaan diri, Varisha menjawab, "Maaf, Pak, kalau Anda tidak memiliki kepentingan apa pun, saya akan mengakhiri panggilan ini."
"Saya akan tiba di kantormu dalam beberapa menit, dan kita akan makan siang bersama." Arshaka kembali bersuara dengan nada yang lebih tegas kali ini.
"Maaf, Pak, kalau Anda ingin bertemu Pak Ganendra, saya akan mengatur waktu yang tepat. Tapi kalau Anda tidak punya kepentingan lain, saya akan melanjutkan pekerjaan saya."
Arshaka tak menghiraukannya. "Saya akan datang ke ruanganmu, Varisha, kalau kamu tidak menemui saya."
Tanpa menunggu lagi, Varisha menutup telepon dan meletakkannya kembali ke alatnya. Dia merasa takut akan keanehan sikap Arshaka yang sangat asing baginya.
***
Varisha menunggu dengan cemas di lobi, hatinya berdebar keras. Entah apa yang telah terlintas di pikirannya, tetapi ancaman Arshaka mengunjungi ruangannya telah menciptakan ketegangan yang luar biasa dalam dirinya.
Meskipun awalnya Varisha berencana untuk menolak permintaan Arshaka, rasa takut akan kemungkinan Arshaka yang datang ke ruangannya membuat hatinya tidak tenang. Varisha tidak ingin mempertimbangkan skenario terburuk, tetapi dia merasa cemas akan gosip-gosip dan penilaian orang jika Arshaka benar-benar mengunjunginya.
Saat mobil mewah Arshaka berhenti di depannya, Varisha merasa jantungnya berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang, dia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang di belakang bersama dengan Arshaka.
Arshaka tersenyum sinis, tatapannya menusuk ke dalam jiwa Varisha. "Kamu tampaknya cukup terburu-buru," ujarnya dengan nada dingin, tetapi penuh dengan kepuasan yang tak terungkapkan.
"Saya tidak pernah membayangkan kamu akan menunggu saya, mengingat sebelumnya kamu tampak menolak," ujarnya dengan nada dingin.
Varisha merasa kesal karena permainan kata-kata Arshaka. Dia mencoba mengabaikan godaan itu dan menjawab dengan tegas, "Saya hanya ingin menyelesaikan ini dan membayar kesalahan saya, Pak. Setelah itu, semuanya akan berakhir."
“Saya tidak tahu hal apa yang sudah saya lakukan. Tapi, sepertinya kamu begitu membenci saya,” gumam Arshaka sambil menatap Varisha.
“S-saya hanya merasa tidak seharusnya Anda bersikap seperti ini. Saya hanya tidak ingin orang lain menjadi salah paham,” balas Varisha dengan sedikit tegang.
Arshaka tidak merespon perkataan Varisha. Dia hanya menatap wajah gadis itu sebentar sebelum memalingkan pandangannya ke jendela samping.
Selama beberapa saat hanya ada keheningan di antara mereka hingga akhirnya mobil itu sampai di restoran yang telah dipilih Varisha. Sebuah tempat yang sesuai dengan keinginan gadis itu untuk menjaga privasi mereka agar tidak ada kesalahpahaman yang berpotensi muncul di kantor atau di kalangan rekan-rekan kerja.
Aryo, supir pribadi Arshaka segera membukakan pintu untuk atasannya itu. Sementara Varisha memilih untuk keluar dari pintu yang lainnya. Setelah mereka berdua keluar dari mobil, Arshaka memimpin jalan menuju pintu masuk restoran. Varisha mengikuti, langkahnya terasa berat.
Di dalam, mereka dipandu ke meja yang cukup tersembunyi. Saat mereka duduk, Varisha menatap Arshaka dengan tatapan tajam. "Sekarang Anda sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan," ucapnya dengan suara yang lebih mantap, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Arshaka menyeringai, mencoba menekan senyuman penuh makna yang ingin keluar dari bibirnya. "Tentu saja," katanya, memilih untuk tidak melanjutkan diskusi yang tidak diinginkannya.
Tak lama, pelayan datang untuk mengambil pesanan mereka. Arshaka dengan percaya diri menyebutkan pesanannya, sementara Varisha memilih menu tanpa melihatnya dengan seksama. Pikirannya lebih sibuk mencari cara untuk mengakhiri pertemuan ini secepat mungkin tanpa menimbulkan lebih banyak konflik.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pesanan mereka tiba. Tanpa ragu, Varisha mulai menyantap makanannya dengan lahap tanpa mempedulikan tatapan Arshaka yang terus menerus mengamatinya.
Waktu seolah berjalan dengan lambat saat Varisha menyantap makanannya dengan lahap. Sementara Arshaka terus mengamatinya, senyumannya yang dingin tak pernah lepas dari wajahnya. Pertempuran batin yang terus berkecamuk di dalam diri Varisha membuatnya tidak tahan untuk berlama-lama di sana.
Setiap sendok makanan yang masuk ke mulutnya terasa seperti beban yang semakin berat, mendorongnya untuk menghabiskan makanannya dengan cepat. Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, perasaan takut, dan kebingungan mengganggu setiap gigitan makanan yang diambilnya.
Arshaka membuka suara, merobek keheningan dengan kata-katanya yang dingin. "Pelan-pelan saja makannya. Saya tidak akan mencuri makananmu."
“Saya tidak mau berlama-lama di sini,” jawab Varisha dengan mulut yang masih penuh makanan.
Arshaka tertawa pelan, membuat Varisha semakin tidak nyaman. “Sepertinya kamu memang tidak suka menghabiskan waktu bersama saya.”
“Apa saya membuat kamu tidak nyaman?” tanya Arshaka membuat Varisha terdiam.
“Itu sih jelas,” ucap Varisha dalam hatinya.
Varisha mencoba untuk tetap tenang dan memusatkan perhatiannya pada hidangan di depannya. Meskipun dia tidak merasa nyaman dengan keberadaan Arshaka, dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di hadapan pria itu.
Varisha menghindari tatapan tajam Arshaka, fokus pada makanannya yang semakin berkurang. "Saya hanya tidak suka makan dengan orang asing."
Arshaka hanya memiringkan kepala, tatapannya yang tajam tidak lekang meski Varisha mencoba membela diri. Namun, keheningan di antara mereka berdua tiba-tiba terhenti ketika Varisha melihat sosok Adelia yang berdiri di pintu restoran. Dalam kepanikan, dia merasa takut akan konsekuensi dari pertemuan mereka yang mungkin akan diketahui oleh Adelia.
Hati Varisha berdetak begitu kencang sehingga ia merasa seakan-akan seluruh restoran bisa mendengarnya. Ia mengumpat dalam hati saat melihat Adelia yang mulai mendekati meja mereka. Dalam kepanikan, Varisha segera merosot ke bawah meja, menarik tasnya dan juga membawanya minumannya. Dia memastikan bahwa tubuhnya tidak terlihat dari luar, sambil berusaha mengendalikan nafasnya agar tidak terdengar terlalu keras.
Dari bawah meja, Varisha mendengar suara lembut Adelia yang berbicara dengan Arshaka. Walaupun ia hanya mendengar suara mereka tanpa melihat ekspresi wajah mereka, namun detak jantungnya makin cepat setiap kata yang keluar dari mulut Adelia. Seolah takdirnya bergantung pada keputusan Arshaka.
“Kakak pesan semua ini untuk sendiri?” tanya Adelia.
“Tadi aku habis meeting sama klien,” jawab Arshaka dengan tenang.
“Kamu sendiri kenapa ada di sini?” tanya Arshaka.
“Oh, aku ada janjian sama teman aku di sini,” balas Adelia.
“Kalau gitu aku makan di sini aja ya, Kak? Sekalian aku mau kenalin Kakak sama teman-teman aku,” ujar Adelia dengan penuh semangat.
Varisha membeku. Matanya yang penuh ketakutan memandang ke atas, berharap dengan keras agar Arshaka menolak permintaan Adelia. Di bawah meja, Varisha menggigit bibirnya untuk menahan gejolak perasaan yang tak terkendali. Namun, tiba-tiba ia merasakan sensasi aneh ketika tangan Arshaka menggenggam tangannya dengan lembut. Ia hampir tidak percaya dengan sifat Arshaka yang begitu jauh dari apa yang dulu pernah ia kenal.
“Sial,” gumam Varisha sambil berusaha melepaskan tangannya.
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s