London, Inggris.
Sebuah Rolls-Royce super mewah anti peluru dengan model limosin berhenti di depan sebuah rumah super megah. Seorang pelayan membukakan pintu mobil untuk perempuan cantik berambut cokelat keemasan yang baru saja tiba.
“Terima kasih, Sofia,” ucap perempuan berambut cokelat keemasan dengan ramah.
Sofia tak menjawab ucapan dari perempuan berambut cokelat keemasan. Dia terlihat gugup dan berkali-kali mendesis lirih.
“Ada apa, Sofia?” tanya perempuan berambut cokelat keemasan.
Sofia lagi-lagi mendesis lirih dan bergumam. “Hm … hm … itu ….”
“Itu apa, Sofia?” perempuan berambut cokelat keemasan tak sabar. “Jangan membuatku bingung.”
“Hm … itu … M-Mrs Mordha m-mencari Anda sejak tadi, Mrs Emma Mordha,” ungkap Sofia tergugup.
Perempuan berambut cokelat keemasan yang dipanggil sebagai Emma Mordha masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Ia yang sebelumnya sedang bahagia pun mendadak waswas.
Emma menoleh sembari mengerutkan alis. “Apa Eleanor tak bilang kalau aku ke rumah sakit?”
“S-Sudah, tetapi hm … Beliau … t-tetap marah,” terang Sofia gelagapan dengan langkah kaki tergesa-gesa mengikuti Emma.
Emma berhenti sejenak saat tiba di depan pintu kayu berwarna putih dan berukiran warna emas. Seluruh interior ruangan pada rumah didekorasi menggunakan warna tersebut. Namun, pintu berukiran paling mewah hanya milik kamar tidur utama.
Emma tak tahu apa yang akan ibu mertua katakan padanya sekarang. Yang pasti, dirinya akan terkena teguran lagi. Ia salah karena tak izin pada nyonya besar, tetapi dirinya pergi mengunjungi rumah sakit bukan jalan-jalan.
Emma menoleh pada Sofia yang masih setia berada di sebelahnya. “Kau boleh pergi sekarang, Sofia,” pintanya.
“B-Baik, Mrs Emma Mordha,” jawabnya patuh.
Emma seorang perempuan berkebangsaan Amerika yang menikah dengan seorang laki-laki berkebangsaan Inggris. Ia ikut dengan Nate—suaminya, pindah ke Inggris sejak menikah dua tahun yang lalu. Mereka berdua tinggal di kediaman Mordha karena kediaman itu terlalu luas jika hanya dihuni oleh orang tua Nate saja.
Sejak itu, ada dua Mrs Mordha di kediaman Mordha. Nyonya besar milik Josephine—ibu Nate, sedangkan nyonya kecil milik Emma. Mereka memutuskan memanggil Emma lengkap dengan nama depannya agar tak tertukar.
Emma menarik napas dalam-dalam, kemudian mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Suara ketukan pada pintu pun terdengar sangat pelan dan hati-hati. Namun, tak ada jawaban dari dalam kamar tidur. Emma mengulangi ketukan sebanyak tiga kali lagi.
Emma menunggu beberapa saat sebelum hendak mengulangi lagi, tetapi seseorang lebih dulu membuka pintunya. Ia yang sudah bersiap menarik kedua sudut bibir ke atas, mendadak urung saat seorang perempuan berambut panjang warna hitam di hadapannya.
Emma terkejut karena bukan Josephine yang membuka pintu, melainkan perempuan yang tak disukai olehnya.
“Mia?” panggil Emma.
“Halo, Emma,” sapa Mia dengan aksen Inggris yang kental. “Lama tak bertemu denganmu.”
“Siapa, Mia?” Josephine bertanya dengan sangat lembut dan mendayu-dayu.
“Emma sudah datang, Mrs Mordha,” terang Mia.
“Aneh!” batin Emma. “Bukankah aku menantu di sini?”
Emma memalingkan wajah dari Mia. “Apa karena dia sudah lebih dulu datang ke sini jadi merasa tuan rumahnya?” gerutunya dalam hati.
Emma merasa jengkel karena merasakan kedekatan Josephine dan Mia. Ia tak pernah ditanya oleh Josephine dengan sangat lembut seperti yang baru saja didengar olehnya. Selain itu, dirinya diperlakukan seperti seorang tamu yang baru datang oleh teman kecil dari Nate.
Emma mengetahui Josephine sering menghabiskan waktu bersama Mia setiap Mia sedang berada di London. Jujur saja, dirinya jijik sampai ingin muntah setiap mendengar Mia begini sedangkan dirinya begitu. Emma muak dibanding-bandingkan dengan Mia.
Raut wajah Emma berubah saat melihat Mia. Ia hendak meninggalkan depan kamar tidur dan kembali lagi nanti. Sayangnya, Josephine sudah lebih dulu tiba di belakang Mia.
Josephine langsung mengambil alih pintu kamar dari Mia. Dia berdiri dengan dagu terangkat dan tangan di pinggang, lalu mulai mencerocos tanpa mempersilakan Emma masuk lebih dulu.
“…, kenapa kau selalu saja membangkang, Emma?” ketus Josephine dari pintu kamarnya.
“Membangkang?” Emma mengulangi dengan lirih.
Ia melirik ke kanan kirinya. Ada beberapa pelayan sedang membersihkan sekitar kamar tidur utama yang pasti mendengar pembicaraan mereka. Emma tak merasa malu pada para pelayan karena sudah sering diperlakukan seperti itu oleh Josephine.
Yang menjadi masalah, Josephine memarahi dirinya di hadapan Mia. Maka, bertambah lagi bahan untuk membanding-bandingkan mereka berdua. Ia yakin kalau Mia sedang menertawakan dirinya dalam hati.
Emma menghela napas pasrah. “Mum, aku tak enak bad—”
“Aku tahu!” potong Josephine sembari membentak. “Bukankah tadi aku bilang akan menyuruh Eleanor memanggil Dokter Morgan untuk memeriksamu?”
Josephine memicing. “Tetapi kau sudah lebih dulu keluar rumah!” sinisnya.
Emma sudah dua tahun tinggal di kediaman Mordha dan sangat jarang keluar kediaman itu. Ia baru keluar jika Nate mengajaknya makan malam di restoran atau ada acara. Meski begitu, Emma memiliki sebuah ponsel pintar sehingga dapat mengecek letak rumah sakit terdekat.
Kediaman Mordha berada di Merton Lane, Camden, sedangkan rumah sakit terdekat berada di Magdala Ave, Islington. Kurang lebih jaraknya hanya tujuh menit.
Emma merasa memanggil dokter akan memakan waktu lebih lama karena hari sudah sore dan khawatir akan ada kemacetan. Apalagi, rumah sakit Dokter Morgan berada di Westminster Bridge Road, Southwark, yang berjarak kurang lebih empat puluh menit.
“Mum, Dokter Morgan pasti akan tiba lebih lama,” jelas Emma dengan lembut.
“Alasan! Kau hanya ingin keluar rumah, Emma!” Josephine menatap sinis pada Emma. “Apa kau sadar yang kau lakukan? Orang-orang akan membicarakan tentang keluarga Mordha!”
Emma tak mengerti yang ditakutkan oleh Josephine. Orang-orang tak mungkin bergunjing tanpa sebab hanya karena keluarga Mordha keluar dari kediaman.
Emma agak melongo. “Mum, aku—”
“Diam!” Josephine lagi-lagi memotong kata-kata Emma. “Kalau sampai ada omongan yang tidak-tidak tentang keluarga Mordha, itu salahmu!”
Josephine dan Mia menatap Emma dengan sinis. Seolah Emma baru keluar kediaman untuk menjelek-jelekkan keluarga Mordha atau berselingkuh dari Nate.
“Pergi dari sini, Emma!” perintah Josephine dengan kasar. “Aku kesal melihat wajahmu!”
Emma melihat Mia terkekeh di belakang Josephine, tetapi tak ada yang dapat Emma lakukan. Ia hanya mengepalkan tangan di gaunnya, kemudian berbalik dan menuju ke arah tangga. Langkah kakinya berhenti sejenak saat mendengar Josephine mengatakan lebih suka Mia yang menjadi menantunya daripada Emma.
Jujur saja, Emma merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Josephine tak pernah menyukainya. Paling tidak, Josephine bisa lebih menyembunyikannya. Padahal selama menikah, baru sekarang Emma tak menuruti Josephine.
Emma tiba di kamar tidurnya dan kembali menghubungi Nate yang sudah seminggu tak ada kabar. Ia hanya ingin berbicara dengan Nate. Bukan untuk mengadu, melainkan rindu. Emma hanya ingin mendengar suara Nate.
Akan tetapi, hasilnya masih nihil. Emma masih belum bisa menghubungi Nate. Ia lagi-lagi mengirim pesan meski tahu tak akan mendapat balasan, lalu berbaring di atas ranjang dan menangis sendirian.
“Apa Nate sangat sibuk sampai tak ada waktu untukku?” Emma terisak-isak.
Setelah lelah menangis, Emma pun tertidur lelap. Ia tak mendengar suara ketukan di pintu kamar dari pelayan dan terlewat makan malam.
Selama sebulan belakangan, Emma jarang terlewat makan malam karena harus mengerjakan tugas harian kaligrafi. Ia mengikuti kelas kaligrafi setelah waktu makan siang dan baru mengerjakan tugas setelah makan malam. Jadi, tangannya tak gemetar.
Selama sebulan itu juga, Emma hanya bangun pagi untuk menyiapkan pakaian Nate ke kantor. Ia tidur lagi karena tak boleh mengantuk untuk kelas lainnya. Belum lagi, kalau harus melayani suaminya dulu maka tugas kaligrafi akan sampai lewat dini hari.
Keluarga Mordha selalu sarapan pukul tujuh pagi, para pekerja sarapan pukul delapan pagi dan setelah itu semua akan melakukan aktivitas masing-masing. Jika terbangun pukul sembilan, Emma harus sarapan di dapur sendirian.
Emma baru saja terbangun saat matahari pagi sudah naik. Sinar matahari pagi sudah menyusup antara tirai jendela kamar yang terembus angin. Emma tertidur bahkan sebelum sempat menutup jendela kamar.
Ia tercekat dan terduduk di atas ranjang. “Jam berapa sekarang?” tanyanya sendiri.
Emma beringsut turun dari ranjang untuk bersiap-siap. Alih-alih memperbaiki hubungan dengan Josephine, Emma justru melewatkan semuanya. Ia tak makan malam semalam, tak sarapan dan belum mengerjakan tugas kaligrafi yang diberikan oleh Mrs Jones.
“Ah, selesai hidupku,” gumamnya lirih saat menuruni anak tangga. “Jika Mrs Jones mengadu pada Josephine, aku pasti dimarahi lagi!”
Emma tiba di lantai dasar dan semua orang sudah melakukan aktivitasnya masing-masing. Ia bergegas sarapan agar sempat mengerjakan sebagian tugas kaligrafi sebelum kelas pagi dimulai. Berkat Josephine, Emma harus mengikuti banyak kelas yang menurutnya tak berguna.
Belum selesai sarapan, seorang pelayan datang menghampiri Emma. Dia menyampaikan bahwa pengacara keluarga Mordha datang untuk menemui Emma.
Emma terkejut sampai tak menyelesaikan sarapannya. Ia menuju ruang tamu untuk menemui James—pengacara keluarga Mordha.
Tanpa basa-basi, sang pengacara mengeluarkan dua lembar kertas. Dia menyodorkan pada Emma di atas meja ruang tamu.
Emma mengambil kedua lembar kertas tersebut. Wajah mulai pucat dan bibir pun bergetar saat membaca bagian atas surat tersebut. Air mata menetes di atas kertas yang dipegang olehnya.
Ia menatap James dengan lekat. “Nate ingin menceraikan aku?”
“Kau menjatuhkan perusahaanku, Emma!” tuduh Nate dari balik ponsel. “Apa kau menuduhku, Nate?” tanya Emma dengan suara bergetar. “Sudahlah, Emma. Jangan berlebihan!” sergah Nate. “Tanda tangani saja surat itu, aku akan transfer uang pisah padamu!” Nate telah menjadi kekasih Emma selama empat tahun dan menikahi Emma dua tahun lalu. Ia selalu lembut dan menyayangi Emma dengan sepenuh hati. Bagi Nate, Emma adalah cinta pada pandangan pertama. Entah mengapa sekarang semua berubah. Nate sedang dalam perjalanan dinas. Ia seharusnya pulang sejak minggu lalu, tetapi mendadak kepulangannya diundur. Sejak itu, Nate tak dapat lagi dihubungi oleh Emma. Emma selalu mengira Nate sibuk dengan pekerjaannya. Ia menghubungi berkali-kali bahkan mengiriminya pesan dan tak pernah mendapat balasan. Namun, tak sekali pun berpikiran buruk tentang Nate. Setelah James menyodorkan surat gugatan cerai, Nate langsung mengangkat panggilan telepon dari Emma. Tanpa menunggu tiga kali nada sambung berbunyi. Emm
Emma menghubungi seorang teman sejak dirinya mengemas pakaian ke dalam koper kecil. Kebetulan seorang teman sedang berada di London dan berniat kembali ke Los Angeles siang itu. Emma meminta teman tersebut datang untuk menjemput dirinya agar mereka kembali ke Los Angeles bersama. Untung saja, dirinya masih berkebangsaan Amerika meski telah menikahi Nate. Tanpa ragu, teman tersebut datang untuk menjemput Emma. Dia langsung memesan tiket untuk Emma setelah mendengar cerita dari Emma. Emma dan temannya tiba setelah kurang lebih sebelas jam penerbangan dari London menuju Los Angeles. Mereka dijemput mobil milik temannya. Sebuah sedan mewah berwarna putih. Keduanya menuju sebuah kediaman di Beverly Hills. “Kau tak perlu mengantarku sampai rumah,” tutur Emma yang merasa tak enak. “No prob, Em,” jawab teman yang bersama Emma. “Kita bukan orang asing, ‘kan?” Emma tak menghubungi ayahnya sejak memutuskan untuk pulang ke Los Angeles. Bukan ingin memberi kejutan, melainkan tak ada yang meng
London, Inggris. Enam tahun kemudian. Masa kini. Tiga orang laki-laki paruh baya sedang berdiri berjajar. Mereka menundukkan kepala dan kedua telapak tangan terpaut di depan. Mereka berdiri dengan patuh dan mendengarkan setiap cacian yang ditujukan pada mereka. Mereka sadar telah melakukan kesalahan, tetapi dicaci oleh seorang yang usianya di bawah mereka rasanya sangat menyakitkan. Terlebih mereka telah mengabdi lebih dari setengah usia mereka sekarang. Namun, apa boleh buat. Tak peduli berapa usia mereka dan apa jabatan mereka. Mereka tetap saja hanya bawahan di hadapan pimpinan mereka yang kejam. Plak! Plak! Plak! Ketiganya mendapat pukulan di atas kepala mereka menggunakan beberapa lembar kertas yang sengaja digulung oleh si pimpinan. “Kalian tak becus kerja, HAH?!” teriaknya tepat di hadapan mereka. Mereka hanya diam menunduk penuh penyesalan. Si pimpinan meletakkan ujung jari di dahi ketiganya dan mendorong kepala mereka ke belakang. “Kalian dibayar mahal olehku untuk meng
Nathan Alexander Mordha atau Nate, seorang pimpinan kejam, tetapi tampan. Ia adalah seorang CEO sekaligus pewaris tunggal dari Mordha Oil & Gas Company. Laki-laki tampan, kaya raya dan berkuasa. Nate memiliki sepasang iris mata hazel yang tampak pas dengan rambut cokelat alami miliknya. Rahang tegas dan kulit mulus diselubungi bulu-bulu tipis yang berbaris rapi sepanjang rahang menyambung sampai ke atas bibir. Ia tahu dengan benar apa itu tampan dan jantan. Sekarang si CEO tampan sudah bosan dengan Charlotte dan itu bukan hal baru bagi Jacob—asistennya. Charlotte dapat bertahan selama tiga bulan sudah keajaiban. Beberapa sekretaris sebelumnya hanya sampai satu bulan, bahkan ada yang hanya hitungan minggu. “Baik. Ada yang lain, Sir?” Jacob bertanya dengan sopan. Nate hanya menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. Jacob pun berderap keluar menjalankan perintah Nate. Ia bersandar di kursinya, membolak-balik beberapa dokumen di mejanya. Setelah dirasa bosan, Nate memilih memanda
Chicago, Illinois. Emma bekerja sebagai penjaga toko bunga di Monroe Flowers & Gifts. Sebuah toko yang namanya di ambil dari nama jalan tempat toko bunga tersebut berada. Pemiliknya bernama Ann, seorang perempuan cantik dan baik hati yang sudah menjadi teman sekaligus mentor bagi Emma selama lebih dari tiga tahun. Kemarin tokonya mendapat pesanan besar untuk sebuah acara pertemuan. Si pembeli meminta Emma sendiri yang turun tangan untuk mengantar bunga. Ann tak mengerti mengapa si pembeli meminta Emma harus mengantar bunga. Dia akhirnya menyuruh Charles—rekan kerja Emma, membantu pengantaran karena pengantaran bukan tugas Emma. Emma dan Charles sudah tiba sejak pukul delapan kurang sepuluh menit di sebuah gedung tinggi berlantai seratus yang terkenal di Chicago. Mereka berderap menuju lantai sembilan puluh empat—tempat acara pertemuan diadakan. “Kenapa mereka harus jauh-jauh memesan ke tempat kita?” Charles kebingungan. Emma mengangkat kedua bahunya. “Mungkin yang terdekat sudah k
Emma berhasil mengangkat kakinya dari tindihan saat Jeremy mengubah posisinya menjadi membungkuk di atas tubuh Emma. Ia tanpa ragu menendang pangkal paha Jeremy dengan sangat keras sampai Jeremy terjungkal dan genggaman tangannya pada Emma terlepas. “Aw! Aw!” Jeremy berteriak kesalitan. Emma bangkit dari posisinya dan melempar wajah Jeremy dengan ponsel yang berada di meja. “Dasar psikopat berengsek!” maki Emma yang langsung berlari menjauh. “Aw, aduh! Kemari kau, Perempuan Sialan!!” geram Jeremy saat melihat Emma menuju pintu. Jeremy bangkit dari sofa sembari meraung-raung kesakitan. Dia kesulitan mengejar Emma yang sudah bersiap membuka pintu untuk melarikan diri. Emma terkejut saat membuka pintu dan perempuan yang tadi mengantar dirinya hampir terjatuh ke arahnya. Ia memelotot ke arah perempuan yang sedang membawa gelas minuman di atas baki karena tak menolong dirinya sejak tadi dan malah menguping di depan pintu. “Dasar perempuan jalang!” umpat Emma sambil mendorong tubuh si
“Emma, bukankah kemarin aku menyuruhmu cuti?” tanya Anna yang terkejut saat melihat Emma sudah berada di Monroe Flowers & Gifts pagi itu. Lulu dan Charles yang baru saja tiba di Monroe Flowers & Gifts juga terkejut saat melihat Emma. “Kau seharusnya istirahat di rumah, Em!” protes Lulu. Charles yang kemarin bersama Emma juga khawatir. “Kau yakin tak apa-apa, Em?” Kemarin Charles sempat merasa bingung saat Emma tiba-tiba menghubungi dirinya untuk mengganti tempat bertemu. Dia melihat wajah pucat dan tubuh gemetar temannya saat masuk ke dalam mobil. Charles tak berani mengajak perempuan itu berbicara karena terlihat sangat terguncang. Emma baru menceritakan yang dirinya alami setelah mereka tiba di Monroe Flowers & Gifts. Ia sebenarnya tak ingin bercerita, tetapi terpaksa bercerita. Pasalnya, kejadian itu dialami saat sedang bekerja. Ia merasa perlu mengatakan yang terjadi pada atasannya. Ann, Lulu dan Charles sangat geram. Mereka meminta Emma melaporkan Jeremy si Psikopat ke kanto
Emma sungguh perempuan yang tangguh. Ia seakan lupa kejadian menakutkan dan menjijikkan yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua bangka. Seorang laki-laki yang seharusnya sibuk memikirkan keluarga, tetapi malah sibuk melecehkan perempuan hanya karena merasa memiliki uang dan kekuasaan. Emma bahkan tak memikirkan sama sekali kejadian yang baru dialaminya kemarin dan malah memikirkan suami yang menggugat cerai dirinya. Ia duduk dengan sebuah sendok di tangan sembari menatap kosong ke arah piringnya. “Apa yang mereka semua lakukan di Chicago?” gumam Emma dalam hati. Emma mengaduk-aduk makan siang dan tak menyuap sama sekali makanannya. “Kenapa Mia sangat panik? Apa Nate melihatku? Apa dia tahu aku sangat membenci Nate?” batinnya. “Em, makananmu!” pekik Lulu saat melihat makanan Emma berceceran. Emma tersadar dari lamunannya karena suara Lulu. “Maaf …,” ucapnya. Itu adalah jam makan siang Monroe Flowers & Gifts dan Emma sedang makan siang bersama Lulu serta Ann. Ia lupa sejenak deng