“Kau menjatuhkan perusahaanku, Emma!” tuduh Nate dari balik ponsel.
“Apa kau menuduhku, Nate?” tanya Emma dengan suara bergetar.
“Sudahlah, Emma. Jangan berlebihan!” sergah Nate. “Tanda tangani saja surat itu, aku akan transfer uang pisah padamu!”
Nate telah menjadi kekasih Emma selama empat tahun dan menikahi Emma dua tahun lalu. Ia selalu lembut dan menyayangi Emma dengan sepenuh hati. Bagi Nate, Emma adalah cinta pada pandangan pertama. Entah mengapa sekarang semua berubah.
Nate sedang dalam perjalanan dinas. Ia seharusnya pulang sejak minggu lalu, tetapi mendadak kepulangannya diundur. Sejak itu, Nate tak dapat lagi dihubungi oleh Emma.
Emma selalu mengira Nate sibuk dengan pekerjaannya. Ia menghubungi berkali-kali bahkan mengiriminya pesan dan tak pernah mendapat balasan. Namun, tak sekali pun berpikiran buruk tentang Nate.
Setelah James menyodorkan surat gugatan cerai, Nate langsung mengangkat panggilan telepon dari Emma. Tanpa menunggu tiga kali nada sambung berbunyi.
Emma menggertakkan gigi. “Berlebihan?” desisnya dengan gigi hampir terkatup.
Pada awalnya, Emma sedih setelah membaca surat gugatan cerai. Sekarang dirinya mendadak geram karena malu setelah mendengar Nate berbicara dengan keras dan mengatakan dirinya berlebihan. Ia tak merasa salah karena tak ada angin dan hujan, surat gugatan cerai tiba di depannya.
Emma mulai berkeringat dan tubuhnya terasa panas. Seolah ada api dalam tubuhnya dan sedang membakar dirinya.
“Aku berlebihan, Nate?” ulangnya lagi.
“Aku tak ingin bicara lagi denganmu, Emma!” Nate menghela napas kasar.
“Apa ini karena aku keluar rumah, hah?” Emma memburu Nate dengan pertanyaan. “Apa ibumu mengadukan aku? Apa kau mengira aku menjelek-jelekkan keluargamu saat keluar rumah? Begitu?”
“Emma!” teriak Nate dari balik ponsel.
Emma mulai mengeluarkan semua perasaan terpendam selama menikah dengan Nate. Dua tahun menikah mereka belum memiliki keturunan, sementara dokter mengatakan keduanya sehat.
“…, aku yakin itu karena aku tertekan tinggal di sini!” Emma balas berteriak di ponselnya.
Ia harus mengikuti semua keinginan orang tua Nate, mengikuti kelas ini dan itu, mempelajari kebudayaan dan kebiasaan mereka, mengikuti gaya bicara mereka, mengenakan pakaian sesuai kemauan mereka dan masih banyak lagi.
“…, semua itu untuk menjaga martabat dan kehormatan keluarga Mordha!” pekik Emma kesal.
Rela tak kembali untuk menjenguk ayahnya yang sakit di Los Angeles meski hatinya sedih. Ikhlas melayani gairah Nate yang luar biasa di atas ranjang meski sedang tak ingin. Sopan dan tulus tersenyum pada semua orang yang menatap dirinya saat di rumah sakit karena memakai nama keluarga Mordha.
“…, semua untukmu dan nama keluargamu! Lalu balasan apa yang aku terima?” geram Emma. “Tuduhan dan gugatan cerai tepat di hari ulang tahun pernikahan kita, Nate!”
“R-Rumah sakit?” tanya Nate tergugup.
Emma tertawa miris. “Apa ibumu hanya bilang aku keluar rumah?” sinisnya. “Apa kau tahu kalau … a-aku tak enak badan, hah?”
Emma teringat janji Nate sebelum berangkat dinas ke luar kota. Ia akan dibawa oleh Nate pulang ke Los Angeles untuk menjenguk Sean, sekaligus merayakan ulang tahun pernikahan. Sekarang semua janji hanya tinggal janji. Jika selama dua tahun menikah Emma tak pernah membantah, tak dengan hari itu.
“Aku terkurung di dalam istana sialan ini seharian, Nate!” Emma tersenyum getir. “Aku hanya keluar rumah untuk ke rumah sakit dan tak pernah mendekati ruang kerjamu atau ayahmu!”
Emma mengambil napas dalam-dalam sampai tubuhnya bergetar. “Jika kau pikir perusahaanmu jatuh karena aku, maka kau salah tuduh, Berengsek!”
Mata Emma terasa panas karena membendung air mata setelah memaki Nate. Ia tak akan mengemis pada Nate yang sama sekali tak membantah dan hanya diam membisu.
James yang duduk berseberangan dengan Emma, hanya bisa tercengang mendengar Emma memaki atasannya. Dia memakluminya karena tahu Emma bukan tipe perempuan yang suka memaki dan hari itu adalah pengecualian.
Emma mendengus kesal. “Baiklah, jika itu maumu!”
Air matanya sudah tak dapat lagi terbendung dan jatuh satu per satu di pipi Emma. Ia mengusap pipinya dengan punggung tangannya, kemudian meletakkan ponsel dan meminta pulpen dari James.
Emma menandatangani dua lembar kertas yang berada di hadapannya dengan kasar agar Nate mendengar setiap goresan tinta yang dirinya bubuhkan di atas kertas. Setelah selesai, Emma kembali mengambil ponselnya.
“Kau senang, Nate?!” sinis Emma.
“Emma …,” panggil Nate lirih.
“Kau mau saranku, Nate? Kalau kau bercerai lagi, datangi sendiri istrimu! Jangan bersembunyi di balik pengacaramu, Dasar Pengecut!” makinya dengan mulut hampir terkatup.
“Dengarkan aku, Emma!” pinta Nate sedikit mendesis.
Emma memutuskan sambungan telepon sebelum Nate sempat berbicara. Ia keluar dari ruang tamu dan meninggalkan James begitu saja. Tak ada alasan baginya untuk berbasa-basi dengan James.
Emma bergegas menuju ruang ganti di kamar tidurnya. Ia hanya mengemas pakaian yang dirinya bawa saat pertama kali tiba. Dengan hanya menjinjing tas koper kecil, Emma menuju kamar tidur orang tua Nate.
Jujur saja, Emma tak ingin melihat wajah Josephine. Perasaan Emma mengatakan bahwa Josephine yang mengadu pada Nate. Namun, Emma masih mempunyai sopan santun.
Josephine berada di kamar, sedangkan Richard—ayah Nate, mungkin sudah berangkat ke kantor. Josephine mendengar ketukan di pintu dan mempersilakan masuk.
Emma melihat Josephine sedang duduk di sofa kamar dengan mata mengarah pada majalah di pangkuannya dan tangan memegang cangkir teh dengan anggun. Tak memperdulikan kehadiran dirinya sama sekali.
Emma berdeham lirih. “Mum, aku akan kembali ke Los Angeles,” pamitnya dengan pelan dan sopan.
Josephine masih melihat ke arah majalah bahkan membalik halaman berikutnya. “Jadi … Nate telah menceraikanmu, Emma?” tanyanya tak peduli.
Emma merasa perasaannya benar bahwa Josephine yang mengadu. Tak heran jika Josephine lebih dulu tahu tentang perceraian daripada dirinya.
Josephine menutup majalah karena Emma tak menjawab pertanyaannya. Dia mendongak untuk menatap Emma yang berdiri di hadapannya.
“Kalau begitu, kau tak perlu lagi memanggilku dengan sebutan … Mum, bukan?” sindir Josephine sembari menyeringai licik.
Emma mengetahui Josephine tak menyukai dirinya dan merasakan sikap dingin Josephine padanya. Ternyata selain itu, Josephine sangat tak punya hati. Ia salah berharap Josephine akan sedikit bersimpati.
Emma sudah tak sanggup menahan emosi. Jantungnya berdetak sangat kencang, napasnya memburu sampai membuat dadanya bergerak naik turun dan tangannya mengepal erat pada pegangan koper. Ia berusaha menahan diri agar tak membalikkan meja yang memisahkan antara dirinya dan Josephine.
Emma menunduk sambil tertawa kecil. “Apa yang bisa aku harapkan darinya?!” ketusnya pelan.
“Apa kau bilang, Emma?” Josephine memelotot tajam padanya.
Emma kembali menatap Josephine. “Baik!” ketusnya. “Jika itu yang kau harapkan!”
Ia merendahkan kaki dan membungkuk seperti pelayan di hadapan Josephine. “Semoga hari Anda menyenangkan, Yang Mulia!” ejeknya.
Emma menutup mulut dengan sebelah tangan. “Oops, sorry. Maksud saya … MRS MORDHA!”
Josephine membelalakkan mata setelah mendengar Emma mengejeknya. Dia hendak memarahi Emma lagi, tetapi Emma lebih dulu keluar kamar. Tak lupa membanting pintu.
Emma yakin pasti sekarang Josephine sedang memaki dirinya dari dalam kamar dengan gaya elegan yang menjadi ciri khas. Sayangnya, Emma tak lagi peduli.
Ia berderap menuju pintu rumah sambil menyeringai sinis. “Masa bodoh dengan ocehanmu sekarang, Josephine!” tegasnya. “Persetan dengan sopan santun!”
Emma meninggalkan kediaman itu ditemani Eleanor—kepala pelayan, dan para pelayan yang selalu baik padanya sejak pertama datang. Ia meninggalkan kediaman keluarga Mordha dengan perasaan bangga setelah memaki Nate dan mengejek Josephine.
“Aku bersumpah tak akan pernah kembali ke istana sialan ini!” geram Emma sembari menatap tajam kediaman Mordha dari dalam mobil menuju bandara. “Apa pun yang terjadi!”
Emma mengira semua akan baik-baik saja setelah semua yang terjadi di kediaman itu. Namun, ternyata takdir tak sebaik itu pada dirinya.
“Kau mau datang padaku atau aku datang padamu, Emma?” tanya seorang laki-laki dari balik ponsel. Emma sedang bersama sang buah hati saat nomor tak dikenal menghubungi. Perempuan beranak satu itu tadinya tak ingin menerima panggilan, tetapi perasaannya berkata lain. Untung saja, Emma mengikuti perasaannya karena jika tidak laki-laki itu sudah berdiri di depan apartemennya. Emma membelalakkan mata saat mendengar suara lawan bicaranya. “Nate? Dari mana kau tahu nomorku?” “Apa itu penting, Emma?” Nate kembali bertanya. “Aku sudah di depan gedung apartemenmu. Kau yang keluar atau aku yang masuk, hm?” Dada Emma berdetak sangat kencang. Tanpa sadar, kepalanya justru menoleh pada sang buah hati yang sedang asyik belajar mewarnai. “Aku yang keluar!” tegas perempuan yang terpaksa harus meninggalkan putranya sejenak. “Mom—” Suara bocah kecil itu terpotong karena sang ibu dengan cepat menutup mulutnya. “Tunggu saja aku di restoran dekat apartemen ini. Aku akan memberi nama restoran lewat pe
Kelap-kelip lampu dansa mengikuti ingar bingar musik di klub malam Kota London. Sebuah klub ternama yang ramai didatangi pengunjung yang ingin menikmati musik, hiburan sampai minuman keras untuk melepas penat.Seorang perempuan cantik duduk sendiri menunggu hiburan. Dia perlu meluapkan kekesalan karena tunangan yang terang-terangan menolak dirinya. Jika tunangannya ingin bersikap keras kepala, dia pun akan melakukan hal sama karena dia berniat mempertahankan miliknya.Di saat sang perempuan sibuk menenggak minuman pahit dalam gelas kristal, datang seseorang yang segera mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Tamu yang ditunggu-tunggu rupanya laki-laki tampan bertubuh tinggi bak model terkenal.“Kau sudah datang dari tadi, ya?” tanya laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna silver.Perempuan cantik berambut hitam itu tak menjawab. Tubuh kesepian yang lama tak tersentuh menuntut ingin dimanja. Dia langsung naik ke atas pangkuan laki-laki bay
Nate baru saja mendarat di Bandara London Heathrow dan wajahnya tampak sangat tak ramah pagi itu. Bukan karena mengantuk, melainkan karena kesal. Bagaimana tak kesal jika perempuan yang dicari olehnya bersembunyi di negaranya. Bodohnya lagi, orang suruhannya tak dapat melacaknya. Nate baru mengetahui keberadaan Emma dari seorang mata-mata. Laki-laki tampan yang sedang kesal itu berniat langsung menemui sang perempuan. Dia sudah tak dapat lagi menahan perasaannya. Apalagi, perempuan yang pernah menikah dengannya seolah sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Akan tetapi, Nate mengurungkan niat. Laki-laki yang sedang tampak kejam itu tak boleh membuat takut sang perempuan. Ia tak ingin lagi ditinggalkan karena tujuan sekarang mencari tahu yang terjadi di masa lalu. Jika perempuan yang digugat cerai tak melakukan seperti kesalahan, Nate akan merebutnya kembali. Mia bergegas berlari untuk menyambut tunangannya. “Nate Sayang, kenapa kau tak bilang akan pulang?” “Apa aku tak boleh pula
“Apa aku harus membawamu ke negara lain, Em?” David bertanya dari balik ponsel. Emma tercekat dan matanya membulat. “Aku saja belum bekerja di sini, Dave!” Perempuan cantik yang sudah meninggalkan restoran itu baru berniat ingin menikmati keindahan kota London bersama keluarga dan temannya. Sebab, kemarin seorang pengurus rumah tangga akhirnya berhasil didapatkan. Namun, tak disangka-sangka keberadaan dirinya malah diketahui sang mantan mertua. Emma dalam perjalanan kembali ke apartemen saat dihubungi temannya. Ia kemudian menceritakan kejadian yang baru dialami. Kebetulan restoran yang tadi didatangi olehnya hanya selisih dua gedung dari bangunan menjulang tinggi. Sebuah bangunan yang akan menjadi kantornya selama beberapa bulan ke depan. David belum mulai bekerja persis seperti Emma. Hanya sekedar mengunjungi kantor yang baru buka beberapa bulan lalu. Setelah mendengar cerita dari temannya, laki-laki berambut pirang itu geram. Dia hendak mendatangi Emma untuk menghibur, tetapi pe
“Apa kau begitu menyukai kedua pamanmu, Ethan?” Emma mengangkat kedua alisnya sembari menunggu jawaban sang buah hati. “Kau mengajak main Uncle Dave dan menelepon Uncle Jeff … hampir setiap hari.” Anak laki-laki bertubuh seratus sentimeter itu mengangguk dengan cepat. “Tentu saja.” “Dan kau tak menyukaiku? Padahal aku ibumu!” Emma berpura-pura merajuk. “Aku yang melahirkanmu, tetapi kau tak pernah mengajakku bermain seperti kau dengan Dave. Kau juga tak bercerita padaku seperti kau bercerita pada Jeff.” Bocah mungil itu memeluk sang ibu. “Aku menyukai Mommy, tetapi aku anak laki-laki, Mom. Aku harus bermain dan bercerita pada sesama laki-laki!” Emma yang sedang merajuk pun tertawa mendengar alasan putranya. Ia berjongkok agar tubuh mereka sejajar, lalu dikecup kening sang buah hati. Perempuan itu tak menyangka kesulitan yang dialami saat mengandung putranya sama sekali tak sia-sia karena putranya adalah sumber kekuatan. Emma tak pernah merasa anaknya adalah beban baginya. Ia tak t
David menatap sepasang iris mata cokelat milik teman yang diam-diam disukai olehnya. “Bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku, Em?” Emma terkesiap karena pertanyaan yang mengejutkan. Ia balik menatap laki-laki tampan berambut agak panjang yang berada di sebelahnya sembari mengejapkan mata beberapa kali. “A-Apa maksudmu, Dave?” tanyanya kebingungan. “Bukankah tadi kau bertanya cara membayar hutangmu padaku?” David mengingatkan perempuan itu. “Dan aku menjawab, bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku? Untuk membayar hutangmu.” Laki-laki itu menyunggingkan senyuman seraya menaikkan alisnya beberapa kali. “Apa yang akan kau lakukan, Em?” Tak sedikit orang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tak dapat berteman. Bukan tanpa alasan, melainkan sudah banyak kejadian. Itu juga yang terjadi pada David. Anak laki-laki dari pemilik Doxon Group sudah menyukai temannya sejak lama mereka masih remaja. Selama lima belas tahun atau dapat dikatakan setengah hidupnya, dia memend