“Jadi dia mantan suamimu?” tanya Lulu dengan mata memelotot dan suara hampir berteriak. Setelah dua hari berlalu, Emma baru saja mengatakan bahwa laki-laki yang disemprot dengan semprotan merica olehnya adalah mantan suaminya pada Ann dan Lulu. “Untuk apa mantan suamimu mencarimu, Emma?” Ann merasa sangat geram. Ann dan Lulu memang sudah curiga ada sesuatu antara Emma dengan laki-laki yang datang ke toko bunga dengan sangat kasar. Pertama kali datang Nate menyeret Emma dan dua hari lalu Nate sampai mencengkeram rahang Ann. “Sepertinya dia sudah gila!” geram Emma yang masih tak mengerti mengapa Nate harus bolak-balik ke toko bunga. Emma sangat tak enak pada Ann dan memutuskan akan mencari pekerjaan lain. Ia harus berada jauh dari Nate dan orang-orang terdekatnya. “Kau tak perlu mengundurkan diri, Emma,” tutur Ann yang melihat Emma sungkan padanya. “Tak mungkin, Ann. Dia pasti akan terus datang ke sini!” Emma sudah tahu seperti apa watak Nate. “Aku tak tahu kalau dia pemilik gedun
Nate bangkit dari kursi dengan raut wajah datar. Ia meninggalkan Emma karena merasa unggul dan yakin sebentar lagi Emma akan mengemis padanya. Emma bangkit dari kursi sembari menatap punggung Nate yang bergerak menjauh darinya. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat dengan rahang yang menegang. "Ternyata selain pengecut, kau juga sudah gila!" pekik Emma dari depan meja petugas polisi. Petugas polisi ikut bangkit dari kursinya. “Ms Melgren, saya minta Anda tenang.” Jacob dan James saling bertatapan, kemudian menoleh ke arah Nate yang telah berlalu. Mereka berharap Nate tak akan mendengar kata-kata Emma. Akan tetapi, Nate sudah terlanjur mendengarnya. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Emma dengan bengis. “Apa kau bilang? Gila?” tanya Nate dengan sebelah alis terangkat. Emma tak ada rasa takut sedikit pun karena sedang berada di kantor polisi. Ia yakin Nate tak akan bisa menonjok sesuatu di dekat Emma atau melecehkan Emma. “Iya, gila! Kau sudah gila!” Emma memelo
Emma bangkit dari kursinya dengan mata terbelalak. “Kau ingin membunuh ayahku dengan menjebloskan aku ke penjara, hah?!” teriak Emma dari depan meja polisi pada Nate. Emma bekerja keras untuk keluarga kecilnya karena ayah Emma, Sean, sedang sakit dan hanya bisa duduk di kursi roda. Ia membayar seseorang untuk mengurus kebutuhan Sean saat dirinya sedang bekerja. Ia tak bisa membayangkan jika harus masuk ke dalam penjara, lalu siapa yang akan membayar pengurus Sean. Jika tak bisa membayar pengurus Sean, apa yang terjadi pada Sean. Nate berhenti melangkah dan melirik pada Emma, tetapi tak menoleh. Ia hanya menaikkan tangannya ke arah telinga dengan ibu jari dan jari kelingking terangkat, kemudian berderap meninggalkan Emma yang sedang menatapnya penuh kebencian di kantor polisi. Nate ingin Emma menghubunginya. “Nate, kau bajingan pengecut!” geram Emma dalam hati. Emma kembali terduduk di depan petugas polisi. Ia menoleh pada Ann yang duduk di sebelahnya dengan tatapan kosong. “Ann …
Nate tersenyum penuh kemenangan ketika mendengar bunyi bel dari pintu kamar yang dirinya tempati.“Akhirnya kau datang juga, Emma,” gumam Nate sembari tersenyum licik.Ia belum lama menerima jawaban dari Emma yang telah memilih tak ingin masuk penjara. Nate tentu saja langsung membalas pesan Emma. Mengirim pesan bahwa Jacob akan mengantar Emma untuk menemui Nate di hotel.Nate si CEO tampan dan kaya raya menginap di kamar Peninsula Suite dengan harga ribuan dolar per malam. Sebuah kamar suite tertinggi dari hotel bintang lima, The Peninsula Chicago.Nate sengaja hanya memakai jubah mandi setelah tadi membalas pesan Emma. Ia berderap menuju pintu kamar seraya melonggarkan ikatan jubah mandinya.“Memang hanya kau yang pantas, Emma,” tutur Nate.Nate masih sempat tersenyum saat di depan pintu kamar. Ia membuka pintu kamar perlahan. Semakin terbuka pintunya, semakin terbuka juga matanya.Nate mengerutkan alisnya. “Mia?” panggilnya.“Hai, Sayang,” sapa Mia dengan genit.Mia meletakkan tang
Emma menatap David yang sedang mengendarai mobil. Ia merasa tak enak dengan David. “Dave, bagaimana aku mengganti uang itu padamu?” tanya Emma khawatir. “Em, berapa lama kita kenal satu sama lain?” David menoleh sejenak sebelum kembali fokus ke jalanan. “Aku tak ingat. Yang jelas lebih dari sepuluh tahun,” ucap Emma sambil menggigit bibirnya karena malas menghitung. David terkekeh di sebelah Emma. “Kau hanya ingat padanya, bukan?” “Aku tak ingat siapa-siapa, Dave!” Emma murung karena kata-kata David. “Maaf, maaf,” tutur David. “Aku hanya bercanda, Em.” David sebenarnya datang ke Monroe Flowers & Gifts dan terkejut saat melihat keadaan toko bunga yang sedang tak baik-baik saja. Dia tadinya ingin menghubungi Emma dan untung saja bertemu dengan Lulu lebih dulu. Dari situ, dia mengetahui Emma sedang di kantor polisi dan segera menuju ke kantor polisi. Saat itu, Emma telah mengirim pesan pada Nate bahwa dirinya tak ingin masuk penjara. Ia menerima pesan dari Nate kalau Jacob yang aka
“Apa? Kesengajaan, Ann?” Emma mengerutkan alis sembari mendesis lirih. “Apa mereka benar-benar melakukan pengecekan?”“Mereka bilang sudah dua kali melakukan pengecekan,” ungkap Ann terisak-isak dari balik ponsel. “Kebakaran itu terjadi karena ada peralatan elektronik yang terhubung dengan stop kontak dalam keadaan korslet hingga menimbulkan percikan api.”“Oh, bullshit!” maki Emma dari balik ponsel. Ia menggertakkan gigi karena merasa jengkel. “Kita tak mungkin mencolok peralatan elektronik dalam keadaan korslet! Apa kita gila?”Emma mendadak merasa geram mendengar penjelasan pihak asuransi pada Ann tentang penyebab kebakaran di Monroe Flowers & Gifts. Ada sesuatu yang mencurigakan tentang kebakaran itu. Sayangnya, Emma bukanlah seorang detektif seperti Sherlock Holmes yang dapat memecahkan masalah.“Kalau aku yang menjadi pihak asuransi, aku juga pasti akan mengat
Masih di depan Gedung The M Group. Sebuah Mercedes-Benz berwarna abu-abu terparkir agak jauh dari mobil sedan berkaca gelap yang membawa Emma pergi. Pengemudinya seorang perempuan berambut panjang warna hitam. Dia sengaja mengikat rambutnya ke atas bergaya seperti ekor kuda.“Aku sudah memperingatkanmu, Emma!” cemoohnya.Perempuan di balik kemudi Mercedes-Benz tak lain adalah Mia. Dia sedang menertawakan Emma yang dibawa oleh seorang laki-laki ke dalam mobil. Perasaannya mengatakan bahwa laki-laki itu bukan suruhan Nate.Mia melihat jam tangannya. “Sekarang sudah lewat dari jam lima sore di sana,” gumamnya.Dia mengambil ponsel sembari bersenandung gembira, kemudian menghubungi seseorang yang telah membantu dirinya untuk membalas Emma.“Halo, Mrs Mordha,” sapa Mia dengan lembut.Mia menghubungi Mrs Mordha alias Josephine yang merupakan ibu dari Nate. Saat itu di Chicago sudah lewat dari pukul sebelas pagi, maka waktu di London sudah pasti lewat dari pukul lima sore. Sebab, London enam
Emma dan laki-laki bersuara berat yang tadi sempat memperlihatkan senjata api, tiba di depan sebuah bank. Sekitar dua blok dari Gedung The M Group. Ia dikawal oleh laki-laki itu menuju sebuah restoran kecil yang bersebelahan dengan bank tersebut. Sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Meksiko. Emma mengernyit tak mengerti. Memang sudah hampir waktu makan siang, tetapi tak wajar rasanya. Jika ingin mengajak makan siang, mengapa harus menunjukkan senjata api. “Silakan duduk,” pinta laki-laki bersuara berat seraya menarik kursi untuk Emma. Emma pun duduk tanpa protes. Ia memperhatikan laki-laki bersuara berat yang hanya berdiri di seberangnya. Dugaan Emma, seseorang pasti akan menemuinya di restoran itu. Namun, tak tahu siapa dan mengapa. Ketika seorang pelayan datang menghampiri Emma, laki-laki bersuara berat menerima panggilan telepon dan memberi nama restoran pada lawan bicaranya. Beberapa saat setelah pelayan pergi, dia menoleh ke arah pintu untuk memberi kode pada seseorang