Emma menghubungi seorang teman sejak dirinya mengemas pakaian ke dalam koper kecil. Kebetulan seorang teman sedang berada di London dan berniat kembali ke Los Angeles siang itu.
Emma meminta teman tersebut datang untuk menjemput dirinya agar mereka kembali ke Los Angeles bersama. Untung saja, dirinya masih berkebangsaan Amerika meski telah menikahi Nate.
Tanpa ragu, teman tersebut datang untuk menjemput Emma. Dia langsung memesan tiket untuk Emma setelah mendengar cerita dari Emma.
Emma dan temannya tiba setelah kurang lebih sebelas jam penerbangan dari London menuju Los Angeles. Mereka dijemput mobil milik temannya. Sebuah sedan mewah berwarna putih. Keduanya menuju sebuah kediaman di Beverly Hills.
“Kau tak perlu mengantarku sampai rumah,” tutur Emma yang merasa tak enak.
“No prob, Em,” jawab teman yang bersama Emma. “Kita bukan orang asing, ‘kan?”
Emma tak menghubungi ayahnya sejak memutuskan untuk pulang ke Los Angeles. Bukan ingin memberi kejutan, melainkan tak ada yang mengangkat telepon. Lagi pula, perceraian tak termasuk sebuah kejutan.
Emma pun heran mengapa dirinya tak dapat menghubungi ayahnya sejak sakit. Begitu juga dengan nomor telepon rumahnya. Namun, tak dapat berbuat apa-apa karena jarak ribuan kilometer memisahkan mereka.
Emma memiliki nama lengkap Emma Elizabeth Melgren yang kemudian menjadi Emma Elizabeth Mordha. Ia mengganti nama keluarga setelah menikah dengan Nate. Dan sekarang, Emma akan mengganti nama keluarganya lagi. Ia tak sudi memakai nama keluarga Mordha.
Emma tak datang dari keluarga biasa. Ia adalah putri tunggal dari Sean Patrick Melgren, seorang pengusaha pengembang properti dan pemilik Melgren Realty Trust. Melgren Realty Trust masuk dalam sepuluh besar perusahaan pengembang properti di Amerika Serikat.
Kediaman Sean berada di kawasan elite, Beverly Hills. Sebuah daerah mewah di kawasan Los Angeles, di mana banyak orang-orang kaya raya dan bintang film Hollywood tinggal di daerah tersebut.
“Bagaimana dengan perceraianmu nanti, Em?” tanya teman yang bersamanya.
Emma mengangkat kedua bahunya. “Aku tak tahu dan tak peduli,” ucapnya. “Yang jelas, surat gugatan cerai sudah aku tanda tangani dan akta nikah sudah aku tinggalkan di kamar.”
Ia melihat ke luar jendela mobil. “Jadi dia seharusnya mengurus perceraian itu sampai selesai!”
Emma dan temannya hampir tiba di kediaman Sean setelah berkendara selama tiga puluh menit dari bandara. Emma keheranan karena ada banyak penjaga keamanan yang menjaga setiap tiga meter kediaman Sean. Sedangkan temannya, sudah terbiasa melihat itu.
“Apa yang terjadi?” Emma mengerutkan alisnya. “Apa ayahku sedang bermasalah?”
“Aku sudah bilang, ‘kan,” jawab teman yang bersama Emma.
Teman yang bersama Emma beberapa kali datang ke kediaman Sean. Dia dimintai tolong oleh Emma untuk menjenguk Sean karena Emma tak dapat kembali ke Los Angeles dan tak dapat menghubungi Sean.
Akan tetapi, teman yang bersama Emma tak pernah berkesempatan bertemu dengan Sean. Ada saja alasan yang diterima olehnya dari penjaga keamanan tersebut. Dia sering mendengar kalau Sean sedang beristirahat, sedang ke dokter, sedang tak ingin diganggu dan masih banyak alasan lainnya.
Emma mengira kata-kata yang diucapkan oleh temannya hanya hiperbola. Baru sekarang dirinya percaya setelah melihat dengan mata kepalanya.
Sekarang giliran Emma dilarang masuk oleh penjaga keamanan yang menjaga pintu pagar. Ia diberi alasan yang sama bahwa Sean tak ingin diganggu, kemudian diusir oleh penjaga keamanan.
Emma merasa ada yang janggal. Pasalnya, Sean tak mungkin mempekerjakan penjaga keamanan sebanyak itu dan tak mungkin mempekerjakan penjaga keamanan yang kasar serta kurang ajar. Emma melihat mereka seperti preman daripada penjaga keamanan.
“Apa kau tak tahu siapa aku?!” bentak Emma. “Aku putri dari pemilik rumah ini!”
Penjaga keamanan bertubuh kekar dan berwajah sangar terlihat tak senang dengan kata-kata Emma. Dia menuju pos keamanan untuk menghubungi seseorang.
Emma diperbolehkan masuk setelah penjaga keamanan menghubungi seseorang. Sayangnya, hanya Emma saja.
Emma menoleh pada temannya dengan raut wajah menyesal. “Aku benar-benar minta maaf soal ini,” tuturnya.
Teman yang bersama Emma tersenyum sambil mengangguk pelan. “Tak masalah, Em.”
Emma kembali menoleh pada penjaga keamanan dan melemparkan sorot mata tajam. “Aku akan melaporkan kalian pada ayahku!” ancamnya tanpa tahu apa-apa.
Ia baru saja tiba di pelataran bawah rumah dengan membawa koper kecil miliknya. Kakinya bahkan belum menginjak anak tangga pertama. Namun, seseorang membuka sebelah daun pintu rumah dengan kasar. Emma terkejut sampai membuat dirinya agak tersentak.
“TIDAK!” sergah seorang perempuan dari depan pintu. “Kau tak perlu masuk ke dalam rumah!”
Perempuan berparas cantik, tetapi angkuh berderap mendekati anak tangga. Dia menatap tajam ke arah Emma yang hanya tercengang di pelataran bawah.
Perempuan angkuh berdiri seraya berkacak pinggang di teras atas yang berjarak delapan anak tangga rendah dari Emma. Setelah beradu tatap dengan Emma, dia mengangkat sebelah tangan untuk memberi kode pada seseorang.
“Bawa ke sini!” perintah perempuan itu.
Sebelah daun pintu rumah dari kaca yang masih tertutup pun terbuka. Seorang pelayan keluar sembari mendorong kursi roda ke arah perempuan angkuh.
Emma tak melihat dengan jelas siapa yang duduk di atas kursi roda sampai mereka hampir tiba di belakang perempuan angkuh. Ia membelalakkan mata setelah tersadar bahwa Sean yang duduk di atas kursi roda.
Semua pertanyaan Emma langsung terjawab. Mengapa dirinya tak dapat menghubungi Sean dan mengapa banyak penjaga keamanan yang kasar serta kurang ajar.
“Dad … Daddy!” jerit Emma saat Sean tiba di sebelah perempuan angkuh.
Emma bergegas menaiki anak tangga untuk menghampiri Sean. Ia baru menginjak anak tangga ketiga saat perempuan angkuh merebut kursi roda dari pelayan, kemudian mendorong kursi roda ke arah dirinya.
Emma tertimpa Sean yang terjungkal dari kursi roda. Mereka terjatuh ke pelataran bawah secara bersamaan, lalu disusul kursi roda yang mendarat di atas Emma dan Sean. Mereka berdua mengalami luka-luka.
Emma meringis kesakitan dan memelotot pada perempuan angkuh. “APA YANG KAU LAKUKAN?!” teriaknya.
Emma menahan sakit dan berusaha bangkit. Bersusah payah mengangkat Sean yang tak berdaya kembali duduk di atas kursi roda.
Pelayan yang sebelumnya membawa Sean pada perempuan angkuh sebenarnya tak tega. Hanya saja, dia juga tak dapat menolong Emma dan Sean karena takut dengan perempuan angkuh.
Perempuan angkuh tak menjawab Emma. Dia justru menyeringai sinis pada Emma yang sedang bersusah payah membantu Sean.
“PELAYAN!” pekik perempuan angkuh. “Cepat bawa barang-barangnya!”
Seorang pelayan lain yang tampak ketakutan, tergopoh membawa satu koper besar dari dalam rumah pada perempuan angkuh. Dia telah melihat dari dalam rumah yang perempuan angkuh lakukan pada Emma dan Sean.
Pelayan yang sebelumnya membawa Sean pada perempuan angkuh bergegas membantu pelayan yang membawa koper. Mereka menurunkan koper sebelum perempuan angkuh kembali merebut koper dan melemparkan koper pada Emma.
“Sekarang keluar kau bersama laki-laki cacat itu!” Perempuan angkuh mengusir Emma dan Sean keluar dari kediaman itu.
Tak tanggung-tanggung, dia mengancam akan memanggil penjaga keamanan untuk menyeret Emma dan Sean jika tak segera pergi.
Perempuan berparas cantik, tetapi angkuh adalah Susan Darcy Melgren—ibu tiri Emma. Seorang perempuan yang selalu bersikap baik dan lembut pada Emma dan Sean selama bertahun-tahun.
Susan telah menguasai harta benda milik Sean dan membayar penjaga keamanan di bawah kekuasaannya. Dia memerintahkan mereka untuk mengusir keluarga atau kerabat dari Emma dan Sean. Hanya satu orang yang ditunggu oleh Susan, yaitu Emma. Dia ingin mengusir Emma dan Sean keluar dari rumah mewah itu.
Emma menatap geram pada Susan yang masih berada di teras atas. Ingin rasanya menarik rambut dan memaki Susan. Hanya saja, dirinya harus segera ke rumah sakit untuk mengecek kondisi Sean setelah terjatuh tadi.
Emma meninggalkan kediaman itu sembari mendorong kursi roda Sean. Tanpa sadar air mata deras membasahi pipinya.
Emma tak mengerti apa yang telah terjadi pada Sean dan Susan. Semua terlihat sempurna sebelum dirinya pergi meninggalkan kediaman Sean untuk hidup bersama Nate di London dua tahun lalu. Namun, sekarang Susan sangat membenci dirinya dan Sean sampai tega menguasai harta benda milik Sean.
“Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Emma dalam hati.
Air mata Emma turun membasahi pipinya sepanjang mendorong kursi roda Sean. “Mengapa hidupku berubah dalam semalam?” gumamnya masih dalam hati.
Emma segera mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia tak ingin tangisannya didengar oleh Sean yang duduk di kursi roda. Ia takut Sean semakin sedih dan sakitnya semakin parah.
Emma berhenti mendorong dan berjongkok di depan kursi roda Sean. “Dad, semua akan baik-baik saja,” ucapnya. “Aku berjanji padamu.”
Emma berjanji seolah tahu apa yang akan dirinya hadapi ke depannya. Ia dengan berani memalsukan senyumannya di hadapan Sean, padahal dalam hatinya ada kekhawatiran serta ketakutan.
“Apa yang harus aku lakukan?” batin Emma. “Bagaimana kami bertahan hidup sekarang?”
Emma berusaha menguatkan dirinya dan tekadnya dengan berbekal rasa sakit hati yang dibawa dari London sampai ke Los Angeles. Ia bangkit dan mengencangkan pegangannya pada kursi roda Sean, kemudian kembali mendorongnya. Bukan hanya roda yang berputar, melainkan pikirannya juga ikut berputar.
Emma menatap perutnya sejenak sambil merintih lirih akibat terjatuh tadi. “Aku harus mati-matian bertahan demi … keluarga kecilku,” tuturnya dalam hati.
London, Inggris. Enam tahun kemudian. Masa kini. Tiga orang laki-laki paruh baya sedang berdiri berjajar. Mereka menundukkan kepala dan kedua telapak tangan terpaut di depan. Mereka berdiri dengan patuh dan mendengarkan setiap cacian yang ditujukan pada mereka. Mereka sadar telah melakukan kesalahan, tetapi dicaci oleh seorang yang usianya di bawah mereka rasanya sangat menyakitkan. Terlebih mereka telah mengabdi lebih dari setengah usia mereka sekarang. Namun, apa boleh buat. Tak peduli berapa usia mereka dan apa jabatan mereka. Mereka tetap saja hanya bawahan di hadapan pimpinan mereka yang kejam. Plak! Plak! Plak! Ketiganya mendapat pukulan di atas kepala mereka menggunakan beberapa lembar kertas yang sengaja digulung oleh si pimpinan. “Kalian tak becus kerja, HAH?!” teriaknya tepat di hadapan mereka. Mereka hanya diam menunduk penuh penyesalan. Si pimpinan meletakkan ujung jari di dahi ketiganya dan mendorong kepala mereka ke belakang. “Kalian dibayar mahal olehku untuk meng
Nathan Alexander Mordha atau Nate, seorang pimpinan kejam, tetapi tampan. Ia adalah seorang CEO sekaligus pewaris tunggal dari Mordha Oil & Gas Company. Laki-laki tampan, kaya raya dan berkuasa. Nate memiliki sepasang iris mata hazel yang tampak pas dengan rambut cokelat alami miliknya. Rahang tegas dan kulit mulus diselubungi bulu-bulu tipis yang berbaris rapi sepanjang rahang menyambung sampai ke atas bibir. Ia tahu dengan benar apa itu tampan dan jantan. Sekarang si CEO tampan sudah bosan dengan Charlotte dan itu bukan hal baru bagi Jacob—asistennya. Charlotte dapat bertahan selama tiga bulan sudah keajaiban. Beberapa sekretaris sebelumnya hanya sampai satu bulan, bahkan ada yang hanya hitungan minggu. “Baik. Ada yang lain, Sir?” Jacob bertanya dengan sopan. Nate hanya menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. Jacob pun berderap keluar menjalankan perintah Nate. Ia bersandar di kursinya, membolak-balik beberapa dokumen di mejanya. Setelah dirasa bosan, Nate memilih memanda
Chicago, Illinois. Emma bekerja sebagai penjaga toko bunga di Monroe Flowers & Gifts. Sebuah toko yang namanya di ambil dari nama jalan tempat toko bunga tersebut berada. Pemiliknya bernama Ann, seorang perempuan cantik dan baik hati yang sudah menjadi teman sekaligus mentor bagi Emma selama lebih dari tiga tahun. Kemarin tokonya mendapat pesanan besar untuk sebuah acara pertemuan. Si pembeli meminta Emma sendiri yang turun tangan untuk mengantar bunga. Ann tak mengerti mengapa si pembeli meminta Emma harus mengantar bunga. Dia akhirnya menyuruh Charles—rekan kerja Emma, membantu pengantaran karena pengantaran bukan tugas Emma. Emma dan Charles sudah tiba sejak pukul delapan kurang sepuluh menit di sebuah gedung tinggi berlantai seratus yang terkenal di Chicago. Mereka berderap menuju lantai sembilan puluh empat—tempat acara pertemuan diadakan. “Kenapa mereka harus jauh-jauh memesan ke tempat kita?” Charles kebingungan. Emma mengangkat kedua bahunya. “Mungkin yang terdekat sudah k
Emma berhasil mengangkat kakinya dari tindihan saat Jeremy mengubah posisinya menjadi membungkuk di atas tubuh Emma. Ia tanpa ragu menendang pangkal paha Jeremy dengan sangat keras sampai Jeremy terjungkal dan genggaman tangannya pada Emma terlepas. “Aw! Aw!” Jeremy berteriak kesalitan. Emma bangkit dari posisinya dan melempar wajah Jeremy dengan ponsel yang berada di meja. “Dasar psikopat berengsek!” maki Emma yang langsung berlari menjauh. “Aw, aduh! Kemari kau, Perempuan Sialan!!” geram Jeremy saat melihat Emma menuju pintu. Jeremy bangkit dari sofa sembari meraung-raung kesakitan. Dia kesulitan mengejar Emma yang sudah bersiap membuka pintu untuk melarikan diri. Emma terkejut saat membuka pintu dan perempuan yang tadi mengantar dirinya hampir terjatuh ke arahnya. Ia memelotot ke arah perempuan yang sedang membawa gelas minuman di atas baki karena tak menolong dirinya sejak tadi dan malah menguping di depan pintu. “Dasar perempuan jalang!” umpat Emma sambil mendorong tubuh si
“Emma, bukankah kemarin aku menyuruhmu cuti?” tanya Anna yang terkejut saat melihat Emma sudah berada di Monroe Flowers & Gifts pagi itu. Lulu dan Charles yang baru saja tiba di Monroe Flowers & Gifts juga terkejut saat melihat Emma. “Kau seharusnya istirahat di rumah, Em!” protes Lulu. Charles yang kemarin bersama Emma juga khawatir. “Kau yakin tak apa-apa, Em?” Kemarin Charles sempat merasa bingung saat Emma tiba-tiba menghubungi dirinya untuk mengganti tempat bertemu. Dia melihat wajah pucat dan tubuh gemetar temannya saat masuk ke dalam mobil. Charles tak berani mengajak perempuan itu berbicara karena terlihat sangat terguncang. Emma baru menceritakan yang dirinya alami setelah mereka tiba di Monroe Flowers & Gifts. Ia sebenarnya tak ingin bercerita, tetapi terpaksa bercerita. Pasalnya, kejadian itu dialami saat sedang bekerja. Ia merasa perlu mengatakan yang terjadi pada atasannya. Ann, Lulu dan Charles sangat geram. Mereka meminta Emma melaporkan Jeremy si Psikopat ke kanto
Emma sungguh perempuan yang tangguh. Ia seakan lupa kejadian menakutkan dan menjijikkan yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua bangka. Seorang laki-laki yang seharusnya sibuk memikirkan keluarga, tetapi malah sibuk melecehkan perempuan hanya karena merasa memiliki uang dan kekuasaan. Emma bahkan tak memikirkan sama sekali kejadian yang baru dialaminya kemarin dan malah memikirkan suami yang menggugat cerai dirinya. Ia duduk dengan sebuah sendok di tangan sembari menatap kosong ke arah piringnya. “Apa yang mereka semua lakukan di Chicago?” gumam Emma dalam hati. Emma mengaduk-aduk makan siang dan tak menyuap sama sekali makanannya. “Kenapa Mia sangat panik? Apa Nate melihatku? Apa dia tahu aku sangat membenci Nate?” batinnya. “Em, makananmu!” pekik Lulu saat melihat makanan Emma berceceran. Emma tersadar dari lamunannya karena suara Lulu. “Maaf …,” ucapnya. Itu adalah jam makan siang Monroe Flowers & Gifts dan Emma sedang makan siang bersama Lulu serta Ann. Ia lupa sejenak deng
Emma dan rekan kerjanya di The 177 N Restaurant & Bar kompak melihat ke arah pintu yang ditarik ke arah luar restoran. Mereka menunggu seseorang masuk ke dalam restoran dan perlahan mulai tampak wajah bulat dengan mata kecil melongok di pintu. Suara mengembus napas terdengar bersamaan di dalam restoran itu saat wajah tak asing yang muncul. Wajah milik laki-laki bertubuh tambun yang memakai kaos putih, celana pendek cokelat dan sepatu kets hitam. “Halo semua!” sapa Jack—si pengantar sayur, sembari menyengir lebar. “Ya Tuhan, Jack.” Emma memegang dada karena jantungnya berdetak sangat cepat. “Oh, sht!” umpat Sue. Andy—salah seorang koki, berjongkok karena kakinya lemas. “Damn it, Man. Aku hampir terkena serangan jantung!” Hampir semua yang sedang berkumpul di sekitar Emma mengumpat pada Jack. Bahkan Sue sudah bersiap dengan kotak tisu di tangannya untuk berjaga-jaga. Jack tercengang dengan umpatan yang mereka tunjukkan padanya. “Apa? Ada apa? Kenapa kalian semua memakiku? Apa sala
“Semua sudah sesuai perintah Anda dan ini yang Anda minta, Sir,” terang Jacob meletakkan amplop berisi beberapa lembar foto di atas meja atasannya. Nate memasang wajah datar dan dingin saat mengambil amplop itu. Ia menyandarkan tubuh pada kursi kebesarannya, menyilangkan kaki di atas meja sembari membuka amplop. Nate melihat satu per satu foto yang diambil oleh orang suruhannya. “…, sejauh ini dia pegawai di dua tempat, Sir. Dia bekerja di ….” Jacob mulai menyampaikan semua informasi secara detail yang diperoleh dari orang suruhannya. Tanpa ada yang terlewat sedikit pun. “…, terkadang dia juga bekerja paruh waktu di waktu liburnya,” tutup Jacob. Nate meremas foto-foto dari Jacob kemudian mendengus kesal. “Dia meninggalkan aku hanya untuk hidup seperti ini?!” ketusnya. Ia melemparkan foto-foto yang sudah lecek dalam genggamannya ke arah Jacob. Bulatan kertas itu berhasil mengenai Jacob yang hanya tertunduk. Ia menatap Jacob dengan geram. “Dia meninggalkan aku hanya untuk hidup se