Share

Chap 4. Kalian tak becus kerja, HAH?!

London, Inggris. Enam tahun kemudian. Masa kini.

Tiga orang laki-laki paruh baya sedang berdiri berjajar. Mereka menundukkan kepala dan kedua telapak tangan terpaut di depan. Mereka berdiri dengan patuh dan mendengarkan setiap cacian yang ditujukan pada mereka.

Mereka sadar telah melakukan kesalahan, tetapi dicaci oleh seorang yang usianya di bawah mereka rasanya sangat menyakitkan. Terlebih mereka telah mengabdi lebih dari setengah usia mereka sekarang.

Namun, apa boleh buat. Tak peduli berapa usia mereka dan apa jabatan mereka. Mereka tetap saja hanya bawahan di hadapan pimpinan mereka yang kejam.

Plak! Plak! Plak!

Ketiganya mendapat pukulan di atas kepala mereka menggunakan beberapa lembar kertas yang sengaja digulung oleh si pimpinan.

“Kalian tak becus kerja, HAH?!” teriaknya tepat di hadapan mereka. Mereka hanya diam menunduk penuh penyesalan.

Si pimpinan meletakkan ujung jari di dahi ketiganya dan mendorong kepala mereka ke belakang. “Kalian dibayar mahal olehku untuk menghasilkan uang, tahu?!” hardik si pimpinan sembari menggertakkan giginya.

Mereka langsung mengangguk dengan cepat. “Tahu, Sir,” jawab mereka bertiga hampir bersamaan.

Tiga orang laki-laki paruh baya itu adalah tiga orang direktur yang diminta bertanggung jawab atas investasi dari sebuah investor besar.

Sebenarnya mereka tak kehilangan investor tersebut. Si investor besar hanya menunda komitmen sementara waktu, tetapi si pimpinan tak peduli. Menurut si pimpinan, mereka seharusnya mengikat si investor sesegera mungkin dengan cara apa pun.

“Ehm, Sir,” panggil asisten si pimpinan berdiri tak jauh dari pintu masuk.

Asisten si pimpinan sejak tadi memperhatikan si pimpinan yang sedang mengamuk pada tiga orang direktur yang menunduk tak berdaya. Dia mengingatkan saat melihat tangan si pimpinan mengepal karena takut pimpinannya memukuli mereka sampai babak belur.

Sejak perusahaan mereka mengalami krisis beberapa tahun lalu, si pimpinan kerja mati-matian menyelamatkan perusahaan mereka dari kerugian besar. Mereka akhirnya bisa keluar dari krisis. Namun, sejak kejadian itu, si pimpinan yang baik hati berubah total.

Raut wajah si pimpinan merah padam, napasnya memburu dan dadanya yang bidang kempas-kempis karena kesal.

Ia mengerutkan alisnya dan menatap tajam ketiganya. “Jika dalam satu bulan ini mereka masih belum tanda tangan, kalian akan dipecat tanpa pesangon sepeser pun. Paham?!” ancamnya.

Mereka bertiga saling melirik satu sama lain dan tak ada yang berani menjawab.

“PAHAM?!” teriak si pimpinan karena tak ada satu pun yang menjawabnya.

Suaranya menggema ke seluruh ruangan, membuat ketiga direktur, asisten si pimpinan dan seorang perempuan yang baru saja berdiri di depan pintu terperanjat.

“P-P-Paham, Sir,” jawab seorang direktur tergagap-gagap dan dua lainnya langsung mengikuti.

“Keluar kalian semua!” bentaknya. “Membuat pusing saja!”

Si pimpinan berderap menuju kursi besarnya dan membanting tubuhnya di atas kursi. Ia memejamkan mata sambil memijat kepalanya yang mulai berdenyut.

Ketiga direktur bergegas meninggalkan ruangan dan asisten si pimpinan ikut di belakang mereka. Setelah mereka semua pergi, seorang perempuan mengetuk pintu.

“Permisi …,” ucapnya dengan suara mendesah.

Dia adalah Charlotte, perempuan cantik yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Charlotte telah bekerja selama tiga bulan sebagai sekretaris si pimpinan.

Seorang perempuan muda berusia dua puluh dua tahun, berparas cantik dengan tubuh langsing dan berisi. Dia memiliki hidung lancip dan bibir yang padat. Rambut coklat panjang dan bergelombang miliknya sengaja digerai.

Charlotte sedang memakai kemeja putih tipis tanpa dalaman. Dua kancing bagian atasnya sengaja dibuka dan belahan dadanya tampak menggoda. Rok merah pendek memamerkan kakinya yang jenjang dan dilapisi stoking berwarna hitam.

Si pimpinan tak menjawab. Ia hanya menatap Charlotte, kemudian mengedikkan kepalanya. Charlotte masuk dan menutup pintu ruangan. Dia berlenggak-lenggok mendekati si pimpinan yang kejam, tetapi tampan. Charlotte membawa beberapa lembar kertas di tangannya dan dia letakkan di atas meja.

“Ini tiket pesawat dan voucher hotel yang sudah aku cetak,” terang Charlotte dengan suara menggoda.

“Aku sedang pusing, Charlotte,” tutur si pimpinan.

Charlotte tahu apa yang harus dilakukan ketika si pimpinan pusing. Dia berderap ke belakang kursi si pimpinan dan memijat pelipis kepalanya dengan lembut serta hati-hati.

Setelah beberapa menit memijatnya, jari Charlotte turun menyusuri wajah si pimpinan. Membelai bulu-bulu tipis di rahangnya, turun ke leher dan mendarat di bahunya. Charlotte memijat bahu si pimpinan.

Si pimpinan memiringkan kepala ke kanan dan kiri untuk melemaskan ototnya yang kaku. Ia memegang tangan Charlotte dan menariknya ke hadapannya.

Charlotte bersandar di meja si pimpinan. Pimpinannya mendekat dan gantian memijat gundukan kenyal milik Charlotte. Bergantian kanan dan kiri. Charlotte menggigit bibir bawahnya seraya berpegangan pada bahu si pimpinan.

“Ah …,” desah Charlotte.

Melihat Charlotte sudah menikmatinya, si pimpinan mencengkeram pinggul Charlotte, kemudian menariknya mendekat. Lidahnya bermain di atas gundukan kenyal Charlotte sampai kemeja putih tipis milik Charlotte basah. Sebelah tangan si pimpinan masuk ke dalam rok Charlotte dan mengguncang pangkal pahanya.

“Ah … Ahh … Mr Mordha ….” Charlotte kembali mendesah dan bergerak gelisah.

Si pimpinan menyeringai saat merasakan pangkal paha Charlotte mulai basah. Ia memberi kode pada Charlotte yang masih terengah-engah.

Charlotte pun mengangguk untuk menuruti si pimpinan. Dia memegang pinggir meja untuk berpegangan, melepas sepatu hak tinggi miliknya dan berlutut di depan kursi pimpinannya.

Charlotte membuka kancing dan menurunkan ritsleting celana si pimpinan. Dia menggigit bibir bawahnya dan membelai lembut milik pimpinannya yang sudah mengeras serta menegang. Dalam hatinya, Charlotte berharap pimpinannya menyuruh dirinya duduk di atas pangkuannya.

Si pimpinan mendesis saat bibir Charlotte yang hangat menyentuh miliknya. Ia bersandar pada kursinya dan menikmati miliknya yang sedang dimanjakan oleh Charlotte.

“Hm …,” erang si pimpinan saat Charlotte mengelilingi miliknya dengan ujung lidahnya.

Sesekali si pimpinan mengusap kepala Charlotte dan menyibakkan rambut yang menutupi wajah cantik Charlotte. Ia melepas kancing kemeja Charlotte dan meremas gundukan kenyal dan padat milik Charlotte yang sejak tadi menyentuh pahanya.

Erangan Charlotte tertahan di dalam mulutnya. Dia menatap si pimpinan yang kejam, tetapi tampan dengan mulut yang penuh dan kepala yang sibuk maju mundur.

Si pimpinan mengerang serta mendesah sembari memejamkan mata ketika lidah Charlotte mulai bermain pada dua bola miliknya. Setelah beberapa saat, butir-butir keringat mulai tampak di sekitar wajah tampan si pimpinan.

“Aku mau keluar, Charlotte,” ucap si pimpinan dengan suara berat

Charlotte mengeluarkan milik si pimpinan dan tangannya mulai bergerak lihai seraya tersenyum nakal. Dia menikmati ketampanan si pimpinan sambil menunggu cairan hangat di depan wajahnya.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan di pintu membuat gerakan tangan Charlotte berhenti dan si pimpinan membuka mata. Ia menatap sepasang iris mata cokelat milik Charlotte yang masih berlutut di bawahnya.

Si pimpinan mendengus kesal dan mengibaskan tangannya pada Charlotte—menyuruh Charlotte menyingkir. Charlotte merapikan pakaian pimpinannya, kemudian bangkit.

Asisten si pimpinan masuk ke dalam ruangan setelah mendengar perintah. Dia melihat Charlotte sedang merapikan kemejanya, mengenakan sepatu hak tingginya dan setelahnya keluar ruangan.

“Kau menggangguku, Jacob,” ungkap si pimpinan dengan suara berat dan dalam.

“Maaf, Sir,” jawab Jacob sembari menunduk.

Jacob Anthony Scott adalah asisten si pimpinan. Dia telah bekerja dengan setia selama sepuluh tahun. Jacob mengerjakan semua tugas penting dari si pimpinan dan mendampingi ke mana si pimpinan pergi. Terkadang dia juga menjadi supir si pimpinan.

Sedangkan Charlotte dan beberapa sekretaris sebelum Charlotte, hanya mengerjakan tugas remeh dari si pimpinan. Tugas utama mereka adalah melayani si pimpinan dan itu sudah tertulis dalam kontrak kerja mereka. Menandatangani sama dengan setuju dan sampai sekarang belum ada yang menolak.

Sejauh itu belum ada yang menolak pimpinan dari Mordha Oil & Gas Company. Salah satu dari delapan perusahaan minyak dan gas terbesar di seluruh dunia. Nomor satu di Inggris dan berpusat di London. Mereka telah beroperasi di hampir tujuh puluh negara di seluruh dunia.

Si pimpinan hanya menatap dingin beberapa lembar dokumen yang dibawa Jacob. Ia membaca setiap lembar dengan hati-hati, kemudian mengangguk setuju. Jacob mengambil kembali dokumen yang telah dibaca si pimpinan.

“Jacob, pesan yang biasa untuk nanti malam!” perintah si pimpinan.

“Baik, Sir,” jawabnya patuh.

Jacob pamit dan hendak meninggalkan ruangan untuk menjalankan tugasnya, tetapi si pimpinan menghentikan langkahnya.

“Satu lagi, Jacob!” pinta si pimpinan.

Jacob kembali mendekati meja pimpinannya. Dia menunggu perintah si pimpinan yang sedang mengusap-usap barisan bulu tajam di dagu dengan buku jarinya.

Itu adalah kebiasaan si pimpinan yang sedang berpikir. Saat gerakan tangannya berhenti artinya si pimpinan sudah mengambil keputusan.

Si pimpinan menatap Jacob tepat ketika gerakan tangannya berhenti. “Pecat dia!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status