"Silakan. Aku antar ya."
"Den, duduk dulu. Aku mau liat Kinara dulu, dia sakit."Dennis mengangguk cemas. Perasaannya sungguh tidak tenang. Namun, diperbolehkan masuk sedikit memberi kelegaan pada hatinya.Sebelum menuju kamar Kinara, Dinda pun bersalaman terlebih dahulu dengan bu Wera karena kebetulan lewat depan ibunya Laras."Din, kok bawa Dennis sih ke sini. Aku yakin, kamu pasti dijadiin tumbal 'kan sama dia. Kali ini aku minta sama kamu. Apapun itu, jangan paksa aku untuk percaya. Dia tak sebaik yang kita pikir, Din," bisik Laras tak lama masuk ke dalam kamar. Sesampainya di kamar, mereka menemukan kondisi Kinara sedang tertidur."Ras, aku ke sini emang karena Dennis. Semalam ....""Din, maaf telepon malam-malam. Penting!"Dinda yang kala itu masih asyik menonton televisi dengan suaminya, agak curiga karena Dennis menghubunginya sudah dini hari. Sebelum mengangkat telepon, Dinda sudah terlebih dahulu meminta izin b"Gimana, Mbak? Bisa?""Bisa, Pak. Mari!"Seorang petugas PMI pun menuju ruangan khusus donor darah. Bryan bisa menjadi pendonor setelah seharian beristirahat total."Aku akan mendonorkan berapa pun kantong darah yang dibutuhkan, asal papa menjauhkan diri dari mereka. Tidak lagi berkomunikasi dengan mereka. Jika mereka butuh secara finansial, biar aku yang menanganinya. Ingat, Pa. Apa yang aku lakukan ini bukan semata untuk memaafkan papa. Bukan semata dengan gampang menerima pengkhianatan papa. Namun, aku lakukan ini demi nama baik keluarga, terpenting demi mama.""Ya, Bry. Papa janji."Begitulah perjanjian yang dibuat Bryan setelah melihat kondisi Liana semalam. Dan, Bryan langsung mengajak papanya pulang ke rumah. Meski Syahrial dan Yati tidak tidur sekamar, setidaknya Bryan bisa menjawab kegundahan hati Yati yang tak terucap padanya."Sebentar lagi, darahku akan mengalir di tubuhmu. Namun, semenjak itu juga, kamu dan ibumu tid
Dikeremangan malam mata bu Yani berbinar kala melihat Laras berjalan mendekat tempat dia berdiri dekat pintu utama ruang ICU."Akhirnya kamu datang, Ras.""Iya, Bu. Aku ke sini karena Kinara badannya belum turun-turun juga.""Haa? Kinara panas?" Bu Yani yang kaget langsung menaruh tangannya di kening Kinara."Bu, boleh minta tolong nggak.""Apa, Ras? Iya, nih. Kinara panas.""Ibu aja ngomong sama petugas medis di dalam ya! Biasanya ada rentangan umur ada yang diperbolehkan masuk. Kinara kan belum cukup umur juga.""Ya sudah, ibu masuk dulu buat minta izin."Kakak Ibra sedang tidak berada di tempat, dia sedang pergi beli makan untuk di santap malam ini."Kamu nggak ikutan masuk, Ras?" tanya Dinda. Kali ini bu Wera tidak ikut dikarenakan ingin istirahat. Namun, ibunya Laras lah yang menghubungi bu Yani, bahwasanya Laras dan Kinara akan menemuinya di rumah sakit. Haru biru dan bahagia yang tak terucap deng
Usai menghubungi kedua buah hatinya, setengah jam kemudian dua anak lelakinya itu sampai. Mereka benar-benar tidak menyangka akan keputusan mamanya. "Mama tahu kalian pasti berat akan keputusan yang mama ambil sekarang. Namun, perlu kalian tahu, pengkhianatan fatal yang seorang suami tidak akan pernah terhapus begitu saja. Dan, papa kamu melakukan hal fatal itu. Berbeda jika tidak separah ini, tidak sampai berhubungan intim, mungkin mama hanya menganggap itu masalah selewat saja.""Tapi bagaimana jika perusahaan kita merosot tajam, Ma? Banyak karyawan yang harus kita gaji.""Tidak akan, kalian tidak perlu memikirkan terlalu jauh. Biar mama yang urus. Papa kalian pantas diberi ganjaran.""Ya sudah, Ma. Aku mendukung apapun keputusan mama," ucap Dennis."Aku juga, Ma. Meski pel@kor itu akan menang karena mama berpisah.""Bry, berpisah tidak selamanya kalah. Dan, mereka pasti akan mendapat ganjaran perbuatannya.""Cob
"Hah? Buka hati buat aku."Laras kembali mengangguk."Tapi perlahan ya, Den."Dennis yang merasa terharu langsung sujud syukur di lantai. Berulang kali dia mengucapkan kata alhamdulillah.Mendung yang begitu lama menyelimuti hati Dennis, dalam sekejap mata berubah.Semalam, saat memutuskan untuk membaca buku yang diberikan Bryan, mata Laras memanas dan menurunkan bulir bening. Dia haru membaca kata demi kata yang ditulis Dennis.Selama ini dirinya memang tidak sadar akan perhatian ataupun sikap lain yang lebih dari Dennis. Mungkin semasa kuliah, Laras lebih fokus agar bisa meraih nilai yang bagus."Din, aku mau ngobrol. Bisa?""Ngobrol aja, Ras. Kalau aku angkat, berarti aku bisa. In syaa Allah kapanpun kamu butuh aku siap membantu.""Din, kamu udah tahu lama ya soal perasaan Dennis sama aku?" Awalnya, Laras sempat mengurung niatnya untuk menghubungi Dinda."Ka-kamu tahu dari mana? Dennis?"
"Ibra, kamu sudah sadar, Nak?" terdengar bergetar kata yang terucap dari bibir tanpa polesan itu.Pasca rawat intens di ICU selama empat hari, tepat sehari setelah kejadian listrik padam. Ibra bangun dari tidur panjangnya. Bubur yang tertarik di kedua sisi seketika kembali ke posisi semula."Bu, ibu, kenapa aku tidak bisa melihat apapun," ucap Ibra sembari meraba-raba. Sang dokter yang ada di sana seolah memberi kode pada bu Yani yang menatapnya dalam keheranan."Aku buta, Bu?" Suara Ibra yang menggema tak terkendali. "Sabar, Ib. Sabar." Namun, Ibra seolah tak mendengar apa yang dikatakan bu Yani. Ibra malah semakin memberontak, membuat dokter menyuntikkan obat penenang padanya."Anak saya buta, Dok?" tanya bu Yani disela tangis yang menjadi-jadi, saat mereka sedang berada di ruangan lain.Dokter Laura sebagai dokter spesialis syaraf mengangguk seraya memejam kedua matanya."Yang sabar, Bu.""Saya akan sabar, Dok. Tapi kenapa tidak sejak awak saya diberi tahu. Dokter bilang hanya ada
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 35Laras menoleh ke belakang tampak suaminya berjalan menghampiri dirinya yang masih syok dengan kehadiran seseorang."Mas Ibra, Da." Seolah tak ada energi kala dia menjawab pertanyaan suaminya itu. Senyum yang terukir di bibir hitam efek merokok itu mengecut seketika. Ibra sangat kaget melihat sosok lelaki yang di dalam tadi menghampiri Laras. Langit yang tadinya cerah berubah gelap hitam pekat yang mencekam padahal jarum jam masih menunjukkan pukul satu siang. Sang surya sedang berbahagia memancarkan terik cahayanya."Alhamdulillah, Ibra. Lama tak bersua." Tangan suami Laras terbuka hendak memeluk, akan tetapi Ibra sontak mundur beberapa langkah karena mengelak untuk dipeluk."Sorry, Ib. Mari masuk dulu!" ajak lelaki itu tanpa beban, tanpa cemburu, dan tanpa perasaan negatif lainnya kala melihat mantan suami istrinya sendiri."Kalian!""Ya, Ib. Aku sudah menikahi Laras.""Aku bikin minuman dulu, ya, Uda.""Ya, Ras. Aku sama Ibra dibikinin
"Kamu mau minum apa? Teh atau ....""Kopi saja," sahut Ibra dengan santai."Ras, Laras." Sangat lembur Bryan memanggil perempuan yang baru empat tahun dia nikahi itu. Laras yang tadinya berada di dalam kamar pun keluar setelah dipanggil Bryan."Ya, Uda.""Buatkan kopi ya!"Laras hanya menatap Ibra sekilas sebelum bertolak ke dapur."Aku ke sini bukan bermaksud mencari keributan, meski siap tidak siap sebenarnya mendengar penjelasan kamu. Tapi, ya, apa mau dikata. Selain itu, aku juga ingin bertemu dengan kedua anakku.""Lebih baik, Laras yang menjelaskan semuanya sama kamu, Ib.""Oke! Tidak masalah.""Kenapa rumahmu lengang, Bry? Kedua anakku mana?" tanya Ibra penasaran."Mereka sedang menginap di rumah mamaku.""Keduanya?" Ibra kembali bertanya seolah tak yakin. Mana mungkin anak keduanya yang diperkirakan berumur lima tahun kurang itu dilepas begitu saja tanpa ditemani meski di rumah neneknya sendiri."Iya, kenapa memangnya?""Kamu biarkan saja anakku yang paling kecil nginap di san
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 36Dalam rasa bersalahnya, Bryan pun menghubungi Yati. Setelah berbasa-basi menanyakan buah hati sambungnya itu, Bryan pun menceritakan apa yang terjadi dengan hari kemarin dan tadi."Ya Allah, kenapa manusia yang satu itu muncul saat hidup kita mulai tenang sih, Bry." "Mungkin karena hidup kita sudah aman serta dama, mungkin Allah nguji kita lagi.""Mama jadi nggak tenang. Kamu yakin dia sendirian? Kok mama curiga hal lain ya? Dia bukannya suami dari anak dari papa kamu, Bry. Apa jangan-jangan mereka sekongkol?""Mama tidak perlu panik. In syaa Allah semua akan aman. Besok, selepas Subuh, minta antar pak Budi buat antar mama dan anak-anak ke apartemen sama bawa mbak dua orang. Di rumah tidak akan aman. Aku takut Ibra berbuat nekad dan melakukan hal tidak disangka, Ma.""Satu lagi, jangan bilang sekarang ya, Ma. Mendadak aja besok Subuh bilang ke pak Budi dan mbak-nya