Share

6. Foreplay

“Aku sudah gak lapar, Mas.” Jawab Laila saat Nathan mengenakan jam tangan kembali setelah dari toilet.

Nathan, meski mengenakan jam, tetap melirik jam dinding di hadapannya. Ini sudah jam setengah tiga menjelang sore, wajar saja Laila ngambek seperti itu meski tidak memperjelasnya di depan Nathan.

“Maaf ya, yang… jadwalku padat banget.” Nathan meraih pinggang wanita itu dari belakang dan memeluknya sambil mencuri-curi perhatian dengan menempel pipi mereka.

Ah, ini Laila, bukan Namira. Tapi, kenapa ia merasakan rasa sayang yang sama? Haha, ini lucu baginya. Seolah cinta itu tiba-tiba muncul setelah ia mengucapkan akad, dan tidak peduli apa yang diperbuatnya di luar dengan wanita lain, ia tetap menginginkan Laila.

“Kamu beneran gak lapar?” Nathan bertanya di telinga istrinya itu, tanpa memerhatikan wajah yang sayu menahan tanda tanya usai mencium aroma yang asing di tubuhnya. “Aku lapar, yang. Atau mau pesan makanan saja?”

Laila hanya mengangguk. Ia sebenarnya kelaparan berat, sampai-sampai ia mengulik kopernya yang menyisakan snack sebagai pengisi perut.

Tapi, beberapa yang lalu ia telah kehilangan selera sama sekali. Prasangka yang muncul di hatinya membuat ia urung bersikap ceria seperti sebelumnya, ia lebih banyak diam sambil berpura-pura menikmati pemandangan di jendela.

Ini sebuah jendela yang sangat lebar, sehingga seluruh kota tampak jelas seperti ia menyatu dengan kehidupan yang sibuk di gedung-gedung yang mengitari hotel ini. 

Sibuk, ya. Ia juga pernah sibuk waktu menempuh pendidikan keperawatan, tapi sejak menemani nenek di kediaman keluarga Hakeem, semuanya kembali tenang.

Saking tenangnya, ia sempat kewalahan saat kondisi nenek drop. Sementara teman-temannya yang bekerja di rumah sakit, yang pernah berkomentar iri kepadanya, menjalani pekerjaan yang sibuk dan bergengsi.

Laila merupakan mahasiswi yang berprestasi saat di kampus, jadi tentu saja di dalam hatinya ia ingin melanjutkan kuliah dan mungkin di bidang yang berbeda.

Tapi.. di satu sisi, ia benar-benar diharapkan menjadi perawat nenek sejak awal ia diberikan beasiswa di kampus. 

“Yang?” Suara Nathan menyentak lamunan Laila yang semakin jauh. “Ayo makan.”

Ternyata makanan sudah datang, Nathan yang menerimanya saat Laila tenggelam dalam pemikiran untuk mengalihkan perhatiannya dari wewangian barusan. Laila hanya tersenyum, sejenak ia mengambil nafas panjang, lalu berpindah ke meja makan.

“Kamu kelihatan pucat?” Nathan memajukan dirinya di seberang Laila, mengamati wajah yang masih sayu itu tanpa berpikiran apapun selain… “apakah semalam aku terlalu liar? Maaf, ya. Hehehe.”

Terlalu liar. Laila memandangi wajah tampan suaminya itu, seorang atasan yang sangat didambanya di atas ranjang, dan tanpa sadar ia menganggukkan kepala.

“Yah, gapapa…” gumamnya pelan.

“Cobain deh, irisan domba panggang ini enak banget.” Nathan memulai percakapan seraya memindahkan sesuap ke piring Laila. “Kamu harus makan daging-dagingan, supaya gak pucat lagi dan…”

Laila menunggu. Kedua tangannya siap di atas piring sambil memegang potongan steaknya.

“Kita bisa punya anak cowok.” Ujar pria itu dengan suara yang lebih dalam, tidak kalah dengan tatapannya yang menyorot ke mata Laila.

Laila mengerjap-ngerjap, diam-diam ia menarik nafas ketika teringat kejadian semalam. 

Secara tidak sadar, ia sempat mengucapkan dengan lirih di telinga Nathan bahwa ia menginginkan anak laki-laki… Argh! Ini memalukan sekali, ia meletakkan garpu dan menutup wajahnya.

“Hahahah,” Nathan melepaskan tawanya, merasa lega karena istrinya itu mulai cair dan tidak ngambek lagi. “Kamu malu? Kenapa malu? Kan, sama suami sendiri.”

Laila lanjut makan sambil menahan sunggingan senyum, tapi ia tidak dapat mengontrol rona merah yang sudah menguasai wajahnya. Apakah itu berarti ia tidak perlu memikirkan hal lain, karena suaminya jelas-jelas hanya memikirkan dia.

“Mas,” Laila mulai menyambut obrolan, selain untuk menutupi rasa malunya. “Kapan kita akan kembali ke rumah…? Apakah nenek baik-baik saja…?”

Nathan yang sedang menghabiskan makan siang menaikkan tatapannya. “Oh, iya. Nenek senang sekali dengan pernikahan kita, katanya kalau bisa kita menemuinya sebelum pergi bulan madu.”

Laila lagi-lagi tersenyum. Bulan madu. Itu momen yang bahkan tidak sempat ia pikirkan karena memaklumi jadwal Nathan yang sibuk dan jadwal Laila sendiri yang harus kembali merawat nenek.

“Terus, apa ada perawat pengganti untuk nenek sampai kita bulan madu?” Tanya Laila yang ingin memastikan. Bagaimanapun, nenek adalah prioritasnya.

“Ya,” Nathan mengangguk cepat. Ia mengelap bibirnya dengan serbet, lalu membuka ponsel yang bergetar di atas meja.

Sementara Laila kembali meneruskan makan secara perlahan, Nathan meliriknya dengan sebuah pemikiran. 

Nathan sadar bahwa niat awalnya menikahi Laila hanyalah untuk membuat nenek dan orang tuanya senang. Jika bukan karena ‘tekanan’ dari mereka, Nathan pasti memilih untuk tidak mendua seperti ini.

Tapi, ya sudahlah. Akad sudah terjadi, nasi sudah tercerna di dalam perutnya sebagaimana makan siang ini.

Di ponselnya, asisten kepercayaannya mengabari bahwa Namira sudah kembali ke apartemen dan menjalani harinya seperti semula. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nathan tersenyum lega, lalu berdiri dari kursi makan.

Tatapan Laila mengikutinya dan bertanya apa ia sudah selesai makan.

“Santai saja, selesaikan makanmu.” Nathan menjawab dengan wajah tenang, “aku akan menunggu.”

Ketika Nathan duduk di ruang tengah seperti Laila tadi sambil menikmati pemandangan sore ini, Laila meliriknya dengan pertanyaan yang sama. Apa yang sedang dipikirkan pria itu? Apakah mungkin… tentang sosok wanita lain yang meninggalkan aroma di lehernya?

Laila mulai tidak selera lagi. Ia memaksakan diri menelan potongan demi potongan daging yang terasa seperti batu yang akan mengganjal kecemasan di hatinya.

Ah, kenapa ia plin-plan sekali?? 

Padahal semenit lalu ia baru saja berpikir bahwa Nathan hanya menginginkannya, apalagi mereka merupakan pengantin baru. Tapi, sekarang melihat Nathan yang memikirkan dunianya sendiri membuat Laila kembali ke prasangka awal…

Bahwa Nathan, kemungkinan terburuk yang Laila tidak bisa tepis, masih menjalin hubungan dengan kekasihnya di luar kota.

“Uhuk!”

Laila tersentak dan nyaris memuntahkan makanan dari tenggorokannya saat terbatuk. Ia mengambil gelas air putih untuk menyelesaikan makan siangnya yang hambar itu. Ya, Nathan memang menggodanya tadi, tapi entah kenapa pria itu tetap terasa jauh darinya.

Seperti sudah kebiasaan, Laila membereskan bekas makan mereka dan mencucinya di wastafel, lalu mengeringkannya sebelum menghampiri Nathan di sofa.

Laila berjalan kikuk, berdiri tidak jauh dari Nathan sambil berusaha mengambil perhatian dari ponselnya. 

“Mas?” Ia menegur pelan. Senyumnya yang tulus dan kalem meluluhkan hati Nathan untuk menyimpan ponsel dan menepuk-nepuk sofa di sisinya.

Laila menghampiri, kemudian melipat bagian bawah gaun panjangnya dan duduk di pelukan Nathan. Ia sengaja menolehkan kepala ke bagian lain daripada ke leher jenjang suaminya, menghindari bau yang memuakkan itu.

“Mau balik kapan terserah kamu, yang.” Ucap Nathan tanpa keberatan sama sekali. “Aku bisa menyuruh perawat pengganti untuk berjaga lebih lama, sampai kita pulang dari bulan madu. Tapi, nenek…”

Mendengar nama nenek, Laila spontan menaikkan tatapan ke wajah Nathan. Ia mengerti tugasnya dan juga kekhawatiran Nathan soal neneknya.

“Gak apa-apa, gak usah pergi jauh-jauh.. Keliling kota sama kamu saja aku sudah senang, Mas.” Ungkap Laila.

Nathan membalas tatapan yang bersahaja itu dengan tidak percaya, hati kecilnya ikut mencelos mendengar keinginan sederhana dari istrinya. Selama ia mengenal wanita, tidak ada satupun yang membuatnya terpesona seperti ini..

Ah, inilah kelebihan Laila dibandingkan wanita di luar sana. Tapi, Namira juga memiliki pesona sendiri yang membuat Nathan tidak bisa lepas dari jerat perasaannya.

“Serius?” Nathan menjawab sambil menahan tawa. “Kamu gak ngambek lagi kan, sayang? Kalau gitu, aku janji bakal ajak kamu ke tempat-tempat legendaris di kota ini yang mungkin belum pernah kamu kunjungi.”

Laila mengangguk antusias. 

Apalagi saat Nathan menyingkap helaian rambut di wajahnya, memperlihatkan mata yang berbinar-binar lembut, dan menurunkan tatapan ke hidung serta bibirnya yang menyungging senyum kecil.

“Kamu manis banget sih, sayang.”  Gumam Nathan yang terdengar jelas. 

Selama bermenit-menit selanjutnya mereka terlibat dalam perang yang panas, antara bibir dan lidah disertai suara-suara dari pertukaran saliva keduanya. Nathan semakin menarik tengkuk Laila untuk meredam suara ciumannya.

Baik Nathan maupun Laila sudah mengesampingkan pemikiran apapun. Terutama tentang wanita lain yang berada di tengah-tengah hubungan mereka, wanita yang Nathan tahu persis dan yang hanya dugaan Laila; itu adalah orang yang sama.

Tapi, siapa peduli? Nathan memindahkan Laila ke atas pangkuannya, mendongak seperti merebahkan kepalanya ke sofa dan menikmati sentuhan yang diberikan istrinya.

Laila, di sisi lain, tahu apa yang harus dilakukannya. Posisi Nathan sebagai atasannya membantu dia untuk bersikap sebagai pemberi servis, tanpa malu-malu lagi tangannya meraba ke belakang tengkuk pria itu untuk mengusapnya dengan lembut.

Nathan masih memejamkan matanya saat Laila, dengan satu tangan lainnya, meraba dada yang bidang hasil dari gym selama bertahun-tahun itu. 

Nathan lumayan tersentak karena tidak menyangka jika Laila memiliki keahlian yang mungkin tidak ia duga-duga. Laila sudah memindahkan sentuhannya semakin ke bawah, berikut kecupan-kecupan di wajah dan dada di balik kemeja Nathan.

“Akh.” Nathan segera membuka kancing atas dan membiarkan Laila menjelajah lebih dalam dari dirinya.

“Mas,” Laila sempat terhenti. 

Rupanya karena beberapa tanda merah di sana, yang kemudian Nathan jawab bahwa itu hasil perbuatannya semalam. 

Sejenak ia dibuat lupa akan apa yang Namira lakukan padanya beberapa jam yang lalu, ia kembali melemparkan kepalanya ke belakang saat Laila melanjutkan aksinya. Laila kembali ke wajah pria itu, seolah tidak ingin melewatkan satu spot-pun di sana.

Jari jemarinya yang ramping bermain di belakang telinga Nathan, terkadang masuk ke lubang telinga itu dan tersenyum melihat reaksi suaminya yang mendesah pasrah.

Laila sendiri merasa puas karena apa yang telah dipelajarinya benar-benar berguna. Titik-titik sensitif pria, seperti tengkuk, telinga, dada.. Semuanya benar sesuai apa yang ia lakukan.

Lihat saja Nathan yang tidak bergeming, seolah kehilangan kekuasaannya atas Laila yang sedang berada di atasnya. Sebagai seorang pemimpin di perusahaan dan pemimpin bagi adik-adiknya, Nathan benar-benar dilucuti oleh wanita satu ini.

Wanita yang mampu membuatnya melupakan kekasih gelapnya…  meski hanya sesaat.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status