Share

7. Main Course

“Sudah, mas?” Laila menoleh ke belakang, langkahnya terhenti di ambang pintu kamar sambil menyeret koper.

Nathan dengan sigap mengambil alih koper dari tangan istrinya itu, lalu bilang untuk jalan duluan. Mereka akan pulang malam ini, lalu sesuai kesepakatan untuk kembali ke pekerjaan masing-masing dan berencana jalan-jalan di akhir pekan.

Sungguh simpel sekali hidupnya Laila, dan mudah dibuat senang. Nathan jadi lega karena ia tidak harus mengatur ulang jadwalnya, kemudian ia merangkul Laila dan mereka berjalan menyusuri lorong yang sepi.

“Kenapa?” Tanya Laila yang melirik senyuman di wajah Nathan.

“Hm? Nggak,” Nathan bergumam singkat. Pikirannya masih saja berputar-putar dibuai sentuhan istrinya sebelum mereka keluar kamar. 

“Aku baru tahu,” katanya ketika mereka sudah turun ke lobi, melewatinya, dan menuju parkiran. “Skill kamu yang satu itu, hehehe.” Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Laila yang meski dibalik hijab, tetap terlihat memerah.

Laila menepuk lengan suaminya itu dengan gemas. Plak! Ia menyembunyikan wajah malu yang sangat ketara dan menunduk saja.

“Tapi, aku belum puas tahu, yang, tanggung,” ujar Nathan lagi begitu keduanya di mobil. “Nanti kita lanjutin ke main course-nya di rumah, ya.”

Laila hanya bisa memejamkan mata, menahan senyum yang sejak tadi terukir di bibirnya yang terasa kering karena gombalan Nathan barusan. 

Malam ini Nathan harus ke kantor lagi untuk mengurus berkas, sementara Laila tidak ingin ditinggal di hotel sendirian, jadi lebih baik ia menunggu di rumah. Laila senang-senang saja, karena ia bisa menengok keadaan nenek.

“Assalamu’alaikum, nek!” Laila menyapa lembut di pintu kamar majikan yang sekarang telah menjadi nenek mertuanya itu.

“Wa’alaikumsalam….” suara serentak itu menjawabnya. 

Seorang perawat setengah baya berdiri di samping ranjang nenek yang tersenyum menyambutnya. Perawat itu tampak mengenali Laila sebagai perawat nenek sekaligus anggota keluarga ini, mungkin nenek menceritakannya.

Laila sebenarnya sudah menghubungi beberapa teman untuk menggantikannya, tapi mereka semua sibuk. Jadi, ia menerima perawat lain dari ibu mertuanya, bu Kusuma, dan kelihatannya perawat itu lebih terampil.

“Neeng… nenek kangen!” Nenek merentangkan kedua tangannya, siap menerima pelukan dari Laila, cucu mantu kesayangannya.

Neng? Perawat itu mengamati kedekatan nenek dengan Laila, meski sudah tahu banyak tentang gadis itu. 

Laila sama sekali tidak menyadari tatapan penuh tanda tanya dari bibir yang ditarik ke bawah di wajah perawat tersebut. Ia justru mempererat pelukannya, lalu memandang wajah nenek lekat-lekat sambil mengelus pundak yang renta itu.

“Nenek gimana makannya?” Tanya dia seperti biasa jika kembali dari liburan.

Nenek mengangguk saja. Lalu, tangannya meminta agar perawat lain memberikan mangkuk makanan kepada Laila.

“Oh, maaf, saya Laila Indah..” Ujar Laila kepada perawat itu seraya menjulurkan tangannya. “Saya biasa dipanggil Indah di sini,” senyumnya tersungging dengan ramah.

“Ya, mbak Indah.. Saya sudah dengar banyak tentang mbak dari nenek,” jawab perawat itu dengan basa-basi yang datar di wajahnya. “Saya Enni, saya sudah dua puluh lima tahun menjadi perawat.”

Laila menaikkan alis, merasa kagum meski itu informasi yang tidak dia tanyakan. Ia sangat antusias menerima bu Enni di sini.

“Wah, terima kasih ya, suster Enni..” ucapnya.

Selanjutnya, Laila yang sebelumnya hanya memberikan informasi mengenai pengobatan yang nenek jalani lewat pesan beberapa hari yang lalu, kini berdiskusi dengan bu Enni lebih detail lagi.

Setelah jelas, Laila meminta izin untuk meninggalkan kamar karena ada keperluan lain.

Ia baru ingat kalau Nathan akan pulang sebentar lagi. Jadi, ia segera kembali ke kamarnya Nathan–kamar mereka berdua–dan mempersiapkan semuanya. Mulai dari baju tidur, handuk, hingga peralatan mandi.

Masih lima belas menit lagi, Laila memanfaatkan waktu ini untuk berendam di bathtub yang ia isi dengan wewangian floral. 

Kata ibu, “kita sebagai istri harus tampil cantik dan wangi ketika menyambut suami pulang kerja.” Itu sudah menjadi rutinitas yang ibu contohkan kepada Laila sejak dulu, meski suaminya hanya pulang setiap minggu.

Laila menikmati waktu cantiknya di bathtub hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul sembilan lewat. Nathan belum kembali. Laila segera membersihkan dirinya, lalu menuju cermin rias yang sudah diletakkan di sudut kamar.

Ia mengikat rambut gelombangnya, lalu mulai menghiasi wajah dengan warna-warna hangat dan natural yang pasti akan Nathan sukai. Setelah memastikan wajahnya siap dengan riasan, ia membuka lemari dan menemukan sederet gaun pendek.

“Kayaknya ini bukan daster… tapi aku suka!” Gumamnya sambil mengambil salah satunya dari gantungan, dan memeluknya.

Ia memang tidak pernah tampil terbuka, imejnya selalu sederhana dan jauh dari kata mencolok, tapi kali ini berbeda di depan Nathan, suaminya. Ia ingin menjadi wanita glamor di dalam kamar dan membiarkan Nathan tahu seluk beluk dirinya.

Laila menatap bayangan dirinya sendiri yang mempesona di depan cermin. Ini seperti bukan dirinya. Apakah Nathan akan terkejut?

Clek! Suara pintu dibuka.

Laila yang sedang membelakangi pintu, spontan menolehkan kepala, tatapannya berbalasan dengan tatapan Nathan di pintu. Nathan memang terkejut, lalu segera menutup pintu dan menguncinya.

“Sayang,” katanya sambil mengambil langkah jenjang ke arah Laila, kemudian membalikkan wanita itu hingga berhadapan dan ia bisa melihat seluruh keindahannya.

Laila yang awalnya tersipu malu, kini memberanikan diri untuk menaikkan wajah dan tersenyum menyambut suaminya pulang. Ia sengaja memilih gaun merah marun dengan neck yang lebih rendah dan membentuk tubuhnya.

Nathan jelas tampak menyukai itu, sehingga tidak henti mengecup bibirnya dan sesekali mencuri pandang ke bagian lain di bawah wajahnya. Itu membuatnya gila.

“Mandi dulu, mas,” Laila menghentikannya dengan lembut, lalu menuntunnya ke kamar mandi.

Sepuluh menit, Laila punya waktu untuk mengoleskan riasan kembali dan memastikan dirinya siap. Nathan terdengar sedang mengeringkan badan, lalu ia muncul di depan lemari pakaian dengan handuk yang melilit di pinggangnya.

Nathan sedikit ragu saat hendak mengambil pakaian ganti yang telah disiapkan, tatapannya yang berubah liar malah mencari Laila di meja rias. 

“Sayang…” panggilnya dengan seringai yang muncul seperti serigala yang kelaparan di tengah malam purnama.

Laila sempat merinding, namun ia menoleh dengan bibir yang menarik senyuman. Dilihatnya Nathan, yang bertubuh tinggi dengan bahu lebar dan dada telanjang itu sudah akan menariknya ke ranjang.

Sepertinya malam ini Nathan benar-benar akan menunaikan janjinya untuk menyelesaikan foreplay mereka tadi siang. 

“Ayo, aku mau main course-nya sekarang.” Ujar pria itu.

***

Jam tiga lewat seperempat. 

Laila sudah dibangunkan oleh alarm dari ponselnya di atas nakas, sedikit mengganggu ketenangan Nathan yang beringsut ke arah lain. 

“Mas, aku mandi dulu, ya.” Laila berbisik di balik bahu Nathan, memberitahunya bahwa permainan mereka sudah selesai. 

Ia kemudian beranjak ke kamar mandi. Langkahnya sedikit terhuyung sebab pandangan matanya sesaat berbayang. Apa dia kelelahan? Laila memegangi kepala sampai pusing yang dirasakannya mereda, lalu melanjutkan persiapannya di pagi hari.

Setengah jam sebelum subuh, ia membangunkan suaminya. Perlu waktu lebih lama untuk mandi besar, lalu bersiap melaksanakan sholat. 

“Iya, iya, sebentar lagi sayang, ah!” Nathan mengeluh sambil menenggelamkan kepalanya di bawah telapak tangan Laila. 

Sepertinya ia masih ingin bermanja-manja dengan sentuhan lembut itu, tapi Laila punya cara untuk membuatnya tersadar. 

“Wah, papa nelpon!” Katanya sambil mengangkat ponsel ke dekat telinga. 

Jelas Nathan tidak dapat melihat layar kalau istrinya itu cuma pura-pura, ia langsung melompat sambil meraih boxer di sisi ranjang. “Bilang kalau aku sudah bangun, awas saja ya..” Katanya yang segera ngacir ke kamar mandi.

Papa sangat disiplin. Sangat-sangat disiplin sehingga tidak mau mendengar anak-anaknya bangun pas saat subuh, melainkan harus setengah jam sebelumnya.

Oleh karena itu, mengetahui bahwa Laila sudah terbiasa bangun sekitar pukul tiga, papa mertuanya sangat bangga. Timbullah keinginan untuk benar-benar menjadikannya menantu pertama.

“Hehehe!” Laila yang masih mengenakan mukena hanya terkekeh. Senang melihat tuan mudanya begitu patuh dan bertingkah lucu pagi-pagi begini.

Nathan sempat menunaikan sholat witir, ibadah sunnah yang kuat dan tidak boleh ditinggalkan kata papanya. Semua petuah papa adalah jalan hidupnya selama ini… kecuali hubungan gelap yang menjadi rahasianya.

“Mau ke masjid?” Tanya Laila ketika melihat suaminya itu menyemprotkan parfum di depan lemari kaca dekat pintu.

Nathan mengiyakan dengan cepat, lalu membuka pintu dan menghilang.

Pagi beranjak dengan cepat diikuti kegiatan Laila yang menyiapkan sarapan Nathan, meski ada staf di dapur, hingga membawakan sarapan untuk nenek. Ia sempat salim dan menerima kecupan di dahi sebelum Nathan berangkat, lalu ia naik ke lantai atas.

“Oh, kamu datang juga,” Bu Enni sudah berdiri di depan pintu kamar nenek. Lalu, seolah hanya menunggu Laila muncul, ia berbalik badan dan masuk.

Laila sempat termenung melihat rekan barunya itu yang tiba-tiba bersikap cuek dan kurang ramah. Namun, ia diam saja sambil ikut masuk ke kamar.

Di sana, nenek sudah duduk bersandar pada tumpukan bantal untuk menopang tubuhnya,  kemudian menerima nampan sarapan dengan suka cita. Tampaknya pernikahan sang cucu dengan Laila membawa perubahan besar kepadanya.

“Nenek nanti mau olahraga di bawah, boleh, ya?” Kata nenek yang seperti meminta izin kepada Laila di sampingnya.

“Wah, olahraga…?” Laila menggaruk keningnya. “Tumben banget nenek minta olahraga, tapi okelah. Nanti aku sama suster Enni bantu pakai kursi roda ya, nek.”

Nenek sudah tepuk tangan kegirangan. Pasalnya, sudah hampir sebulan beliau rebahan di ranjang sejak kondisinya drop beberapa waktu lalu. Meski ruangan ini mendapatkan cahaya yang cukup, nenek tetap ingin menikmati suasana di luar.

“Neng,” nenek menyenggol lengan Laila yang sedang memegang mangkuk bubur. “Gimana malam pertamanya dengan Nathan..?”

Sontak saja Laila mematung dengan wajah memerah malu. Senyumnya tertahan di bibir yang perlahan dikulum, apalagi suster Enni mendengarnya dengan jelas di antara mereka. 

“Y-ya..” Laila bergumam samar-samar, wajahnya masih menunduk memandangi bubur yang sedang diaduk pelan. 

“Sudah sini, saya saja, mbak..” Suster Enni tiba-tiba berusaha mengambil alih mangkuk itu, dari gelagatnya seakan tidak suka dengan ekspresi Laila barusan. Tapi, hanya Laila yang dapat merasakannya.

Laila menyerahkan tugas itu, lalu membereskan yang lain sambil memikirkan sesuatu tentang suster baru ini. Ada yang tidak beres…

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status