Nayla memandang cincin yang melingkar di jarinya. Matanya basah, bukan hanya karena haru, tapi juga karena beban yang semakin berat. Cinta Reno memang tulus, tapi dunia mereka tak semudah itu menyatukan dua hati. Bukan hanya tentang perbedaan latar belakang, tapi tentang luka-luka yang belum sembuh di masa lalu—dan orang-orang yang belum rela melepaskan genggamannya. Di malam yang tenang itu, Nayla menatap langit dari balkon kosnya. Angin berhembus pelan, membawa suara pesan yang baru masuk ke ponselnya. Ia membuka layar dan matanya menyipit. Dari Amanda: > “Kau pikir dia sungguh mencintaimu? Lucu sekali. Tunggulah, semua akan tahu siapa kau sebenarnya.” Nayla menggertakkan gigi. Tangan kirinya mengepal di sisi tubuhnya. Sejak Amanda tahu hubungan mereka serius, perempuan itu makin nekat. Tadi siang saja, Amanda sempat muncul di kantor dan mempermalukannya di depan staf lain dengan menyiratkan kalau Nayla ‘perempuan perebut suami orang’. Meski tidak benar, fitnah itu menyebar cepa
Amanda duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan memainkan cangkir tehnya dengan jari-jari runcing yang berlapis kuteks nude. Ia terlihat nyaman, seolah rumah ini sudah dikenalnya lama. Bahkan, ketika Ibu Reno menyodorkan sepiring kudapan, Amanda tersenyum manja dan berkomentar, “Masih enak seperti dulu, Tante. Tante memang nggak pernah berubah.”Tawa ibu Reno terdengar renyah, membuat suasana mendadak lebih akrab... untuk Amanda. Nayla hanya mengamati dalam diam. Ia duduk tepat di sebelah Reno, tapi rasanya seperti orang asing.“Jadi, Nayla kerja di mana?” tanya Amanda dengan nada basa-basi.“Aku masih fokus bantu usaha kecil Ayah di rumah,” jawab Nayla tenang.Amanda mengangguk, matanya menyorot. “Keren ya. Perempuan mandiri yang mau mulai dari nol. Tapi... capek ya?”“Capek itu biasa. Yang penting halal dan dari hati,” Nayla membalas sambil tersenyum.Reno tersenyum kecil mendengar jawabannya, tapi Amanda tidak menyerah. Ia terus menggiring percakapan, menyisipkan masa lalu diriny
Pagi itu, Nayla sudah terbangun sejak subuh. Ia berdiri lama di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang mulai tampak lebih dewasa. Lingkar mata yang dulu tampak gelap kini mulai memudar, digantikan sorot mata yang lebih hidup. Tapi pagi ini, ada keresahan di sana—perasaan asing yang menggigilkan jemari. “Nay,” suara Vania terdengar dari balik pintu. “Aku bantu nyiapin meja makan, ya.” Nayla membuka pintu, tersenyum tipis. “Iya, makasih ya.” Mereka berjalan ke dapur bersama, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada keheningan canggung di antara mereka. “Kamu deg-degan?” tanya Vania pelan sambil mengambil sendok dan garpu. “Banget,” jawab Nayla jujur. “Bukan karena Reno, tapi keluarganya.” Vania berhenti sejenak. “Kamu pantas buat dia, Nay. Kalau mereka nggak bisa lihat itu… mereka yang rugi.” Nayla menoleh, menatap Vania. Ada ketulusan di mata adik tirinya itu, dan itu membuat hatinya menghangat. “Terima kasih, Van.” “Anggap ini... pengganti semua luk
Tiga belas jam perjalanan akhirnya membawa Nayla kembali menginjak tanah kelahirannya. Bandara Soekarno-Hatta terasa lebih hangat dari biasanya, mungkin karena kali ini ia pulang bukan sebagai anak yang terbuang, tapi sebagai perempuan yang sudah berdiri di atas kakinya sendiri. Reno menjemputnya di pintu kedatangan. Saat pandangan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Mereka tidak langsung berpelukan. Hanya saling menatap, lalu tersenyum—penuh rindu yang tertahan. “Kamu berubah,” kata Reno pelan. “Jadi lebih dewasa?” “Jadi lebih kuat,” jawab Reno. “Tapi kamu tetap Nayla-ku.” Nayla menatap matanya lekat. Ia ingin percaya, tapi luka-luka kecil dalam hatinya belum sepenuhnya sembuh. --- Di rumah, suasana hening saat Nayla melangkah masuk. Bu Rika berdiri canggung di depan pintu, matanya berkaca-kaca. Sementara Vania duduk di kursi ruang tamu, terlihat berbeda dari terakhir kali Nayla melihatnya—lebih sederhana, lebih tenang. “Selamat datang di rumah, Nay,” kata Bu Rika lirih.
Sudah hampir enam bulan sejak Nayla meninggalkan tanah air. Di Seoul, ia mulai terbiasa dengan dinginnya musim gugur, ritme belajar yang padat, dan kehidupan mandiri yang menantang sekaligus menyenangkan. Setiap hari, ia menyempatkan diri untuk menulis jurnal, mengabadikan kisahnya, dan tentu saja, menghubungi Reno lewat video call. “Aku baru aja presentasi di depan profesor dari tiga negara, Ren. Gemeteran banget, tapi lancar,” ucap Nayla antusias. Reno tersenyum lewat layar, meski ekspresinya tak secerah biasanya. “Aku bangga banget sama kamu, Nay.” Namun, di balik layar, Reno mulai merasa kesepian. Rutinitasnya tak lagi diwarnai tawa Nayla secara langsung. Kehangatan yang dulu selalu ia temukan dalam pelukan Nayla kini digantikan dengan layar datar dan sinyal kadang putus. --- Di kampus, Reno mulai dekat dengan Alika—mahasiswi baru di jurusan yang sama. Gadis itu ceria, ramah, dan punya cara bicara yang mengingatkannya pada Nayla… setidaknya secara permukaan. “Eh, Ren, besok
Pagi itu, matahari belum tinggi saat Nayla menerima email penting di ponselnya. Ia baru saja selesai membantu persiapan seminar fakultas ketika Reno memanggilnya. "Nayla! Coba buka email kamu sekarang juga!" Dengan jantung berdebar, Nayla membuka layar ponselnya. Matanya membesar saat membaca baris pertama: > Selamat! Anda lolos seleksi akhir beasiswa pertukaran pelajar ke Seoul University. Tangannya menutupi mulut, nyaris tak percaya. “Aku… lolos?” Reno mengangguk penuh bangga. “Kamu layak dapetin ini. Ini langkah besar.” Nayla merasa hatinya meluap—campuran bahagia dan gugup. Ini impiannya sejak SMA. Tapi kini, saat kesempatan itu datang, ia juga merasa tak ingin pergi dengan meninggalkan segalanya belum tuntas di rumah. “Aku belum tahu harus gimana, Ren… Masih banyak yang belum selesai di rumah.” “Kamu juga berhak bahagia, Nay. Rumahmu bisa sembuh, tapi kamu juga harus punya hidup sendiri.” --- Di rumah, Vania sedang merapikan lemari tua di ruang belakang ketika ia menemu