Nayla tumbuh dalam rumah yang dulu hangat, kini dingin karena kehadiran seorang “saudara tiri” yang mencuri segalanya—perhatian, kasih sayang, bahkan cinta. Sejak kehadiran Vania, anak dari istri baru ayahnya, Nayla tak lagi dianggap. Ia hanya bayangan, pembantu tak bergaji di rumah sendiri. Vania manis di luar, tapi iblis di balik senyuman. Ia tahu cara bermain perasaan dan menjatuhkan Nayla tanpa harus menyentuhnya. Satu-satunya yang membuat Nayla bertahan adalah ketenangannya—dan lelaki bernama Reno. Namun saat Vania mulai mengincar Reno juga, Nayla dihadapkan pada dua pilihan: menyerah seperti biasanya, atau melawan dengan caranya sendiri—tenang, cerdas, dan tepat sasaran. Di balik luka yang ditorehkan keluarga dan cinta yang diperebutkan, akankah Nayla mampu merebut kembali tempatnya—sebagai anak, sebagai perempuan, dan sebagai seseorang yang layak dicintai? ---
View MoreHujan turun deras sejak sore, membasahi jendela kamar Nayla yang mulai berembun. Gadis itu duduk di sudut ranjangnya, menatap kosong ke arah lemari tua di sudut ruangan. Suara tawa dari lantai bawah terdengar samar, tapi cukup jelas untuk membuat hatinya kembali perih.
Itu suara Vania—anak tiri ibu tirinya, yang sejak datang dua tahun lalu telah mengubah segalanya. Ayah Nayla, Pak Darmawan, yang dulu hangat dan penuh perhatian, kini hampir tak pernah menatap mata putrinya sendiri. Semua senyum dan kasih yang dulu untuk Nayla, kini seakan milik Vania seorang. "Nayla!" teriak sebuah suara dari bawah. Ibu tirinya, Bu Rika. Tanpa semangat, Nayla bangkit dari tempat tidur dan turun. Di dapur, ia menemukan Vania duduk di meja makan sambil tersenyum manis, sementara ibunya berdiri dengan tangan di pinggang. "Kamu belum cuci piring makan malam, kan? Tadi Vania udah bantu masak, masa kamu nggak ada kontribusinya?" kata Bu Rika tajam. Nayla hanya menunduk. “Maaf, Bu. Aku—aku tadi belum turun.” "Alasannya selalu aja!" Bu Rika mendengus. Vania pura-pura menghela napas prihatin. "Nggak apa-apa, Tante. Mungkin Kak Nayla capek ya. Aku juga tadi masak santai aja kok." Ucapan itu terdengar manis, tapi di baliknya Nayla tahu benar maknanya. Ia hanya bisa mengangguk, lalu mulai mencuci piring tanpa suara. Dari balik cermin dapur, ia bisa melihat tatapan puas Vania. Seolah kemenangan kecil itu sudah cukup untuk membuatnya merasa di atas segalanya. --- Di kampus, Nayla nyaris tak banyak bicara. Ia bukan tipe gadis populer seperti Vania yang selalu tampil menawan dan tahu cara menarik perhatian. Nayla lebih suka menyendiri, duduk di pojok perpustakaan, tenggelam dalam buku atau laptopnya. Tapi hari itu, seseorang duduk di sebelahnya. Reno. Pria yang diam-diam sudah lama menarik perhatiannya. “Kamu Nayla, kan? Sering lihat kamu di sini,” ucap Reno ramah. Suaranya lembut, tapi jelas. Nayla mengangguk pelan. “Iya… kamu Reno, jurusan Manajemen, ya?” Reno tersenyum. “Wah, kamu tahu juga.” “Aku sering dengar namamu di kelas. Banyak yang ngomongin kamu,” katanya jujur. Lalu buru-buru menunduk, malu sendiri. Reno justru tertawa kecil. “Mudah-mudahan yang dibicarain baik-baik aja.” Sejak saat itu, Reno sering muncul di perpustakaan. Kadang hanya menyapa, kadang duduk di meja yang sama. Nayla merasa aneh, tapi juga senang. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang melihatnya, benar-benar melihatnya. --- Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu malam, saat Nayla pulang dari kampus, ia melihat Vania berdiri di ruang tamu, mengenakan gaun putih sederhana, dan tampak begitu manis. Di sampingnya… Reno. Jantung Nayla seolah berhenti berdetak. “Oh, Kak Nayla!” sapa Vania ceria. “Kebetulan banget! Reno mau main sebentar, tadi habis antar aku pulang dari kampus.” Reno tersenyum canggung. “Hai, Nayla…” “Hai…” jawab Nayla pelan, menelan pahit yang menggumpal di tenggorokannya. Malam itu, Nayla tak bisa tidur. Ia merasa dadanya sesak. Reno mungkin tak tahu apa-apa, tapi Vania tahu. Ia tahu Nayla menyukai Reno, tapi tetap memilih mendekatinya. Dan yang paling menyakitkan, seolah dunia pun ikut mengabaikannya. Nayla menarik napas panjang. Ia tidak boleh hancur. Tidak sekarang. Jika selama ini ia bertahan menghadapi rumah tanpa cinta, maka untuk kali ini… ia akan belajar untuk melawan. Bukan dengan teriakan, tapi dengan cara yang akan membuat semua orang membuka mata. Termasuk ayahnya. ---Amanda duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan memainkan cangkir tehnya dengan jari-jari runcing yang berlapis kuteks nude. Ia terlihat nyaman, seolah rumah ini sudah dikenalnya lama. Bahkan, ketika Ibu Reno menyodorkan sepiring kudapan, Amanda tersenyum manja dan berkomentar, “Masih enak seperti dulu, Tante. Tante memang nggak pernah berubah.”Tawa ibu Reno terdengar renyah, membuat suasana mendadak lebih akrab... untuk Amanda. Nayla hanya mengamati dalam diam. Ia duduk tepat di sebelah Reno, tapi rasanya seperti orang asing.“Jadi, Nayla kerja di mana?” tanya Amanda dengan nada basa-basi.“Aku masih fokus bantu usaha kecil Ayah di rumah,” jawab Nayla tenang.Amanda mengangguk, matanya menyorot. “Keren ya. Perempuan mandiri yang mau mulai dari nol. Tapi... capek ya?”“Capek itu biasa. Yang penting halal dan dari hati,” Nayla membalas sambil tersenyum.Reno tersenyum kecil mendengar jawabannya, tapi Amanda tidak menyerah. Ia terus menggiring percakapan, menyisipkan masa lalu diriny
Pagi itu, Nayla sudah terbangun sejak subuh. Ia berdiri lama di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang mulai tampak lebih dewasa. Lingkar mata yang dulu tampak gelap kini mulai memudar, digantikan sorot mata yang lebih hidup. Tapi pagi ini, ada keresahan di sana—perasaan asing yang menggigilkan jemari. “Nay,” suara Vania terdengar dari balik pintu. “Aku bantu nyiapin meja makan, ya.” Nayla membuka pintu, tersenyum tipis. “Iya, makasih ya.” Mereka berjalan ke dapur bersama, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada keheningan canggung di antara mereka. “Kamu deg-degan?” tanya Vania pelan sambil mengambil sendok dan garpu. “Banget,” jawab Nayla jujur. “Bukan karena Reno, tapi keluarganya.” Vania berhenti sejenak. “Kamu pantas buat dia, Nay. Kalau mereka nggak bisa lihat itu… mereka yang rugi.” Nayla menoleh, menatap Vania. Ada ketulusan di mata adik tirinya itu, dan itu membuat hatinya menghangat. “Terima kasih, Van.” “Anggap ini... pengganti semua luk
Tiga belas jam perjalanan akhirnya membawa Nayla kembali menginjak tanah kelahirannya. Bandara Soekarno-Hatta terasa lebih hangat dari biasanya, mungkin karena kali ini ia pulang bukan sebagai anak yang terbuang, tapi sebagai perempuan yang sudah berdiri di atas kakinya sendiri. Reno menjemputnya di pintu kedatangan. Saat pandangan mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Mereka tidak langsung berpelukan. Hanya saling menatap, lalu tersenyum—penuh rindu yang tertahan. “Kamu berubah,” kata Reno pelan. “Jadi lebih dewasa?” “Jadi lebih kuat,” jawab Reno. “Tapi kamu tetap Nayla-ku.” Nayla menatap matanya lekat. Ia ingin percaya, tapi luka-luka kecil dalam hatinya belum sepenuhnya sembuh. --- Di rumah, suasana hening saat Nayla melangkah masuk. Bu Rika berdiri canggung di depan pintu, matanya berkaca-kaca. Sementara Vania duduk di kursi ruang tamu, terlihat berbeda dari terakhir kali Nayla melihatnya—lebih sederhana, lebih tenang. “Selamat datang di rumah, Nay,” kata Bu Rika lirih.
Sudah hampir enam bulan sejak Nayla meninggalkan tanah air. Di Seoul, ia mulai terbiasa dengan dinginnya musim gugur, ritme belajar yang padat, dan kehidupan mandiri yang menantang sekaligus menyenangkan. Setiap hari, ia menyempatkan diri untuk menulis jurnal, mengabadikan kisahnya, dan tentu saja, menghubungi Reno lewat video call. “Aku baru aja presentasi di depan profesor dari tiga negara, Ren. Gemeteran banget, tapi lancar,” ucap Nayla antusias. Reno tersenyum lewat layar, meski ekspresinya tak secerah biasanya. “Aku bangga banget sama kamu, Nay.” Namun, di balik layar, Reno mulai merasa kesepian. Rutinitasnya tak lagi diwarnai tawa Nayla secara langsung. Kehangatan yang dulu selalu ia temukan dalam pelukan Nayla kini digantikan dengan layar datar dan sinyal kadang putus. --- Di kampus, Reno mulai dekat dengan Alika—mahasiswi baru di jurusan yang sama. Gadis itu ceria, ramah, dan punya cara bicara yang mengingatkannya pada Nayla… setidaknya secara permukaan. “Eh, Ren, besok
Pagi itu, matahari belum tinggi saat Nayla menerima email penting di ponselnya. Ia baru saja selesai membantu persiapan seminar fakultas ketika Reno memanggilnya. "Nayla! Coba buka email kamu sekarang juga!" Dengan jantung berdebar, Nayla membuka layar ponselnya. Matanya membesar saat membaca baris pertama: > Selamat! Anda lolos seleksi akhir beasiswa pertukaran pelajar ke Seoul University. Tangannya menutupi mulut, nyaris tak percaya. “Aku… lolos?” Reno mengangguk penuh bangga. “Kamu layak dapetin ini. Ini langkah besar.” Nayla merasa hatinya meluap—campuran bahagia dan gugup. Ini impiannya sejak SMA. Tapi kini, saat kesempatan itu datang, ia juga merasa tak ingin pergi dengan meninggalkan segalanya belum tuntas di rumah. “Aku belum tahu harus gimana, Ren… Masih banyak yang belum selesai di rumah.” “Kamu juga berhak bahagia, Nay. Rumahmu bisa sembuh, tapi kamu juga harus punya hidup sendiri.” --- Di rumah, Vania sedang merapikan lemari tua di ruang belakang ketika ia menemu
Dua minggu telah berlalu sejak malam itu—malam ketika kebenaran akhirnya muncul ke permukaan. Di rumah Bu Rika, keadaan memang jauh lebih tenang, tapi ketenangan itu belum berarti pulih sepenuhnya. Terutama bagi Vania. Ia mulai melakukan hal-hal kecil: merapikan rumah, membantu memasak, bahkan mencuci piring setelah makan malam. Tapi setiap gerakannya terasa canggung, seolah ada sekat tipis antara niat dan penerimaan. Bu Rika memperhatikan perubahan itu, tapi masih kesulitan bersikap biasa. “Aku bingung harus bilang apa kalau lihat Vania,” keluhnya pada Nayla di dapur. “Biarkan dia membuktikan sendiri, Bu,” jawab Nayla lembut. “Kalau dia berubah karena sadar, bukan karena terpaksa, Ibu pasti bisa lihat bedanya.” --- Di kampus, Vania justru menghadapi medan yang lebih berat. Teman-teman yang dulu memujanya kini menjauh. Gosip video rekayasa yang dulu ia sebar masih bergaung, bahkan setelah kebenarannya terbongkar. “Kamu punya nyali juga datang lagi ke sini,” sindir salah satu te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments