Share

Bab 2.

Jenderal Sina segera mengabarkan kondisi perang kepada Kaisar Andreas, “Pasukan musuh sudah berhasil kita pukul mundur.”

Kaisar Andreas dengan tawa penuh kegembiraan menyambut kemenangan ini.

Sedangkan di pihak Sultan Umar terlihat beberapa orang masih dalam proses pengobatan, mereka sibuk mengistirahatkan tubuh serta pikirannya, menstabilkan kembali emosi yang bergejolak akibat kekalahan telak mereka.

“Sultanku, bagaimana rencana Anda? Ini sudah hari keempat, tapi belum juga terlihat hasil yang pasti. Apa kita sudahi saja? Atau Anda masih punya rencana lain?” tanya seorang penasihat.

“Kumpulkan semua pemimpin pasukan!” Sultan Umar menjawab pertanyaan dengan sebuah perintah.

Seluruh pemimpin pasukan dikumpulkan, Sultan Umar sengaja tidak mengumpulkan seluruh pasukan, karena para pasukan butuh waktu istirahat setelah perang habis-habisan hari ini.

Lagi pula jika berpidato di hadapan seluruh pasukan, Sultan Umar harus mengeluarkan tenaga lebih banyak untuk membuat seluruh pasukan mendengar pidatonya dengan jelas.

“Sampaikanlah kepada semua pasukanku! barang siapa yang masih memiliki tenaga yang cukup, aku perintahkan untuk membuat terowongan bawah tanah!”

Sultan Umar tak mau membuang waktunya begitu saja. Sambil menunggu pulihnya para korban, dia mengalihkan rencananya untuk melakukan penyerangan dari bawah tanah.

Mereka mulai menggali terowongan mengarah ke arah tembok besar, “Kita harus menggali sedikit lebih dalam. Semakin kita dekat dengan tembok, maka perdalamlah galian kalian! tembok yang besar pasti punya fondasi yang kokoh di bagian bawah.”

Sultan Umar turun tangan langsung ke lapangan, memastikan pasukannya melakukan semua sesuai rencananya.

Sedangkan pada kubu Kaisar Andreas masih melakukan pengawasan ke arah pasukan Sultan Umar, sejauh ini mereka masih bisa santai.

Perlawanan Sultan Umar memang tak begitu terasa bagi mereka, bahkan mereka belum mengeluarkan senjata-senjatanya dari gudang, pelontar batu mereka masih tersimpan dengan rapi.

Secara bergantian pasukan Kaisar Andreas terus bersiaga dan memantau dari atas tembok besar.

“Sebaiknya Tuan segera beristirahat! Biar saya yang bertanggung jawab di lapangan, lagi pula mereka tak mungkin mampu merobohkan tembok besar yang sudah berdiri kokoh selama seribu tahun lebih.”

Jenderal Sina meminta ijin kepada Kaisar Andreas untuk melanjutkan tanggung jawabnya.

Kaisar Andreas pun bangkit dari singgasananya, masuk ke dalam kamar, sang ratu sudah menunggunya di sana. Sedangkan Jenderal Sina kembali mengawasi para bawahnya.

Tekstur tanah yang kering dan keras membuat para pasukan Sultan Umar sedikit kesulitan untuk menggali, dengan bermandikan keringat di malam hari, mereka harus sesegera mungkin membuat terowongan itu menembus tembok besar.

Waktu terus bergulir, bahan peledak dengan takaran kecil digunakan untuk mempermudah penggalian, tanah-tanah mulai dikeluarkan dari dalam terowongan, kayu disanggahkan pada bagian tepi.

Mereka terus menggali terowongan dengan bergantian, lubang yang mereka buat sedikit demi sedikit terus mendekati tembok besar Kaisar Andreas.

***

“Apa musuh sudah pulang? Atau masih dalam masa gencatan senjata?” Kaisar Andreas yang sudah beberapa hari ini tak mendengar suara peperangan mulai menanyakan kondisi di lapangan kepada Jenderal Sina.

“Mereka masih tetap berdiam di tenda-tenda mereka, sepertinya mereka masih memulihkan tenaga.” Jenderal Sina menjawab pertanyaan atasannya dengan penuh hormat.

"Mungkin mereka ingin pulang, tapi mereka malu kalau harus menelan kekalahan.” Tawa Kaisar Andreas yang kemudian diikuti dengan tawa sang jenderal.

Sementara itu dari kejauhan terlihat dua orang dengan menunggangi kuda sedang mengarah ke perkemahan Sultan Umar.

“Sultanku ... Sultanku ... Aku membawa berita gembira.” Dari kejauhan dia sudah berteriak dengan nada yang penuh semangat.

“Wahai para penjaga, di mana Sultan Umar?” tanyanya, semua orang mengenalinya, Jamal dan anaknya Jamil.

Mereka adalah orang yang bekerja di istana Sultan Umar, Jamal dan anaknya Jamil. Dulunya Jamal adalah seorang budak yang kemudian ditebus oleh Sultan Umar, loyalitasnya hari ini adalah bentuk terima kasihnya atas kebaikan Sultan Umar yang telah membebaskannya.

“Mari aku antar,” seorang penjaga menawarkan diri untuk menunjukkan jalan menuju tenda Sultan Umar.

Jamal dan Jamil pun menuruni kudanya, kemudian berjalan di belakang pengawal.

“Ya sultanku ... Maaf jika saya mengganggu peristirahatan Anda, bolehkah saya masuk?” ucap Jamal ketika sudah berada di depan tenda sang Sultan.

“Sultanku ... Ada berita gembira untuk Anda, untuk para pasukan,” ujarnya.

Sultan Umar yang merasa tidak asing lagi dengan suara tersebut langsung keluar dari dalam tenda, “Ada apa kau kesini? Bukannya aku memerintahkanmu untuk berjaga di daerah istana?”

Bukannya penasaran dengan berita yang dibawa, Sultan Umar malah kaget dan cenderung marah.

“Maafkan saya! Saya datang kemari untuk menyampaikan berita gembira. Saya kemari atas perintah tuan muda.” Segera dia mengeluarkan sebuah gulungan dan memberikannya kepada sang sultan.

“Apa ini?” Sultan Umar bertanya sambil membaca isi dari surat tersebut.

Wajah Sultan Umar mendadak berubah, wajah yang tadinya cemberut tiba-tiba bahagia. Surat itu ternyata mengabarkan bahwa anak tercintanya akan segera bergabung membawa bala bantuan.

"Benarkah ini? Syukurlah kalau bala bantuan akan segera tiba.”

“Tentu saja, tuan muda dan para pasukan akan hadir ke tengah-tengah kita,” ucap si pengantar surat.

“Tunggu di sini!” sang sultan kemudian masuk ke dalam tenda, membuat surat balasan untuk putra tercintanya.

Tak lama Sultan Umar kembali keluar dengan membawa surat yang baru saja ditulisnya. Memerintahkan si pengantar surat kembali untuk memberikan suratnya kepada putra mahkota. “Pulanglah! Sampaikan salamku padanya!”

“Maafkan aku wahai sultanku ... Saya kemari tidak sendirian, saya kemari bersama satu dari sekian banyak rakyat yang Anda miliki, bolehkah jika saya ikut perang? Dan surat ini diantar oleh Jamil seorang saja.” Pinta jamal dengan sedikit memohon.

Sultan Umar tak menjawab, malah membalikkan tubuh membelakangi Jamal.

 “Maafkan saya! Saya hanya ingin ikut berperang, saya ingin menjadi saksi runtuhnya kekuasaan mereka. Kalau pun saya harus mati, saya lebih rela kalau mati dengan mendengarkan suara gemerincing kaki kuda yang berhasil meruntuhkan tembok besar yang telah kokoh selama seribu tahun itu.” Pintanya kembali kepada sang sultan.

“Terserah kau saja. Yang terpenting adalah putraku harus membaca surat itu.” Jawab Sultan Umar, yang kemudian berlalu masuk ke dalam tenda.

Hal ini tentu saja membuat Jamal kegirangan. “kau kembalilah! Aku akan tetap tinggal di sini.” Perintah Jamal sambil memberikan surat dari Sultan Umar kepada Jamil.

Jamal mengantarkan putranya yang masih berusia belasan tahun itu keluar dari area perkemahan.

"Bala bantuan akan segera tiba.” Teriak Jamal saat melewati tenda para pasukan, tidak henti-hentinya dia terus mengabarkan kabar gembira ini.

Beberapa orang yang mendengar berita ini kemudian juga ikut meneriakkan hal yang sama. Tak butuh waktu lama berita tersebut sudah menyebar di kalangan para pasukan, ini tentunya memberikan semangat tambahan bagi mereka.

Para pasukan ingin menghadiahkan kemenangan kali ini kepada sang putra mahkota.

Jamil yang sudah sampai di luar area perkemahan, segera berpamitan kepada ayahnya untuk pulang. Dengan menunggangi kudanya, Jamil mulai meninggalkan ayahnya bersama para pasukan yang lain.

Ya, walaupun usianya masih muda, namun ketangkasan Jamil dalam menunggangi kuda tidak bisa diremehkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status