Aku tidak percaya, ternyata tubuh mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri.
"Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya.**
Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya bisa memeluk guling. Aku sudah membayangkan bisa bercinta semalaman dengan istriku, padahal baru beberapa hari saja kita resmi menjadi suami-istri. Memang di saat malam pertama pernikahan kita, aku sudah bercinta dengannya semalaman suntuk tanpa henti. Sekarang benda pusaka ku ingin memuntahkan lahar panas nya, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Aku punya nafsu yang tinggi, apalagi cuaca dingin begini, semakin besar keinginanku untuk bercinta. Ponsel di tanganku masih menyala, menampilkan pesan suara dari Tiara. "Sayang, jangan lupa makan ya. Mama pasti bakal perhatian sama kamu, jadi gak usah khawatir." Suara Tiara terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang terasa jauh. Aku menarik napas panjang sebelum membalas. "Iya, hati-hati di sana." Setelah hampir seminggu Tiara pergi dinas ke luar kota. Awalnya, aku pikir tidak masalah tinggal sendiri di apartemen. Tapi dia bersikeras agar aku tinggal di rumah orang tuanya. "Biar Mama bisa nemenin kamu. Lagian, kamu belum terlalu akrab sama Mama, kan?" Dan di sinilah aku sekarang. Di rumah yang bukan rumahku, di bawah atap yang sama dengan seorang wanita yang… semakin sulit untuk tidak kupikirkan. Bu Siska. Bukan ibu kandung Tiara, tapi ibu tirinya—dan itu seharusnya tidak membuat perbedaan. Tapi, entah kenapa, aku mulai melihatnya dengan cara yang tidak seharusnya. Ibu Siska terlihat sangat cantik, badannya seperti gitar spanyol, kulitnya putih mulus dan senyumnya itu rasanya mengajak untuk berbuat maksiat. Aku menggeliat di tempat tidur, mencoba mengabaikan kegelisahan pikiran kotor yang mulai merayapi pikiranku. Tapi rasa lapar memaksa aku keluar kamar. Langkahku di lorong terasa lebih berat dari biasanya, mungkin karena pikiranku yang tidak tenang. Begitu tiba di dapur, aku langsung melihatnya. Bu Siska. Ia berdiri di dekat meja makan, hanya mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda. Kain halus itu membalut tubuhnya dengan pas, menyoroti lekukan yang masih terjaga di usianya yang menginjak 42 tahun. Bahunya terbuka sedikit, memperlihatkan kulitnya yang masih kencang dan mulus, seperti wanita yang jauh lebih muda dari usianya. Rambut hitamnya tergerai santai, memberi kesan liar namun tetap elegan. Mataku tertuju pada buah dadanya yang lumayan montok, saat dia menata piring rasanya buah dadanya akan tumpah. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, tapi terlambat. Ada sesuatu yang menancap di benakku. Sesuatu yang mengusik. Astaga, ini ibu mertuamu sendiri, Raka. Fokus. Namun sebelum aku bisa merapikan pikiranku, ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang lembut, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. "Raka, ayo makan dulu," ajaknya dengan suara yang hampir seperti bisikan. Aku mengangguk dan duduk di meja makan. Dia menuangkan sup hangat ke dalam mangkukku, aroma rempah dan jahe menguar, menyebarkan kehangatan di ruangan yang terasa semakin sempit. Entah kenapa rasanya Bu Siska, seperti sengaja menempelkan buah dadanya pada wajahku. Hingga tercium aroma parfum dan body lotion nya, yang membuat pedang pusaka ku berdenyut-denyut. "Tiara pasti sering masakin kamu, ya?" tanyanya, matanya menatapku lebih lama dari seharusnya dan dia meremas buah dadanya sendiri seperti sengaja. Aku menelan ludah. Senyum itu… tidak seperti senyum ibu mertua pada menantunya. Kenapa juga dia harus meremas buah dadanya sendiri di depanku. "Iya, Ma—eh, Bu," jawabku, buru-buru memperbaiki panggilan. Mama Siska terkekeh pelan, suara tawanya renyah, hampir seperti godaan. "Mama aja nggak apa-apa. Toh, kamu memang anak Mama sekarang." Aku ikut tertawa kecil, mencoba tetap tenang. Tapi saat aku hendak mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tanganku lagi. Sekilas, itu mungkin hanya kebetulan. Tapi kehangatan yang tertinggal di kulitku bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Aku meneguk air putih, mencoba menenangkan diri. Setelah makan, aku beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Saat aku hendak kembali ke kamar, suara Mama Siska menghentikan langkahku. "Raka," panggilnya pelan. Aku menoleh. Ia berdiri di lorong, bersandar di kusen pintu kamarnya, satu tangan terangkat menyentuh kayu, tubuhnya sedikit miring. Gaun tidurnya tampak lebih pendek daripada tadi, memperlihatkan pahanya yang mulus di bawah cahaya redup. Aku menahan napas. "Kalau butuh sesuatu… jangan ragu panggil Mama, ya?" Dia mengedipkan mata sambil mengigit bibirnya. Suaranya begitu lembut, hampir seperti bisikan di telinga. Seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dari sekadar kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk. "I-iya, Ma." Ia tersenyum tipis, sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Aku diam di tempat, jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Tidak. Ini pasti cuma pikiranku saja. Tapi saat aku berbalik, mataku tak sengaja menangkap pantulan di kaca jendela ruang tamu. Pintu kamar Mama Siska belum benar-benar tertutup. Masih sedikit terbuka… cukup untuk kulihat sepasang mata yang mengawasiku dari celah itu. Aku merinding. Aku segera berbaring di kasur, menarik selimut dan berharap segera pagi. Tapi ternyata aku tidak bisa tidur, pikiranku terbayang wajah Mama Siska apalagi saat dia meremas buah dadanya. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuat gairahku naik. Seketika benda pusaka ku langsung mengeras, sampai terlihat jelas di dalam celanaku. "Ssshhh aaahhhh...." Tiba-tiba terdengar suara aneh, aku turun dari ranjang dan mencari sumber suara itu. Aku membuka pintu dan ternyata pintu kamar Mama Siska masih terbuka, suara itu semakin terdengar jelas. Sekarang aku tau jika itu suara Mama Siska, dia sedang mendesah membuat kerongkonganku mendadak kering. Aku berjalan secara perlahan, sampai berada di depan kamar Mama Siska. Aku mengintip di balik tembok melihat ke dalam kamarnya dan betapa terkejutnya aku, melihat Mama Siska berbaring tanpa sehelai benangpun. Tangan kirinya membelai lembah terlarang nya, dan tangan kanannya meremas buah dadanya. "Ahhh enak Raka, terus sayang.... !" Nafasku terasa sesak, mungkin aku salah dengar. Jantungku berdebar kencang, rasanya udara semakin panas dan keringat menetes di dahi ku. Di tambah lagi benda pusaka ku malah makin keras, apalagi melihat tubuh Mama Siska yang aduhai. "Masuk Raka, jangan ngintip!" Aku semakin terkejut, rupanya Mama Siska tau jika aku sedang ngintip. Akhirnya aku menampakan diri, aku berdiri sambil menatap Mama Siska yang masih berbaring telentang dengan begitu menggoda. "Kamu gak bisa tidur ya? Ayo sini tidur sama Mama!" Aku harus melawan antara nafsu dan status. Dia mertua ku, tidak mungkin jika aku mengkhianati istriku sendiri. Tapi nafsu mengalahkan segalanya, aku tidak peduli yang jelas malam ini harus di lampiaskan. Aku sudah tidak kuat menahannya, dalam beberapa hari ini. Sedangkan di depan mataku, terdapat kenikmatan surgawi yang sudah menantang ku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku butuh pelampiasan. "Raka...... Raka.... Raka.... !" Suara itu semakin terdengar jelas, hingga aku membuka mataku. "Tokkk.... Tokkkk.... Tokkkk... Raka... Raka... Bangun!" Itu suara Mama Siska, ternyata semuanya hanya mimpi. "I-iya Ma, aku sudah bangun." Jawabku gelagapan. "Mama tunggu di meja makan ya?" "Iya Ma," Aku segera berlari ke kamar mandi. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuatku bangun kesiangan.Mr. Henri dan Mrs. Sariani juga ikut bergabung, membawa suasana keluarga yang semakin hangat.“Besok kalian istirahat dulu, ya. Soalnya lusa Raka sama Siska berangkat ke Swiss. Kami mau bikin makan malam keluarga sebelum mereka pergi,” kata Mrs. Sariani, matanya berbinar bahagia.Namun, di tengah obrolan hangat itu, Sam, yang selama ini lebih banyak diam, terlihat murung di sudut ruangan. Ia memegang ponselnya, scrolling tanpa tujuan, wajahnya menunjukkan beban yang tak diucapkannya. Nayla, yang peka dengan suasana, memperhatikan Sam dari kejauhan.“Sam, kamu kenapa? Kok diem aja?” tanyanya lembut, mendekati kakaknya.Sam mengangkat bahu, tersenyum kecil tapi tak meyakinkan. “Nggak apa-apa, Nay. Cuma capek aja. Besok aku ikut bantu persiapan buat makan malam keluarga, deh.”Namun, matanya tak bisa menyembunyikan perasaan yang lebih dalam perasaan yang masih terpaut pada Nayla dan kenangan yang tak bisa ia lupakan.Malam itu, setelah semua bubar ke kamar masing-masing, Pak Bambang masi
Ethan ikut berbelanja, mengambil topi baru, "Aku suka Bekasi, mallnya sangat lengkap."Di mobil kedua, Lila dan Liam jalan-jalan di taman, duduk di bangku sambil makan es krim cone."Liam, es krimnya meleleh nih," kata Lila tertawa, Liam langsung mengusap bibir Lila pakai tisu. "Haha, biar aku bantu. Kamu lucu banget kalau lagi makan."Jack merekam semuanya, "Guys, ini Grand Galaxy! Belanja dulu sebelum lanjut ke tempat lain."Dari mall, mereka lanjut ke Pasar Proyek Bekasi, pasar tradisional yang ramai dengan dagangan murah. Bau rempah dan gorengan langsung menyambut.Nayla bersemangat membeli kain batik, "Ini sangat murah! Untuk souvenir ke Mama Siska."Tom membantu menawar, "Bang, ini bisa kurang gak? Buat pacar aku nih." Penjualnya tertawa, "Bisa dong, mas. Buat Mbak yang cantik, jadi 50 ribu aja."Lila dan Liam membeli jajanan seperti kue cucur dan getuk, "Ini enak, Liam. Cobain deh," kata Lila, menyuapi Liam.Liam tertawa, "Manis seperti kamu, La."Jack dan Ethan membeli buah s
Setelah dua jam bermain air, mereka merasa lapar dan mampir ke Soto Tangkar Pak Kus, kuliner terkenal di Bekasi Timur. Soto daging sapi dengan kuah santan kental, disajikan dengan emping, bawang goreng, dan sambal."Ini enak banget, dagingnya empuk!" kata Ethan, sambil Nayla rekam review: "Guys, kalian wajib coba soto tangkar di Bekasi!"Tom menyuapi Nayla, "Makan yang banyak ya, Sayang."Lanjut ke Summarecon Mal Bekasi, mal modern dengan toko-toko branded, bioskop, dan food court. Mereka belanja souvenir kecil, Nayla beli baju couple dengan Tom, sementara Lila dan Liam jalan berdua di taman indoor, duduk di bangku sambil makan es krim."Liam, ini seperti date pertama kita," goda Lila.Liam tersenyum, "Bisa jadi, La. Aku suka banget sama kamu."Sore hari, mereka ke Pantai Muara Gembong, pantai alami di utara Bekasi dengan mangrove hijau dan air laut tenang. Mereka jalan kaki di tepi pantai, angin laut sepoi-sepoi.Tom dan Nayla pegangan tangan, mengambil foto sunset. "Ini romantis ban
Pagi itu, matahari baru saja terbit di langit Jakarta yang cerah. Pak Bambang melaju kencang dengan motornya menuju apartemen keluarga Dupont, jantungnya berdegup cepat karena panik.Ia seharusnya hanya izin "pergi sebentar" dari Pak Jamal malam tadi, tapi saking asyiknya permainan bersama Rina dan Sinta di rumah kosong Pak Jajang membuatnya lupa waktu.Malam yang seharusnya singkat berubah jadi berjam-jam penuh gairah dan kenikmatan, desahan, dan hal-hal nikmat yang tak bisa diceritakan."Ya ampun, sudah pagi! Pak Jamal pasti marah," gumamnya, sambil mempercepat gas melewati jalan raya yang mulai ramai.Udara pagi yang sejuk tak bisa mendinginkan keringatnya; ia buru-buru, helmnya basah oleh embun dan keringat campur aduk. Tiba di gerbang apartemen pukul enam pagi, ia parkir motor dengan tergesa, menarik napas dalam sebelum masuk ke pos security.Pak Jamal, yang sedang minum kopi hitam di pos, melihat Pak Bambang datang dengan wajah lelah."Bang, kamu baru pulang? Katanya cuma sebent
"Ok sayang, Om kencengin lagi ya," ujar Pak Jajang menambah kecepatannya.Pak Jajang semakin kencang mencengkram pelukannya, buah dada Sinta diremas habis dan goyangan Pak Jajang semakin kencang. Setelah cukup lama, Pak Jajang membalikkan tubuh Sinta, bokongnya di tarik ke atas dan ia menghisap daerah intinya yang sudah becek. Sinta mendesah keras, bagian klitorisnya dimainkan dengan lidahnya hingga cairannya keluar. Setelah itu, Pak Jajang kembali memasukkan benda pusakanya dengan sekali hentakan. Kedua kaki Sinta di pegang erat dan pinggul Pak Jajang semakin bergerak cepat. Pak Jajang mendengar suara desahan dari kamar sebelah, itu suara Rina yang sedang bercinta dengan Pak Bambang. Hingga Pak Jajang dapat ide bagus, ia menggendong Sinta menuju tempat Rina dan Pak Bambang bercinta."Kayaknya seru kalau kita ikut gabung neng, biarin makin seru." ujar Pak Jajang sambil menggendong dan berjalan ke kamar sebelah."Terserah Om aja," Sinta sudah pasrah.Pintu kamar tempat Pak Bambang ter
Mereka sama-sama berada di dalam kamar, Pak Bambang dan Rina saling berciuman sambil berbaring di atas kasur. Rina berada di atas, sedangkan Pak Bambang berada di bawah. sampai kemudian Pak Bambang membalikkan tubuhnya dan kini ia berada di atas.Mereka saling bertatapan, Rina membelai wajah Pak Bambang, "Om, aku boleh minta sesuatu?"Pak Bambang menatapnya dalam, "Apa sayang?"Rina membelai dada Pak Bambang dengan jari telunjuknya dengan gerakan memutar, "Aku pengen di beliin skincare, boleh gak Om?"Pak Bambang mencubit hidungnya, "Boleh dong, mau beli dimana?""Mmm... beli di mall, belinya sama Om aja. Gimana bisa gak Om?""Tentu dong sayang, tapi harus pas Om lagi libur ya nanti kita kesana.""Boleh Om, makasih ya Om.""Sama-sama, tapi Neng harus muasin Om dulu malam ini dan kamu harus siap layanin Om kapanpun Om mau,""Setuju, Om hubungi aku aja nanti.""Siap sayang, ayo kita senang-senang dulu."Pak Bambang kembali mencium bibirnya, ciuman yang semakin liar dan agresif. Hingga t