Setelah selesai mandi, aku langsung duduk dan mengacak rambutku yang masih setengah basah. Napasku masih sedikit berat, pikiranku juga masih terjebak di dalam sisa mimpi semalam.
Mimpi yang tidak seharusnya terjadi.
Desahan Mama Siska yang menggoda, tatapannya, suaranya yang nyaris seperti bisikan, benar-benar membuatku gila. Dia mengajakku untuk bercinta, tapi ternyata semua itu hanya mimpi!
Aku menelan ludah. Dadaku terasa sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan.
Sial. Aku harus berhenti memikirkan ini.
Tok tok!
"Abaaaang!!"
Suaranya yang lembut dan khas itu membuatku tersentak. Aku menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup.
"Bukain dong, Nayla mau masuk!"
Nayla. gadis itu ternyata masih di rumah.
Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan tenaga sebelum berjalan ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, gadis cantik itu langsung melongok ke dalam kamar dengan ekspresi penasaran.
Nayla adalah adik dari istriku, dia baru saja masuk kuliah tahun ini, tubuhnya ramping dan cukup seksi untuk ukuran anak seusianya. Wajahnya mirip dengan Tiara, tapi Nayla lebih tinggi sedikit dan kulitnya lebih putih. Daster merahnya dengan motif karakter kartun, membuatnya terlihat lebih imut.
Namun, yang membuatku sedikit waspada adalah tatapan curiganya padaku. Matanya yang bulat dan jernih menatapku dari ujung kepala sampai kaki.
"Abang kenapa mukanya merah?" tanyanya heran.
Aku mengerjap, lalu buru-buru mengusap wajahku. "Hah? Nggak, biasa aja."
"Ih jangan-jangan, Abang habis mikir jorok ya mentang-mentang gak ada Kak Tiara."
Aku tersentak, bagaimana bisa bocah ini berkata seperti itu. Tapi, aku mencoba untuk tetap tenang dengan tertawa kecil dan mengacak rambutnya. "Sok tau kamu, wajah Abang merah karena tadi habis mandi."
Mata Nayla menyipit, dia menatapku dalam-dalam. "Masa sih? Tapi, kok ngos-ngosan juga? Jangan-jangan, Abang mandi sambil begituan ya?"
Aku nyengir dan mencubit pipinya gemas. "Kamu masih bocah, belum cukup umur. Jangan kepo deh,"
"Waaah! Abang jahat! aku kan sudah 19 tahun, bukan bocah lagi" protesnya sambil memukul pelan lenganku, tapi wajahnya malah terlihat memerah.
Aku terkekeh, lalu berlalu masuk ke dalam kamar sambil terus mengusap rambutku dengan handuk kecil agar cepat kering. Ternyata, gadis itu ikut masuk dan duduk di tepi ranjangku, bibirnya masih terlihat manyun.
"Tetep bocah itu. Kamu sendiri ngapain pagi-pagi ke kamar Abang?" tanyaku sambil meliriknya.
Nayla langsung mengangkat dagunya dengan bangga. "Aku mau kasih tahu kalau nanti sore aku keluar nginep di rumah temanku!"
Aku menaikkan alis. "Oh ya? Udah izin sama Mama?"
Nayla mengangguk cepat. "Udah! Mama kasih izin, kok. Makanya aku bilang ke Abang biar nggak nyariin dan Abang gak pulang kemalaman soalnya kasihan Mama nanti sendirian."
Aku tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya. Jangan buat onar di rumah orang ya."
Aku meletakkan handuk kecil itu punggung kursi, lalu menyisir rambutku agar lebih rapi. Sekilas aku melirik Nayla dari pantulan cermin, rupanya gadis itu sedang memperhatikanku.
Nayla menatapku dengan lekat, matanya berbinar-binar, bahkan pipinya tampak sedikit memerah. Namun, setelah itu ia menunduk, menggigit bibirnya seperti ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu.
Aku berbalik dan menatapnya heran. "Kenapa, Nay?"
Nayla menggeleng cepat. "Nggak papa!"
Namun, pipinya tampak semakin merah.
Aku mengernyit, lalu tersenyum iseng. "Dari tadi kamu liatin Abang diem-diem. Suka ya sama Abang?"
"Ih mana ada begitu!" Nayla justru tampak sedikit panik, dan membuatku semakin semangat untuk menggodanya.
“Wah, parah nih kamu, bisa-bisanya suka sama suami kakakmu,” kataku dengan nada mengejek.
Aku terus menatap wajah Nayla yang semakin memerah. Nayla langsung bangkit, melompat-lompat panik sambil menutupi wajahnya dengan tangan. Aku benar-benar tertawa lepas melihat reaksinya.
"Gemes banget bocil," godaku lagi.
"ABANGGGG!!"
Ketika Nayla bersiap untuk berdiri dan lari keluar dari kamarku, dia justru tersandung oleh langkah kakinya sendiri karena terlalu panik.
Nayla jatuh dengan posisi tengkurap. Daster dengan panjang di bawah lutut itu otomatis sedikit tersingkap hingga membuat bagian belakang paha Nayla sedikit terlihat. Saat aku mendekat untuk membantunya berdiri, aku justru semakin tidak sengaja melihat bagian atas tubuhnya yang sedikit terlihat karena posisinya yang seperti itu.
“Eh … hati-hati, Nay,” kataku sambil mencoba bersikap biasa saja meskipun sebenarnya sedikit menegang.
Setelah aku membantu Nayla berdiri, gadis itu langsung berlari keluar kamarku.
Aku menghela napas. Dari awal aku menikah dengan Tiara, aku memang merasa Nayla seperti suka padaku, tapi mungkin hanya perasaanku saja. Terlebih, aku selalu memandangnya seperti adikku sendiri, tidak pernah ada pikiran lain.
Aku kembali bersiap untuk pergi kerja. Gara-gara mimpi sialan itu, aku jadi harus cepat-cepat karena bangun kesiangan.
Setelah selesai bersiap dan merapikan kembali tempat tidurku, aku bergegas keluar kamar. Namun, begitu aku melewati ruang makan, aku justru melihat Mama Siska yang sedang menyantap sarapannya dengan santai.
Melihat mertuaku yang sedang duduk di kursi makan dengan daster rumahannya membuat pikiranku kembali terlempar pada mimpi semalam.
Sial!
“Raka, sudah mau berangkat? Gak sarapan dulu?” tanya Mama Siska begitu melihatku.
Aku menelan ludahku dengan susah payah. Adegan ketika Mama Siska menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya dengan perlahan membuatku kembali berpikir liar. Aku mengerjap perlahan, berusaha mengusir pikiran itu.
“Eh, ga–gak usah, Ma. Aku kesiangan soalnya,” jawabku sedikit canggung.
Aku langsung melangkah meninggalkan area ruang makan. Namun, Mama Siska justru memanggilku. “Raka.”
Aku menghentikan langkahku dan kembali menoleh ke arah Mama Siska. “I-iya, Ma, kenapa?”
“Nanti kamu langsung pulang aja ya, jangan mampir ke mana-mana. Nayla nanti menginap di rumah temannya,” kata Mama Siska sambil menatapku.
Aku mengangguk pelan. Entah kenapa tatapan itu semakin membuatku teringat pada mimpi semalam.
“Iya, Ma. Tadi Nayla sudah kasih tahu juga. Kalau gitu, aku berangkat dulu ya, Ma.”
Tanpa menunggu jawaban Mama Siska, aku langsung melangkah pergi. Tidak sanggup lagi aku berlama-lama berhadapan dengannya. Perasaan canggung karena mimpi semalam membuatku tidak nyaman.
Mr. Henri, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Raka, kamu keras kepala dan berteguh pendirian. Dari awal, Ayah sudah merasa kalau kamu dan Bu Siska dekat, bukan sekadar menantu dan mertua. Siska memang wanita baik, tulus, sabar. Ayah bisa lihat dia wanita hebat dan tegar. Kalau itu pilihanmu, Ayah nggak bisa melarang.”Mrs. Sumarni menoleh ke suaminya, terkejut. “Ayah? Apa yang Ayah katakan?”Mr. Henri menghela napas, menatap Raka dengan penuh kasih. “Bu, ini semua kesalahan kita. Kita ceroboh sampai kehilangan Raka selama 27 tahun. Waktu itu Ayah sudah pasrah kalau nggak bisa ketemu Raka lagi. Dan sekarang Ayah nggak mau ulangi kesalahan itu. Ayah ingin lihat Raka bahagia. Anggap saja ini penebus dosa kita. Raka, kamu nggak perlu pergi. Kamu tetap menjadi pewaris keluarga Dupont.”Raka terdiam, matanya membelalak. “Benarkah, Yah? Jadi Ayah merestui hubunganku dengan Siska?”Mr. Henri mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Nak. Asal kamu bahagia, apa pun Ayah lakukan.”Raka melompa
Bab 216. Kejujuran Raka Malam itu, suasana di penthouse mulai sunyi. Semua orang kembali dari Puncak dengan wajah lelah namun penuh tawa, kecuali Raka, yang pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang hubungannya dengan Siska dan bagaimana cara menyampaikannya pada keluarganya. Di dalam mobil Mercedes-Benz hitam yang dikendarainya, Raka menyetir dengan fokus, sesekali melirik ke kaca spion untuk melihat Siska yang duduk di belakang bersama Claire dan Lila. Mrs. Sumarni, yang duduk di mobil lain bersama Mr. Henri, tiba-tiba berbicara melalui telepon grup keluarga. “Raka, Bu Siska, kalian dengar Ibu, ya,” kata Mrs. Sumarni, suaranya lembut tapi tegas. “Malam ini Bu Siska tidur di penthouse saja, biar besok langsung berangkat ke Bali bareng kita.” Siska, yang mendengar melalui speaker ponsel Claire, tampak ragu. “Oh, Bu, nggak usah. Saya bisa balik ke apartemen saya, nanti pagi saya ke sini lagi,” jawabnya sopan, suaranya sedikit canggung. Claire langsung menimpali, “Tapi itu
Sam mengangguk antusias. “Pasti, Lila! Aku sudah bikin daftar tempat yang mau dikunjungi. Pantai Kuta, Uluwatu, sama Ubud.”Mike menambahkan, “Aku juga pengen coba makanan lokal di Bali. Katanya sate lilit enak banget.”Ayah tertawa. “Tenang, kita akan ke hotel kita di Bali. Semuanya sudah diatur. Raka, kamu setuju besok lusa kita berangkat?”“Setuju, Ayah. Di Bali pasti seru,” jawabku, meski pikiranku masih terbagi.Sarapan berlangsung hangat, penuh canda dan rencana liburan. Tapi setiap kali Paman George menyebut Siska, aku merasa cemburu yang tak bisa kujelaskan pada mereka.Setelah sarapan, kami bersiap untuk ke villa di Puncak. Saat semua sibuk mengambil tas, Paman George mendekatiku. “Raka, ayo kita ke apartemen Bu Siska dulu, ajak dia agar ikut. Aku yakin dia akan senang.”Aku ingin menolak, tapi melihat antusiasmenya, aku merasa tidak enak. “Baiklah, Paman. Tapi aku yang nyetir, ya,” kataku, berusaha mengendalikan situasi.Sam tiba-tiba muncul. “Aku ikut, dong! Penasaran sama
Permainan mereka semakin panas, aku fokus menonton tubuh perempuannya yang kulitnya putih mulus. Rambutnya yang panjang terombang-ambing berantakan, akibat goncangan kencang dari Pak Bambang. Warna kulitnya kontras, jauh berbeda dengan warna kulitnya Pak Bambang yang hitam. Permainan mereka sangat panas, keduanya sama-sama bisa mengimbangi permainan yang cukup liar.Perempuan itu melenguh panjang, suara desahannya semakin membuatku bergairah. Aku masih berdiri dalam posisi masih mengintip lewat jendela. Aku melirik kanan kiri takutnya tahu-tahu ada orang lewat, aku ingin segera menyudahinya agar aku bisa kembali ke kamarku."Aahh mmhh," perempuan itu kembali mendesah keras. Tangan Pak Bambang dengan cepat menutup mulutnya. Mereka berganti posisi, Pak Bambang berbaring di kasur sedangkan perempuan itu menaiki tubuhnya. Dia mulai menggerakkan pinggulku keatas kebawah, tak hentinya dia terus mendesah keras. Pak Bambang kembali menutup mulutnya, perempuan itu sangat berisik seperti pemai
Ayah menimpali, “Kalau gitu kita harus rayakan, Raka. Ini ulang tahun pertama kamu bersama kita, jadi kamu ingin di rayakan dimana?"Belum sempat menjawab, Lila yang dari tadi diam, tiba-tiba berseru, “Gimana kalau di Bali? Aku pengen banget ke Bali, Ayah! Katanya pantainya bagus banget selain itu banyak pemandangan bagus.”Sam mengangguk antusias. “Aku setuju! Aku datang ke Indonesia salah satunya pengen banget bisa pergi ke Bali. Katanya surga tropis, orang-orang bermimpi ingin pergi ke sana.”Ayah tertawa. “Itu ide bagus karna kebetulan, kita punya hotel dan apartemen di Bali. Kita rayain di sana aja. Raka, kamu setuju kan?”"Tapi menurutku nggak usah di rayain, Yah. Cukup bisa kumpul-kumpul aja aku sudah bahagia." kataku."Jangan menolak gitu, Raka. Sekalian kita merayakan kamu menjadi pemimpin baru dan pertemuan kita setelah sekian tahun berpisah." kata Ayah membujukku.Ibu menimpali, "Benar kata Ayahmu, ini tahun pertama di hari ulang tahunmu kita bisa berkumpul. Tahun ini menja
“Iya, Ayah. Nanti aku hubungi lagi,” kataku, merasa sedikit lega karena mereka peduli pada Siska.Ayah lalu bertanya, “Oh ya, anaknya Bu Siska, Nayla, kenapa tidak ikut? Bukannya dia dekat sama kamu?”“Nayla lagi liburan dengan teman-temannya, Ayah. Kebetulan sedang libur panjang, aku sengaja memberikan hadiah untuknya karena dia dapat nilai bagus di kampusnya” jawabku, aku sengaja tidak menyebutkan bahwa aku baru pulang dari Bali. Hanya Pak Rudi saja yang tahu, dan dia cuma tersenyum kecil dari sudut ruangan.Ibu mengangguk. “Pintar ya dia, sangat hebat Ibu jadi ingin bertemu dengannya. Nanti ajak Nayla ke sini, ya. Ibu pengen kenalan.”Aku tersenyum, tapi di dalam hati, aku ingin sekali mengatakan tentang hubunganku dengan Siska. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, apalagi mereka baru sampai dan masih lelah. Aku menahan diri, beralih mendengarkan Ayah yang mulai bercerita tentang bisnis keluarga.“Raka, mulai sekarang kamu akan ambil alih beberapa perusahaan kami. Ada yang di Eropa