Tubuh Nayla terus bergetar, kedua kakinya di pegang erat oleh Tom. Lidahnya semakin menembus belahan bagian inti Nayla, sampai cairannya kembali keluar. Tom melihat Nayla yang terlihat lemas tapi puas, Tom mencium bibirnya dan Tom merasa ini sudah cukup."Kamu siap, sayang?" tanya Tom dengan nada lembut.Nayla mengangguk, "Pelan-pelan ya!" kembali Nayla memperingatkan Tom, dia merasa ragu tapi pemasaran karena kini Nayla sudah sangat bergairah.Tom tersenyum puas, mulai melakukan ancang-ancang. "Tenang sayang,"Tom mulai mengarahkan benda pusakanya yang sebesar botol marjan itu, pada bagian inti Nayla. Warnanya lebih gelap, dari warna kulit Tom yang putih. Tom menggenggam benda pusakanya, dia gesek-gesekkan pada bagian luar inti Nayla. Bagian inti Nayla sudah becek karena sudah keluar dua kali. Agar Nayla tidak kaget, Tom memasukkan jari telunjuknya."Rapet banget sayang, baru masuk satu jari aja sudah sempit." Tom merasa senang, dia mendapatkan harta karun yang besar.Nayla kembali k
Tengah malam, Nayla terbangun karena haus. Setelah minum, ia melangkah kembali ke kamarnya dan melihat Tom dari depan jendela sedang duduk di depan, sibuk mengedit video di laptopnya. Cahaya bulan menerangi wajahnya, membuatnya tampak semakin tampan.“Tom, kamu belum tidur?” tanya Nayla, mendekat.Tom menoleh, tersenyum. “Eh, Nay. Iya, nih, nanggung. Kamu sendiri kenapa belum tidur?”“Aku sudah tidur, tapi kebangun karena haus. Kenapa nongkrong di luar? Jack, Liam, sama Ethan mana?” tanya Nayla, duduk di sampingnya.“Mereka di dalam, lagi ngedit foto. Aku di luar karena gerah. Kamu sebaiknya tidur lagi, besok kita eksplor pantai kelingking ini. Atau… mau aku temenin?” tanya Tom, matanya berbinar.Nayla tersenyum. “Boleh, deh. Tapi kamu juga harus tidur.”“Ini udah hampir beres, kok. Eh, aku boleh numpang ke kamar mandi nggak?” tanya Tom.“Boleh dong, ayo masuk,” jawab Nayla.Mereka masuk ke kamar Nayla, Tom membawa laptopnya. Nayla duduk di kasur, melihat hasil rekaman video di laptop
Sementara itu di Nusa Penida, tepatnya di Kelingking Beach, Nayla, Tom, Jack, Liam, dan Ethan tengah menikmati keindahan alam yang memukau. Pantai Kelingking terkenal dengan tebing karstnya yang menjulang dramatis, membentuk siluet menyerupai tulang punggung dinosaurus yang menjorok ke laut. Pasir putihnya lembut bagaikan tepung, kontras dengan air laut biru toska yang berkilau di bawah sinar matahari. Ombak kecil menyapu pantai, menciptakan suara ritmis yang menenangkan, sementara angin sepoi-sepoi membawa aroma garam laut. Tebing hijau yang ditumbuhi vegetasi tropis menambah pesona, membuat tempat ini seperti lukisan alam yang hidup. Bule-bule dari berbagai negara berbaur dengan wisatawan lokal, beberapa berfoto di puncak tebing, sementara yang lain menikmati snorkeling atau sekadar berjemur.Nayla, yang semakin mahir sebagai konten kreator, sibuk merekam keindahan pantai bersama Tom, Jack, Liam, dan Ethan. Mereka menjelajahi setiap sudut, dari tangga curam menuju pantai hingga spot
Mr. Henri, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Raka, kamu keras kepala dan berteguh pendirian. Dari awal, Ayah sudah merasa kalau kamu dan Bu Siska dekat, bukan sekadar menantu dan mertua. Siska memang wanita baik, tulus, sabar. Ayah bisa lihat dia wanita hebat dan tegar. Kalau itu pilihanmu, Ayah nggak bisa melarang.”Mrs. Sumarni menoleh ke suaminya, terkejut. “Ayah? Apa yang Ayah katakan?”Mr. Henri menghela napas, menatap Raka dengan penuh kasih. “Bu, ini semua kesalahan kita. Kita ceroboh sampai kehilangan Raka selama 27 tahun. Waktu itu Ayah sudah pasrah kalau nggak bisa ketemu Raka lagi. Dan sekarang Ayah nggak mau ulangi kesalahan itu. Ayah ingin lihat Raka bahagia. Anggap saja ini penebus dosa kita. Raka, kamu nggak perlu pergi. Kamu tetap menjadi pewaris keluarga Dupont.”Raka terdiam, matanya membelalak. “Benarkah, Yah? Jadi Ayah merestui hubunganku dengan Siska?”Mr. Henri mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Nak. Asal kamu bahagia, apa pun Ayah lakukan.”Raka melompa
Bab 216. Kejujuran Raka Malam itu, suasana di penthouse mulai sunyi. Semua orang kembali dari Puncak dengan wajah lelah namun penuh tawa, kecuali Raka, yang pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang hubungannya dengan Siska dan bagaimana cara menyampaikannya pada keluarganya. Di dalam mobil Mercedes-Benz hitam yang dikendarainya, Raka menyetir dengan fokus, sesekali melirik ke kaca spion untuk melihat Siska yang duduk di belakang bersama Claire dan Lila. Mrs. Sumarni, yang duduk di mobil lain bersama Mr. Henri, tiba-tiba berbicara melalui telepon grup keluarga. “Raka, Bu Siska, kalian dengar Ibu, ya,” kata Mrs. Sumarni, suaranya lembut tapi tegas. “Malam ini Bu Siska tidur di penthouse saja, biar besok langsung berangkat ke Bali bareng kita.” Siska, yang mendengar melalui speaker ponsel Claire, tampak ragu. “Oh, Bu, nggak usah. Saya bisa balik ke apartemen saya, nanti pagi saya ke sini lagi,” jawabnya sopan, suaranya sedikit canggung. Claire langsung menimpali, “Tapi itu
Sam mengangguk antusias. “Pasti, Lila! Aku sudah bikin daftar tempat yang mau dikunjungi. Pantai Kuta, Uluwatu, sama Ubud.”Mike menambahkan, “Aku juga pengen coba makanan lokal di Bali. Katanya sate lilit enak banget.”Ayah tertawa. “Tenang, kita akan ke hotel kita di Bali. Semuanya sudah diatur. Raka, kamu setuju besok lusa kita berangkat?”“Setuju, Ayah. Di Bali pasti seru,” jawabku, meski pikiranku masih terbagi.Sarapan berlangsung hangat, penuh canda dan rencana liburan. Tapi setiap kali Paman George menyebut Siska, aku merasa cemburu yang tak bisa kujelaskan pada mereka.Setelah sarapan, kami bersiap untuk ke villa di Puncak. Saat semua sibuk mengambil tas, Paman George mendekatiku. “Raka, ayo kita ke apartemen Bu Siska dulu, ajak dia agar ikut. Aku yakin dia akan senang.”Aku ingin menolak, tapi melihat antusiasmenya, aku merasa tidak enak. “Baiklah, Paman. Tapi aku yang nyetir, ya,” kataku, berusaha mengendalikan situasi.Sam tiba-tiba muncul. “Aku ikut, dong! Penasaran sama