Tapi justru Mama Siska mendesah keras, hingga aku kembali membuka mataku. Tepat di depanku, Alex menghujam keras bagian inti Mama Siska aku ingin muntah melihatnya."Lihat, Raka! Mama Siska keenakan, ternyata lebih enak dari Tiara. Gimana? apa jantungmu masih aman?" Dia tertawa terbahak-bahak, sambil memeluk Mama Siska."Gimana sayang, enak kan? Enakan mana dengan Raka?" Alex mencengkram erat leher Mama Siska dan menatapnya begitu dekat.Suara Mama Siska berat, terbata-bata karena Alex terus menghujam bagian intinya begitu sangat keras. "E-enakan kamu, Alex! Aku sangat suka, lebih kencang lagi!" Aku tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan.Alex tertawa puas, dia menatapku, "Lihat, Raka! Dia sangat keenakan, selama ini kamu hanya di jadian pelampiasannya saja." Alex kembali menatap Mama Siska, "Keluarin di dalam ya sayang?"Mama Siska tidak menjawab, dia tidak berhenti terus mendesah.Alex semakin menghentak pinggulnya dengan keras, hingga tubuhnya tidak terkontrol dan gerakannya sem
Untungnya, Pak Hendra hanya mengangguk, alasan yang aku katakan cukup masuk akal. Aku merasa lega, tapi di dalam hati, aku tahu suatu saat nanti aku harus jujur tentang hubunganku dengan Mama Siska.Setelah ngobrol panjang, Pak Hendra pamit pulang. Dia mengatakan rumah ini akan dijaga ketat, bukan hanya oleh bodyguardnya Alicia saja, tapi juga anak buahnya dan anak buahnya Pak Budi.Aku termenung, teringat kata-kata Alicia waktu itu. Aku harap dia tidak serius tentang hubungan ini, karena dari awal ini hanya urusan kesepakatannya saja untuk membantuku. Aku hanya ingin setia pada Mama Siska, meskipun hubungan kami masih di rahasiakan.Seharian ini aku hanya rebahan di kasur, tapi ketika sore hari aku memaksakan diri berjalan-jalan di rumah. Kaki dan dadaku masih terasa sakit, setiap langkah terasa berat. Nayla pulang menjelang makan malam, wajahnya ceria.“Bang, aku makan di kamar sama Abang, ya? Aku ingin nemenin Abang!” katanya, membawa piring berisi nasi dan ayam goreng.“Kamu kayak
Setelah Mama Siska pergi ke dapur, Nayla juga pamit. “Bang, aku ke kampus dulu, ya. Sudah siang nih, mau kuliah dulu. Aku ke kamar bentar ya!” katanya, suaranya ceria seperti biasanya.“Iya, Nay. Hati-hati di jalan,” jawabku, tersenyum.Nayla mengangguk, lalu berlari ke kamarnya. Kini aku sendirian di kamar, ditemani keheningan yang terasa menyesakkan. Tubuhku masih terasa sakit, setiap tubuhku aku gerakan terasa seperti ditusuk-tusuk. Kepalaku yang baru sembuh dari pukulan beberapa waktu lalu kini kembali terluka setelah pertarungan di rumah tua itu. Aku hampir kehilangan nyawa demi menyelamatkan Mama Siska, tapi luka fisik ini tidak sebanding dengan kegelisahan yang menggerogoti hatiku.Mama Siska masuk, membawa mangkuk bubur ayam yang masih mengepul. Aroma wangi bubur itu biasanya membuatku nyaman, tapi entah kenapa suasana terasa berbeda. Dia meletakkan mangkuk di meja samping ranjangku, lalu mulai menyuapiku seperti saat di rumah sakit.“Ma, biar aku makan sendiri saja. Aku sudah
“Terima kasih banyak, Pak,” jawabku, tulus. “Sudah repot-repot membantuku.”Mereka mengangguk, lalu pamit pergi. Mas Bambang, Mas Supri, dan Mas Tejo kembali ke posisi mereka menjaga rumah di luar, seperti biasa.Kini, di kamar, hanya ada aku, Mama Siska, dan Nayla. Suasana tiba-tiba terasa lebih berat. Wajah mereka penuh pertanyaan, dan aku tahu, saatnya tiba untuk jujur.Nayla, yang selalu paling banyak ngomong gak bisa diem, memulai duluan. “Bang, sebenarnya Pak Budi itu ada hubungan apa sama Abang? Kok baik banget? Kayak… bukan orang biasa, benar-benar peduli.”Aku menarik napas dalam-dalam, memandang Mama Siska dan Nayla bergantian. Mereka adalah orang-orang yang aku percaya, keluarga yang sangat dekat dan peduli padaku. Aku sudah berjanji untuk jujur, dan sekarang adalah saatnya.“Jadi… Pak Budi itu temennya ayahku,” kataku pelan, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. “Ayah menitipkan aku ke Pak Budi kalau ada apa-apa. Seperti musibah kemarin, dia ikut membantu. Bukan hany
Malam di rumah sakit terasa lebih tenang dibandingkan malam-malam sebelumnya, meski suara detak jantungku sendiri seolah menggema di ruangan yang sunyi. Aku menoleh ke Mas Supri, yang duduk di sudut ruangan, matanya waspada meski tubuhnya tampak lelah.“Mas Supri, tidur di sofa itu aja, ya,” kataku sambil menunjuk sofa empuk di dekat jendela. “Jangan di luar, dingin.”Mas Supri mengangguk, tapi wajahnya tetap serius. “Iya, Mas. Tapi saya tetap akan berjaga. Walaupun kita di rumah sakit, kita nggak tahu apa yang akan terjadi.” Suaranya rendah, seperti orang yang sudah terbiasa menghadapi bahaya.Aku tersenyum kecil, menghargai kesetiaannya. “Iya, Mas. Mudah-mudahan aman.”Aku memejamkan mata, dan tanpa sadar, rasa kantuk menarikku ke dalam alam mimpi akupun tertidur pulas. Mimpi-mimpi samar melintas di kepalaku, bayangan Mama Siska yang tersenyum, Nayla yang tertawa, dan wajah kabur seseorang yang kini membuatku waspada. Mungkin itu Alex, sosok yang masih menjadi bayang-bayang misteriu
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang membuncah. “Ma, aku ikhlas. Kalau harus mengorbankan nyawaku untukmu, aku nggak akan ragu. Hatiku hancur waktu tahu kamu dibawa mereka, dan aku nggak tahu kamu di mana. Aku merasa gagal menjagamu. Kalau aku lebih cepat, mungkin ini semua nggak akan terjadi.”Mama Siska mengusap air matanya, menggeleng pelan. “Jangan salahkan diri sendiri, Raka. Kejadian itu malam hari, saat semua orang tertidur. Bukan salahmu. Justru karena kamu, Mama bisa selamat. Terima kasih, Raka. Yang penting sekarang semuanya sudah berakhir.”Aku ingin memeluknya, tapi tubuhku masih terlalu lemah. Namun, saat tanganku masih memegang tangannya, aku tiba-tiba menyadari kehadiran Nayla yang diam-diam memperhatikan kami. Mama Siska juga sepertinya baru sadar, dia buru-buru melepaskan tanganku, wajahnya sedikit memerah. Aku merasa canggung, tapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, Nayla tiba-tiba berjalan mendekat, tersenyum misterius.“Kalian nggak usah sembuny