Setelah sarapan, mereka melanjutkan petualangan. Pertama, mereka mengunjungi Broken Beach, sebuah teluk kecil dengan lengkungan batu alami yang membingkai laut biru. Ombak menghantam dinding karst, menciptakan suara gemuruh yang dramatis. Ethan merekam panorama itu, sementara Nayla dan Tom berpose di tepi tebing, tangan mereka bertaut. Jack dan Liam mewawancarai seorang pria Bali setempat, I Made, yang bekerja sebagai pemandu wisata.“Halo, Bli, boleh kami wawancara sebentar?” tanya Liam, memegang mikrofon kecil.Made tersenyum ramah. “Boleh, apa yang mau ditanya?”“Ceritain dong tentang Broken Beach ini. Apa yang bikin tempat ini spesial?” tanya Jack.Made menjelaskan, “Broken Beach ini unik karena lengkungan batunya terbentuk alami oleh erosi laut selama ratusan tahun. Airnya jernih, tapi tidak bisa untuk berenang karena arusnya kuat. Banyak wisatawan datang buat foto, apalagi pas sunset.”Nayla menimpali, “Pasti keren banget ya, Bli, sunset di sini?”“Iya, pemandangannya bagus. Kal
Pagi itu, pukul lima pagi, udara terasa dingin mereka masih tidur berdua saling berpelukan dan sama-sama tidak berpakaian. Tom terbangun dengan hati-hati, berusaha tidak mengganggu Nayla yang masih terlelap dalam pelukannya.Ia melirik jam di ponselnya dan berbisik, “Sayang, aku harus balik ke kamar. Takutnya temen-temen udah bangun dan curiga.”Tapi ternyata Nayla terbangun, karena Tom melepaskan pelukannya. Nayla mengangguk mengantuk, matanya setengah terbuka. “Iya, sebaiknya kamu cepet kembali. Takutnya nanti mereka ngadu ke Mama sama Bang Raka,” katanya, tersenyum kecil.Tom mencium kening Nayla lembut. “Ya sudah, sampai nanti ya, sayang. Kamu tidur lagi aja.”“Iya, kamu juga. Aku nggak sabar pengen jalan-jalan lagi,” balas Nayla, suaranya penuh antusiasme meski masih ngantuk.Tom tersenyum, “Seharian ini kita eksplor semua tempat. Aku pergi ya.” Ia bangkit pelan, mengambil laptopnya, dan kembali ke kamar sebelah dengan langkah hati-hati.Nayla memeluk bantal, hatinya berbunga-bun
Tubuh Nayla terus bergetar, kedua kakinya di pegang erat oleh Tom. Lidahnya semakin menembus belahan bagian inti Nayla, sampai cairannya kembali keluar. Tom melihat Nayla yang terlihat lemas tapi puas, Tom mencium bibirnya dan Tom merasa ini sudah cukup."Kamu siap, sayang?" tanya Tom dengan nada lembut.Nayla mengangguk, "Pelan-pelan ya!" kembali Nayla memperingatkan Tom, dia merasa ragu tapi pemasaran karena kini Nayla sudah sangat bergairah.Tom tersenyum puas, mulai melakukan ancang-ancang. "Tenang sayang,"Tom mulai mengarahkan benda pusakanya yang sebesar botol marjan itu, pada bagian inti Nayla. Warnanya lebih gelap, dari warna kulit Tom yang putih. Tom menggenggam benda pusakanya, dia gesek-gesekkan pada bagian luar inti Nayla. Bagian inti Nayla sudah becek karena sudah keluar dua kali. Agar Nayla tidak kaget, Tom memasukkan jari telunjuknya."Rapet banget sayang, baru masuk satu jari aja sudah sempit." Tom merasa senang, dia mendapatkan harta karun yang besar.Nayla kembali k
Tengah malam, Nayla terbangun karena haus. Setelah minum, ia melangkah kembali ke kamarnya dan melihat Tom dari depan jendela sedang duduk di depan, sibuk mengedit video di laptopnya. Cahaya bulan menerangi wajahnya, membuatnya tampak semakin tampan.“Tom, kamu belum tidur?” tanya Nayla, mendekat.Tom menoleh, tersenyum. “Eh, Nay. Iya, nih, nanggung. Kamu sendiri kenapa belum tidur?”“Aku sudah tidur, tapi kebangun karena haus. Kenapa nongkrong di luar? Jack, Liam, sama Ethan mana?” tanya Nayla, duduk di sampingnya.“Mereka di dalam, lagi ngedit foto. Aku di luar karena gerah. Kamu sebaiknya tidur lagi, besok kita eksplor pantai kelingking ini. Atau… mau aku temenin?” tanya Tom, matanya berbinar.Nayla tersenyum. “Boleh, deh. Tapi kamu juga harus tidur.”“Ini udah hampir beres, kok. Eh, aku boleh numpang ke kamar mandi nggak?” tanya Tom.“Boleh dong, ayo masuk,” jawab Nayla.Mereka masuk ke kamar Nayla, Tom membawa laptopnya. Nayla duduk di kasur, melihat hasil rekaman video di laptop
Sementara itu di Nusa Penida, tepatnya di Kelingking Beach, Nayla, Tom, Jack, Liam, dan Ethan tengah menikmati keindahan alam yang memukau. Pantai Kelingking terkenal dengan tebing karstnya yang menjulang dramatis, membentuk siluet menyerupai tulang punggung dinosaurus yang menjorok ke laut. Pasir putihnya lembut bagaikan tepung, kontras dengan air laut biru toska yang berkilau di bawah sinar matahari. Ombak kecil menyapu pantai, menciptakan suara ritmis yang menenangkan, sementara angin sepoi-sepoi membawa aroma garam laut. Tebing hijau yang ditumbuhi vegetasi tropis menambah pesona, membuat tempat ini seperti lukisan alam yang hidup. Bule-bule dari berbagai negara berbaur dengan wisatawan lokal, beberapa berfoto di puncak tebing, sementara yang lain menikmati snorkeling atau sekadar berjemur.Nayla, yang semakin mahir sebagai konten kreator, sibuk merekam keindahan pantai bersama Tom, Jack, Liam, dan Ethan. Mereka menjelajahi setiap sudut, dari tangga curam menuju pantai hingga spot
Mr. Henri, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. “Raka, kamu keras kepala dan berteguh pendirian. Dari awal, Ayah sudah merasa kalau kamu dan Bu Siska dekat, bukan sekadar menantu dan mertua. Siska memang wanita baik, tulus, sabar. Ayah bisa lihat dia wanita hebat dan tegar. Kalau itu pilihanmu, Ayah nggak bisa melarang.”Mrs. Sumarni menoleh ke suaminya, terkejut. “Ayah? Apa yang Ayah katakan?”Mr. Henri menghela napas, menatap Raka dengan penuh kasih. “Bu, ini semua kesalahan kita. Kita ceroboh sampai kehilangan Raka selama 27 tahun. Waktu itu Ayah sudah pasrah kalau nggak bisa ketemu Raka lagi. Dan sekarang Ayah nggak mau ulangi kesalahan itu. Ayah ingin lihat Raka bahagia. Anggap saja ini penebus dosa kita. Raka, kamu nggak perlu pergi. Kamu tetap menjadi pewaris keluarga Dupont.”Raka terdiam, matanya membelalak. “Benarkah, Yah? Jadi Ayah merestui hubunganku dengan Siska?”Mr. Henri mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Nak. Asal kamu bahagia, apa pun Ayah lakukan.”Raka melompa