Malam itu, di rumah Reza, kecurigaan terhadap Ferdi semakin kuat. Pria yang mengaku sebagai teman kuliah itu ternyata tak sepolos yang Reza kira. Tanpa sepengetahuan Reza, bros perak berbentuk burung Garuda yang diberikan Ferdi memiliki alat pelacak kecil yang tersembunyi di dalamnya. Dari jauh, Ferdi, yang kini berada di sebuah kafe kecil di pinggiran Jakarta, memantau lokasi Reza melalui aplikasi di ponselnya. Setiap langkah Reza terekam, membuat Ferdi tersenyum licik.“Langkah pertama berhasil,” gumamnya, menyeruput kopi hitamnya.**Saat jam makan siang di kantor, Reza memutuskan menghubungi Raka. Ia duduk di sudut kantin, jauh dari keramaian, sambil memegang ponselnya. Bros Garuda di kemejanya berkilau di bawah lampu kantin, tanpa ia sadari menjadi sumber bahaya.“Halo, Ka. Maaf, bro, ganggu. Lu lagi sibuk gak?” tanya Reza, suaranya sedikit ragu.Raka, yang sedang istirahat di sela kunjungan ke perusahaan keluarga Dupont, menjawab, “Nggak, Za. Memangnya ada apa?”Reza menarik nap
Lila dan Siska, yang kondisinya sudah jauh membaik, duduk di antara keluarga. Lila, meski masih sedikit pendiam, mulai tersenyum saat Nayla menyodorkan sepotong *croissant*. Siska, dengan wajah yang lebih cerah, menikmati *smoothie* sambil mengobrol dengan Mrs. Sariani. Raka, yang duduk di samping Siska, sesekali memastikan calon istrinya makan cukup.Di tengah sarapan, Mr. Henri membuka pembicaraan serius. “Raka, nanti setelah sarapan, kita ke salah satu perusahaan ayah. Sudah waktunya kamu memimpin. Nanti ayah jelaskan apa saja yang harus kamu lakukan.”Raka mengangguk, sedikit tegang namun antusias. “Siap, Yah. Aku belajar dari awal, ya”Mr. Henri tersenyum, “Tentu. Kamu sekarang pemimpin baru bisnis keluarga Dupont. Hari ini kita ke perusahaan yang dikelola Pak Hendra, terus ke yang dikelola Pak Budi. Ada tiga tempat yang harus kamu pahami, sebelumnya kita sudah mengunjungi kantor yang dikelola oleh Pak Budi dan Pak Hendra juga dan sekarang perusahaan yang lainnya."Mrs. Sariani m
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, rombongan disambut oleh Pak Rudi, Pak Hendra, Pak Budi, dan beberapa teman Mr. Henri. Pak Bambang dan Pak Jamal juga hadir, wajah mereka penuh lega melihat keluarga Dupont selamat.“Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya!” sapa Pak Rudi, menjabat tangannya Mr. Henri.“Terima kasih, Pak Rudi. Kalian semua sudah banyak membantu,” jawab Mr. Henri, tersenyum lebar.Pak Bambang dan Pak Jamal mendekati Siska dan Lila, memastikan mereka baik-baik saja.“Bu Siska, Nona Lila, saya bersyukur kalian pulang dengan selamat,” kata Pak Bambang, sengaja tidak menyebut soal Tiara."Terima kasih banyak Pak, ini pertolongan dari Tuhan." kata Siska tersenyum lega.Nayla, yang ceria, berjabat tangan dengan Pak Rudi. “Pak Rudi, nanti aku ajak jalan-jalan, ya! Sayang banget kemarin gak ikut!”Rudi tertawa, “Pasti, Non. Tapi sekarang kalian istirahat dulu.”Mereka dijemput dengan beberapa mobil mewah menuju apartemen Mr. Henri. Di sana, sebuah makan malam sudah dis
Tiara, meski gagal dengan rencananya di apartemen, tidak menyerah begitu saja. Ia bersembunyi di sebuah penginapan kecil di pinggiran Jakarta, memegang erat buku catatan Mr. Henri yang berhasil ia bawa saat kabur. Di dalam buku itu, tersimpan rahasia-rahasia penting: catatan bisnis Mr. Henri, daftar kontak penting, hingga detail proyek-proyek besar yang melibatkan keluarga Dupont. Tiara membaca setiap halaman dengan mata penuh ambisi, mencari celah untuk menghancurkan hidup Raka dan Siska.“Kalian pikir aku akan menyerah? Aku akan buat kalian menyesal,” gumamnya, menuliskan rencana baru di selembar kertas.Ia tahu buku itu adalah kunci untuk mengacaukannya, tapi ia harus bergerak hati-hati agar tidak tertangkap.Sementara itu, Robi kembali ke rumahnya setelah kejadian di apartemen. Ia merasa kesal karena ternyata Tiara ingkar janji, tapi ia memilih menjaga jarak untuk sementara, takut terlibat lebih dalam dengan polisi.Di sisi lain, Pak Bambang dan Pak Jamal kembali bertugas di apart
Raka menggeleng, “Itu bisa dibicarakan nanti. Sekarang kita bawa Lila ke rumah sakit, buruan, sebelum malam.”Mereka segera mencari mobil sewaan untuk membawa Lila ke rumah sakit di Waisai. Pak Made, sopir yang tadi membantu, kebetulan masih ada di dekat pintu masuk. Dengan cepat, mereka masuk ke mobil, Lila masih pingsan di pangkuan Liam. Perjalanan menuju rumah sakit penuh ketegangan. Raka terus memeriksa denyut nadi Lila, memastikan adiknya baik-baik saja.Di tengah jalan, Tom berkata, “Aku nggak nyangka Lila ternyata benar-benar suka sama aku. Harusnya aku jujur dari awal sama dia.”Raka menepuk bahunya, “Udah, Tom. Yang penting sekarang Lila selamat. Nanti kita jelaskan pelan-pelan sama dia.”Mobil melaju melewati jalanan berliku, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit Raja Ampat dengan semburat oranye. Meski pemandangan indah, tak ada yang bisa menikmatinya. Pikiran mereka hanya tertuju pada Lila dan keluarga yang menunggu di rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, Raka, Tom
Siska dan Nayla masih berada di teras tempat ibadah, menunggu dengan cemas. Siska, meski masih lemas, berusaha tegar demi putrinya. Nayla memegang tangan ibunya erat, matanya sesekali menatap ke jalan, berharap seseorang segera datang menjemput mereka. Tak lama, sebuah mobil van tua berhenti di depan tempat ibadah. Dua pria kekar, mengenakan kemeja sederhana, turun dari mobil. Mereka memperkenalkan diri sebagai suruhan Mr. Henri.“Bu Siska, Nona Nayla, kami dari Bapak Henri. Kami diminta menjemput Ibu dan Nona ke rumah sakit di Waisai,” kata salah satu pria, yang bernama Pak Yanto, dengan suara tenang namun tegas.Siska mengangguk lemah, “Terima kasih, Pak. Ayo, Nayla, kita ke sana.”Nayla menuntun ibunya dengan penuh kasih sayang, membantu Siska masuk ke mobil. Wajah Nayla penuh kekhawatiran melihat kondisi ibunya yang masih pucat dan demam.“Ma, nanti di rumah sakit Mama harus diperiksa dokter, ya. Aku khawatir,” kata Nayla, suaranya lembut tapi tegas.“Iya, Nak. Mama cuma capek. Ya