Sementara itu, di jalan raya yang sama, mobil Tom melaju kencang, tapi harapan mereka mulai pudar. "Truk itu kemana perginya?" keluh Jack, memukul dasbor dengan kesal."Sepertinya kita kehilangan jejak. Tapi kita cari lokasi bangunan yang sedang membangun di sekitar sini," saran Ethan, matanya menyapu peta di ponsel."Itu di sana sepertinya ada lokasi pembangunan!" seru Sam, menunjuk ke sebuah proyek gedung yang terlihat dari kejauhan.Tom langsung memutar setir, tapi saat tiba, tak ada truk dengan plat Z1223IP. Hanya tumpukan pasir segar yang baru diturunkan, dan pekerja yang sibuk."Tapi di sana tidak ada truk," gumam Tom, turun dari mobil dengan hati gelisah."Ada pasir di sana. Sepertinya truk yang membawa Nayla dan Lila ke tempat ini," analisis Liam, mendekati mandor proyek. Setelah bertanya, mandor mengangguk: truk itu baru saja pergi setelah menurunkan muatan."Kita harus cari sampai dapat!" tegas Sam, adrenalin mereka kembali memuncak.Mereka kembali menelusuri jalan, mobil me
Akhirnya, setelah perjalanan panjang yang melelahkan, truk pasir Baron memasuki pinggiran kota yang ramai. Suara klakson mobil dan hiruk-pikuk pedagang kaki lima menyambut mereka, tapi Baron tidak langsung menuju pusat kota.Sebaliknya, ia mengarahkan truk ke sebuah lokasi pembangunan gedung tinggi yang masih dalam tahap pondasi. Tumpukan pasir dan batu bata berserakan di mana-mana, pekerja berhelm kuning berlarian dengan gerobak dorong.Baron memarkir truk di depan gerbang proyek, mesin berderu pelan sebelum mati."Kalian tunggu ya, Neng. Nanti Abang antar sampai ke apartemennya," kata Baron dengan senyum ramah yang kini terasa semakin palsu, tatapannya sesekali melirik ke arah Nayla dan Lila yang duduk lelah di kabin."Iya, Bang," jawab Nayla polos, hatinya penuh syukur. Lila mengangguk di sampingnya, meski matanya mulai curiga dengan jalan yang mereka tempuh.Baron turun, berbincang singkat dengan mandor proyek sambil menurunkan muatan pasir. Butiran pasir beterbangan seperti kabut
Tom dan teman-temannya saling pandang sekilas, hati mereka berdegup kencang. Tanpa buang waktu, mereka meloncat ke mobil dan melaju pergi, meninggalkan debu yang beterbangan lebih tinggi.Di perjalanan, Ethan memecah keheningan. "Apa maksud pria tadi katanya pria itu mata keranjang?"Jack mengerutkan kening. "Apa mungkin pria itu bukan orang baik-baik?""Berarti kita harus segera menghentikan truk itu, sebelum terjadi sesuatu pada Nayla dan Lila," tegas Sam, suaranya penuh kekhawatiran.Mobil melaju semakin kencang, mata Tom terpaku ke jalan raya di depan, mencari truk dengan plat Z1223IP di antara lalu lintas yang mulai ramai.Sementara itu, di kabin truk tua yang berderit, Nayla dan Lila duduk di kursi penumpang depan, tubuh mereka bergoyang mengikuti guncangan jalan berbatu.Baron, sopir truk berusia sekitar 35 tahun, menyetir dengan satu tangan santai, matanya sesekali melirik ke arah kedua gadis itu melalui kaca spion. Pria itu tinggi besar, badannya kekar seperti preman, kulitny
Sementara itu, di desa terpencil dekat hutan, Nayla dan Lila berjalan kaki dengan semangat tapi juga merasa lelah. Ransel kecil di punggung mereka berisi makanan sederhana dari Nenek Siti yaitu Ikan bakar dan goreng, nasi, singkong rebus dan juga uang walaupun jumlahnya tidak banyak.Udara pagi masih sejuk, tapi jalan tanah yang berdebu membuat kaki mereka pegal. Saat berpisah tadi, hati Nayla dan Lila terasa berat meninggalkan nenek tua yang baik hati itu."Jaga diri ya, Neng. Hati-hati di jalan, semoga segera bertemu dengan keluarga kalian," kata Nenek Siti sambil memeluk mereka erat, air matanya menetes. Tapi mereka harus pergi, tujuan mereka adalah tempat penambangan pasir di depan, di mana truk-truk besar datang dan pergi, membawa harapan untuk menumpang ke kota.Tak lama setelah Nayla dan Lila menghilang di tikungan jalan, suara mesin mobil terdengar mendekat. Tom, Liam, Sam, Jack, dan Ethan kelima pemuda itu datang untuk menyelamatkan Nayla dan Lila, sedang menyusuri jalan des
Sore itu, suara motor matic Rina terdengar mendekat ke kosan sederhana Pak Bambang di pinggiran kota. Ia memarkirkan motornya dengan hati-hati, membawa tas berisi cemilan favoritnya yaitu keripik singkong, kue kering, dan secangkir teh hangat yang masih mengepul dari termos. Rina tersenyum lebar, hatinya berbunga-bunga. Sudah lama ia merindukan momen seperti ini, bertemu dengan Pak Bambang tanpa terganggu tugasnya di apartemen. Ia mengetuk pintu dengan lembut, dan segera pintu terbuka. "Om!" seru Rina saat melihat wajah Pak Bambang yang tersenyum ramah. Tanpa ragu, ia melangkah masuk dan langsung memeluk pria itu erat, hidungnya menyerap aroma familiar yang membuatnya tenang. "Om, aku senang bisa bersama Om lagi. Aku kangen pengen berduaan seperti ini," gumam Rina sambil menempelkan pipinya ke dada Pak Bambang, tangannya merangkul pinggangnya. Pak Bambang tertawa pelan, tangannya membelai punggung Rina dengan lembut. "Om juga, ya mau gimana lagi, sudah tugas. Ayo masuk, Rin.
Mobil SUV hitam Pak Budi melaju pelan di jalan raya pagi yang mulai ramai, sinar matahari menyusup melalui kaca depan, menciptakan bayangan panjang di dashboard. Mr Henri duduk di kursi belakang, tangannya mengepal di pangkuan, matanya tajam memandang ke depan seperti elang yang mengintai mangsa.Di sebelahnya, George sibuk memeriksa ponsel, mencoba melacak sinyal terakhir Alex melalui aplikasi rahasia yang dibuat tim IT Dupont.Siska, di kursi depan, memegang tas kecil berisi obat dan air, wajahnya tegang tapi tegar ia sudah terbiasa dengan badai seperti ini sejak masa lalunya dengan Bayu.Tiba-tiba, ponsel Mr Henri berdering nyaring, nada dering khas Prancis yang lembut kontras dengan suasana tegang di dalam mobil. Layar menunjukkan istrinya.Mr Henri langsung angkat, suaranya rendah tapi mendesak."Halo, Bu? Apa kabar di sana?"Suara Mrs Sariani terdengar tenang tapi tegas dari seberang, seperti biasa saat ia mengendalikan situasi."Yah, sebaiknya jangan dulu ke apartemen sekarang.